BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan fondasi untuk membina rumah tangga, oleh karenanya Islam mensyari'atkan perkawinan untuk melanjutkan keturunan secara sah dan mencegah perzinahan. Adapun tujuannya ialah agar tercipta rumah tangga yang penuh kedamaian, ketenteraman, cinta dan kasih sayang.
Allah tidak berkeinginan menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya tanpa suatu aturan. Kemudian, demi menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah menciptakan hukum sesuai martabatnya, sehingga hubungan antara pria dan wanita diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai.[1]
Hubungan saling meridhai ini pada dasarnya bermula dari adanya rasa suka antar lain jenis, yang kemudian dengan kesepakatan keduanya berlanjut untuk melangsungkan perkawinan. Tidak diragukan lagi, jika kedudukan antara pria dan wanita sama atau sebanding atau sederajat, maka akan membahagiakan kehidupan rumah tangga yang akan dibina. Persamaan itu antara lain adalah sama dalam kedudukan, tingkat sosial, sederajat dalam akhlak, kekayaan dan agama.
Salah satu bentuk perkawinan yang masih dalam kontroversi -dan tentunya kontroversi ini akan terus berlanjut- adalah perkawinan beda agama, perkawinan yang tidak sederajat dalam hal agama. Apabila dibagi, maka perkawinan beda agama ini terbagi menjadi empat bentuk:
1. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b
2. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik
3. Perkawinan antara wanita muslim dengan pria Ahl al-Kita>b
4. Perkawinan antara wanita muslim dengan pria musyrik, yakni yang bukan Ahl al-Kita>b.
Perkawinan bentuk pertama, sebagian Ulama membolehkan dan sebagian lagi mengharamkannya. Ulama yang membolehkan berdasarkan firman Allah:
….والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين اوتوا الكتاب من قبلكم, إذا ءاتيتموهن أجورهن محصنين غير مسافحين ولا متخذي أخدان ومن يكفر بالإيمان فقد حبط عمله وهو في الآخرة من الخاسرين [2]
Dari teks z}ahir ayat ini dapat dipahami bahwa Allah membolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b yang muh}s}ana>t, artinya wanita-wanita yang menjaga kehormatannya,[3] dari perbuatan zina. Selain arti itu, ada juga yang memahami kata muh}s}ana>t ketika dirangkaikan dengan u>tu> al-kita>b dari ayat di atas dengan arti wanita-wanita merdeka atau wanita-wanita yang sudah kawin.[4]
Sedangkan yang mengharamkannya juga merujuk pada firman Allah yang menyatakan:
ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولاتنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم أولـئك يدعون إلي النار والله يدعوا إلي الجنة والمغفرة بإذنه ويبين ءاياته للناس لعلهم يتذكرون[5]
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah mengharamkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik, begitu juga sebaliknya, wanita muslim pun dilarang menikahi pria musyrik.
Mereka yang mengharamkan mengatakan bahwa Q.S. al-Ma>'idah (5): 5 tersebut di atas telah dinasakh oleh Q.S. al-Baqarah (2): 221. Diantara yang berpendapat demikian adalah Syi'ah Ima>miyyah dan Syi'ah Zaidiyyah.[6] Seorang sahabat nabi, Ibnu 'Umar r.a, ketika ditanya tentang perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b menjawab: Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik dikawini orang-orang Islam dan aku tidak melihat kesyirikan yang lebih besar dari seorang wanita yang berkata: 'I>sa> adalah Tuhan, atau Tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah.[7] Dapat disimpulkan bahwa Ibnu 'Umar tidak membedakan antara Ahl al-Kita>b dan musyrik, yakni karena Ahl al-Kita>b berbuat syirik, ia juga masuk dalam kategori musyrik.
Menurut Muhammad Quraish Shihab –selanjutnya dalam penelitian ini disebut Quraish atau Quraish Shihab saja- dan kelompok yang membolehkan, berdasar teks z{ahir ayat, bahwa pendapat yang mengatakan Q.S. al-Ma>'idah (5): 5 dinasakh oleh Q.S. al-Baqarah (2): 221, adalah suatu kejanggalan. Karena ayat yang disebut pertama turun belakangan daripada ayat yang disebut kedua, dan tentu saja tidak logis sesuatu yang datang terlebih dahulu membatalkan hukum sesuatu yang belum datang atau yang datang sesudahnya.[8]
Golongan yang membolehkan juga menguatkan pendapat mereka dengan menyebutkan beberapa sahabat dan ta>bi'i>n yang yang pernah menikah dengan wanita Ahl al-Kita>b. Dari kalangan sahabat antara lain ialah 'Us|ma>n, T{alh}ah, Ibnu 'Abba>s, Ja>bir bin H}uzaifah. Sedangkan dari kalangan ta>bi'i>n semisal Sa'i>d ibn Musayyab, Sa'i>d ibn Zubair, al-H}asan, Muja>hid, T{a>wus, Ikri>mah, asy-Sya'a>biy dan ad-Dahha>k.[9]
Perkawinan bentuk kedua dan keempat, umumnya disepakati oleh jumhur Ulama sebagai perkawinan yang diharamkan, berdasarkan Q.S. al-Baqarah (2): 221. Adapun perkawinan bentuk ketiga, meskipun tidak disebutkan dalam al-Qur'an, menurut jumhur adalah juga diharamkan. Walaupun pandangan mayoritas Ulama tidak memasukkan Ahl al-Kita>b dalam kelompok yang dinamai musyrik, tetapi ini bukan berarti ada izin untuk pria Ahl al-Kita>b mengawini wanita muslimah. Bukankah mereka, walau tidak dinamai musyrik, dimasukkan dalam kelompok kafir ?. Dari ayat di bawah ini dapat dipahami bahwa wanita-wanita muslimah tidak diperkenankan mengawini atau dikawinkan dengan pria kafir, termasuk juga Ahl al-Kita>b, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
ياأيها الذين ءامنوا إذا جاء كم المؤمنات مهاجرات فامتحنوهن الله أعلم بإيمنهن فإن علمتموهن مؤمنت فلاترجعوهن إلى الكفار لاهن حل لهم ولاهم يحلون لهن وءاتوهم ما أنفقوا ولا جناح عليكم أن تنكحوهن إذا ءاتيتموهن أجورهن ولا تمسكوا بعصم الكوافر[10]…
Pembahasan ini hanya akan membahas perkawinan beda agama bentuk pertama, yakni perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b. Akan tetapi dalam pembahasan selanjutnya tentunya juga akan berkaitan dengan perkawinan beda agama bentuk kedua, ketiga dan keempat.
Pada dasarnya, perbedaan pendapat Ulama bermula ketika mereka menyebutkan siapa saja yang termasuk Ahl al-Kita>b. Ima>m Sya>fi'i> misalnya, memahami istilah Ahl al-Kita>b sebagai orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Mu>sa> dan 'I>sa>, hanya diutus kepada mereka, orang-orang Israel, bukan kepada bangsa-bangsa lain. Selain itu, juga karena adanya redaksi min qablikum (sebelum kamu) pada ayat yang membolehkan perkawinan itu (Q.S. al-Ma>idah (5): 5). Berbeda dengan Ima>m Sya>fi'i>, Ima>m Abu> H{ani>fah dan mayoritas pakar-pakar hukum menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl al-Kita>b. Dengan demikian, Ahl al-Kita>b tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani. Jika ada satu kelompok yang hanya percaya pada S}uhu>f Ibra>him[11]atau Zabu>r yang diberikan kepada Nabi Dawu>d a.s saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl al-Kita>b. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil Ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci, maka mereka juga dicakup oleh pengertian Ahl al-Kita>b, seperti halnya Majusi. Kemudian diperluas lagi sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu.[12] Tentunya, pendapat-pendapat yang berbeda ini akan membawa implikasi kepada siapakah golongan yang boleh atau tidak boleh dinikahi pria muslim.
Pendapat-pendapat yang penyusun utarakan di atas adalah pendapat-pendapat para Ulama besar Islam di Timur Tengah, yang zaman, tempat dan keadaan mereka berbeda dengan kenyataan di Indonesia, sehingga menarik penyusun untuk mengkaji pendapat seorang Ulama Indonesia, yakni Muhammad Quraish Shihab, yang tidak diragukan lagi kapasitas keilmuannya dalam bidang kajian keislaman, terlebih lagi dalam bidang tafsir yang nantinya akan sangat membantu penyusun untuk mengetahui pendapatnya tentang makna Ahl al-Kita>b serta hukum perkawinan dengan wanita Ahl al-Kita>b. Quraish adalah seorang ahli tafsir kenamaan Indonesia. Sebagai seorang ahli tafsir, tentunya ia mempunyai kompetensi ketika menafsirkan siapakah yang dikhitab al-Qur'an sebagai Ahl al-Kita>b. Terlebih lagi setelah ia menyelesaikan kitab tafsir al-Qur'an tiga puluh juznya yang berjudul Tafsir al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, karena penafsiran terhadap siapa yang dikhitab Ahl al-Kita>b oleh al-Qur'an tentu idealnya setelah seseorang "menyelami" ayat-ayat al-Qur'an. Dari pengetahuan yang menyeluruh ini, tentunya ia mempunyai penafsiran sendiri, setelah mengemukakan dalil-dalil penafsirannya. Setelah mengetahui siapa yang dikhitab oleh al-Qur'an sebagai Ahl al-Kita>b, tidak hanya disitu, penelitian ini kemudian melanjutkan pembahasan mengenai pendapat Quraish tentang hukum perkawinan dengan wanita Ahl al-Kita>b. Quraish adalah orang Indonesia dan tahu seluk-beluk keadaan masyarakat di negeri ini. Sebagai ahli tafsir kenamaan, pendapatnya tentu sangat diperhitungkan.
Menurut Quraish, Ahl al-Kita>b itu mencakup dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani, kapan, dimanapun dan dari keturunan siapa pun mereka. Tentunya pendapat Quraish tentang makna Ahl al-Kita>b ini akan membawa implikasi kepada siapakah golongan yang dibolehkan atau diharamkan dinikahi pria muslim. Tidak hanya itu, sisi baik buruk Ahl al-Kita>b juga akan menentukan kebolehan perkawinan dengan wanita mereka.
Sesuai dengan teks z}ahir Q.S al-Ma>'idah (5): 5, Quraish membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b. Kebolehan ini menurutnya adalah sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak ketika itu, dimana kaum muslim sering berpergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, dan sekaligus juga untuk tujuan dakwah. Selain itu, kebolehan itu adalah bentuk toleransi Islam kepada agama Ahl al-Kita>b dalam bentuk perkawinan, karena pria muslim mengakui kenabian 'I>sa> yang dituhankan oleh Ahl al-Kita>b.[13] Walaupun membolehkan, tetapi tetap ada kekhawatiran dalam dirinya terhadap keberlangsungan dari perkawinan ini. Quraish menyebutkan bahwa jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya dan bahkan tingkat pendidikan pun tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman, ketidakharmonisan dan kegagalan perkawinan.[14] Kalau ini kemudian terjadi, tentunya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu menciptakan keluarga yang sakinah.
Di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), semua bentuk perkawinan beda agama adalah dilarang, tak terkecuali perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b, satu-satunya bentuk perkawinan beda agama yang dibolehkan oleh jumhur Ulama. Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf (c) KHI yang melarang perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim dan pasal 44 KHI yang melarang perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim.
Pasal 44 KHI yang mengatur tentang larangan perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim adalah sesuai dengan pendapat jumhur Ulama, oleh karenanya tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi, pada pada pasal 40 huruf (c) yang melarang perkawinan beda agama antara pria muslim dengan wanita non muslim, termasuk wanita Ahl al-Kita>b, adalah bertentangan dengan pendapat jumhur Ulama yang cenderung membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b sesuai dengan teks z{ahir ayat, walaupun selanjutnya membolehkan dengan syarat bahwa si suami yang menikahi wanita Ahl al-Kita>b itu tidak terjerumus ke dalam akidah Ahl al-Kita>b. Kedua pasal ini mengisyaratkan agar umat Islam sedapat mungkin tidak melakukan perkawinan beda agama, walaupun ada bentuk perkawinan beda agama yang dibolehkan, karena pertimbangan madaratnya lebih besar dari manfaatnya. Perbedaan keyakinan ini tidak jarang menjadi pemicu munculnya konflik dalam rumah tangga. Ini tentu tidak dikehendaki oleh pasangan suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Konsep Ahl al-Kita>b dalam Islam adalah konsep yang sangat khas, yang sangat mengedepankan toleransi beragama. Konsep ini bermaksud memberikan pengakuan tertentu kepada penganut agama lain yang memiliki kitab suci,[15] yaitu mengakui eksistensi mereka sebagai umat beragama yang berdampingan dalam hidup. Dari segi historisnya, Ahl al-Kita>b memanglah sudah hidup berdampingan dengan kaum muslimin sejak zaman Nabi Muhammad. Sifat positif dan negatif mereka juga dijelaskan oleh al-Qur'an, begitu juga kecaman-kecaman terhadap mereka. Oleh karenanya al-Qur'an mengatur tentang cara–cara bersikap dengan Ahl al-Kita>b.
Meskipun telah dihalalkan secara gamblang di dalam al-Qur'an tentang perkawinan dengan wanita Ahl al-Kita>b, para Ulama tetap mensyaratkan dengan persyaratan yang sangat ketat, yang kemudian dengan syarat itu kemungkinan melakukan perkawinan dengan wanita Ahl al-Kita>b sangat kecil. Karena para Ulama cenderung takut kalau-kalau orang yang menikahi wanita Ahl al-Kita>b itu akan pindah agama mengikuti agama istrinya. Karena dalam ajaran agama apapun, menjaga iman merupakan kewajiban dasar. Berbagai benteng syari>'at dirumuskan agar iman tidak sampai tererosi.[16]
B. Pokok Masalah
Mengacu kepada latar belakang masalah selanjutnya penyusun akan mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dalil yang digunakan oleh M. Quraish Shihab tentang makna Ahl al-Kita>b dan validitas dalilnya dan bagaimana pula metode istinbat}nya dalam menanggapi perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b dan akurasi metode istinbat}nya ?
2. Bagaimana implikasi pendapatnya terhadap hukum perkawinan beda agama di Indonesia ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dari pembahasan ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan dalil-dalil yang digunakan oleh M. Quraish Shihab tentang pemaknaannya terhadap Ahl al-Kita>b dan bagaimana validitas dari dalil yang digunakannya. Kemudian menjelaskan metode istinbat} yang digunakannya dalam menanggapi perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b dan bagaimana akurasi dari metode istinbat}nya itu.
2. Untuk mengetahui implikasi pendapatnya terhadap hukum perkawinan beda agama di Indonesia.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang tepat terhadap pemikiran M. Quraish Shihab tentang Ahl al-Kita>b dan kemudian pendapat-pendapatnya tentang perkawinan beda agama, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan.
2. Dapat dijadikan bahan untuk studi dalam bidang hukum Islam terutama yang menyangkut perkawinan beda agama.
D. Telaah Pustaka
Perkawinan beda agama sebenarnya telah menjadi wacana yang aktual dan relevan untuk dikaji. Aktual, karena masalah ini terus menjadi polemik para fuqaha>, dan relevan, karena perkawinan beda agama ini masih sering terjadi terutama dalam masyarakat yang hidup berdampingan antar agama.
Kajian mengenai perkawinan beda agama sudah banyak dilakukan, baik itu berbentuk skripsi, buku maupun kajian dalam penelitian ilmiah lainnya. Sejauh pengetahuan penyusun, belum ada satu karya ilmiah pun yang secara khusus membahas tentang perkawinan beda agama menurut Quraish Shihab. Tetapi, penyusun akan menyebutkan juga disini skripsi yang membahas tentang perkawinan beda agama, di antaranya skripsi saudara Fatahuddin Aziz Siregar yang berjudul Studi Terhadap Perkawinan Berbeda Agama Menurut Muhammad 'Abduh.[17] Penelitian ini mengulas tentang makna Ahl al-Kita>b dan batasan-batasannya menurut Muhammad 'Abduh yang kemudian berimplikasi pada siapa saja wanita-wanita Ahl al-Kita>b yang boleh dinikahi oleh pria muslim. Selain itu, juga membahas tentang metode-metode yang digunakan 'Abduh untuk menanggapi perkawinan beda agama. Menurut 'Abduh, seorang muslim boleh kawin dengan wanita Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci dan ajaran pokok agama mereka mengandung ajaran tawh}i>d. Ahl al-Kita>b juga termasuk pemeluk agama Budha, Hindu, Kong Hu Chu yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah mati dan sebagainya. Meskipun 'Abduh pada awalnya membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b, akan tetapi ia kemudian berubah sikap dengan pertimbangan menggejalanya kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis ataupun malah cenderung menimbulkan masalah yang fatal, yaitu beralihnya agama suami kepada agama istrinya yang Ahl al-Kita>b. Oleh karenanya, ia mensyaratkan bagi pria muslim yang ingin menikah dengan wanita Ahl al-Kita>b itu harus memiliki kualitas keberagamaan yang diyakini dapat menghindari kemudaratan yang akan timbul. Akan halnya perkawinan beda agama dalam bentuk yang lainnya, ia sepakat mengharamkannya. Pendapat 'Abduh tentang makna Ahl al-Kita>b ini berbeda dengan pendapat Quraish yang memaknakan Ahl al-Kita>b sebatas pada Yahudi dan Nasrani. Menarik penyusun untuk mengkaji pemikiran Quraish, yang walaupun telah memaparkan ide-ide 'Abduh tentang makna Ahl al-Kita>b dalam bukunya, tetapi berpendirian bahwa Ahl al-Kita>b itu sebatas pada Yahudi dan Nasrani saja.
Ulama Timur Tengah lainnya, Yusuf Qardhawi, dalam buku Kumpulan Fatwa-Fatwa Mutakhir Dr. Yusuf Qardhawi, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia,[18] juga menguraikan secara panjang lebar mengenai masalah ini. Senada dengan Quraish, Qardawi juga memaknakan Ahl al-Kita>b sebatas pada Yahudi dan Nasrani yang diberikan kepada mereka hak-hak yang tidak diberikan kepada golongan lain. Bermula dari pertanyaan seseorang yang khawatir melihat kerusakan yang ditimbulkan akibat perkawinan beda agama, dalam jawabannya, Qardhawi tidak hanya menjelaskan hukum perkawinan dengan wanita Ahl al-Kita>b, tetapi juga hukum perkawinan dengan wanita musyrik, wanita atheis dan komunis, wanita murtad dan wanita yang menganut agama baha>'i, yakni agama buatan manusia. Pembahasan-pembahasan ini (perkawinan dengan wanita-wanita "selain" Ahl al-Kita>b itu) dianggap penting karena untuk menjelaskan batasan-batasan antara Ahl al-Kita>b dan yang lainnya. Kesemua bentuk perkawinan yang disebutkan ini menurut Qardawi adalah diharamkan kecuali perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b, tetapi dengan syarat-syarat yang sangat ketat.
Di samping buku-buku karangan Ulama-Ulama Timur Tengah, buku karangan Ulama dan para ahli hukum Islam di Indonesia juga banyak yang mengangkat tentang perkawinan beda agama. Tetapi, sepanjang yang penyusun temukan, pembahasan mengenai perkawinan beda agama ini hanya sebatas pembahasan bab per bab. Maksudnya, pembahasan ini tidaklah tergolong tuntas karena hanya menyinggung sedikit tentang perkawinan beda agama.
Buku Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, yang disusun oleh Tim Redaksi Tanwi>rul Afka>r Ma'had 'Aly PP. Salafiyah Sya>fi'iyah Sukorejo Situbondo,[19] dapat dimasukkan dalam kategori ini. Menurut TIM penulis buku ini, Ahl al-Kita>b tidaklah termasuk agama Hindu, Budha dan Konghucu karena mereka tidak berpatokan kepada kitab samawi, oleh karenanya konsep ketuhanan mereka berbeda jauh. Ahl al-Kita>b adalah Yahudi dan Nasrani yang menurut Q.S al-Ma>'idah (5): 5 wanita-wanita mereka boleh dikawini. Walaupun melihat gejala-gejala yang dapat ditimbulkan, Tim penulis buku ini berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b tetap diperbolehkan dengan merujuk kepada pendapat jumhur Ulama. Menurut Tim ini lagi, perkawinan dengan wanita Ahl al-Kita>b dapat ditolerir karena dalam aspek teologi, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir dan prinsip-prinsip dasar agama banyak persamaan. Sedangkan buku karangan Nurcholis Madjid yang berjudul Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah[20] membahas satu bab tentang Ahl al-Kita>b, lebih menekankan pada toleransi dan pengakuan Islam terhadap Ahl al-Kita>b, dan tidak membahas tentang perkawinan beda agama. Akan tetapi, buku ini juga sangat membantu penyusun dalam memahami Ahl al-Kita>b. Menurut tokoh yang selalu disapa Cak Nur ini, al-Qur'an secara tegas menyebut Yahudi dan Nasrani sebagai Ahl al-Kita>b karena memiliki kitab suci yang jelas. Adapun diluar keduanya, Cak Nur kemudian menguraikan pendapat Ibnu Taymiyah dan Muhammad Rasyid Rida tentang makna Ahl al-Kita>b. Ia menyimpulkan bahwa pendapat kedua Ulama besar itu bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Oleh karenanya tidak tertutup kemungkinan menurut Cak Nur, Ahl al-Kita>b tidak hanya sebatas pada Yahudi dan Nasrani.
E. Kerangka Teoretik
Menurut Quraish, pria muslim dibolehkan kawin dengan wanita Ahl al-Kita>b, tidak dengan wanita musyrik. Seperti yang telah dijelaskan dimuka, cakupan lafaz Ahl al-Kita>b menurut Quraish adalah sebatas pada Yahudi dan Nasrani, kapan, dimana pun dan dari keturunan siapa pun mereka. Oleh karenanya menurut Quraish, sampai sekarang pun pria muslim dibolehkan menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, tidak dengan selain keduanya. Sedangkan perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim, yang terdiri dari Ahl al-Kita>b dan musyrik, adalah diharamkan, sesuai dengan Q.S. al-Baqarah (2): 221 yang melarang seorang wanita muslim menikahi pria musyrik. Mengenai haramnya wanita muslim menikah dengan pria Ahl al-Kita>b, al-Qur'an tidak menjelaskan secara tegas. Menurut Quraish, walaupun al-Qur'an tidak secara tegas menjelaskannya, itu bukan berarti ada kebolehan menikahi pria Ahl al-Kita>b. Hal ini adalah karena, jika al-Qur'an membolehkannya, tentunya Q.S. al-Ma>'idah (5): 5 yang membolehkan menikahi wanita Ahl al-Kita>b, pun akan menegaskannya.[21] Pendapatnya ini diperkuat pula dengan Q.S al-Mumtah}anah (60) : 10 yang melarang seorang wanita muslim menikah dengan pria kafir.
Ahl al-Kita>b adalah salah satu dari kelompok kafir. Walaupun konteks ketika ayat ini (Q.S. al-Mumtah}anah (60): 10) diturunkan berbicara tentang kafir musyrik, tetapi menurut Quraish, dalam hal perkawinan beda agama, ayat ini juga memasukkan lafaz Ahl al-Kita>b, karena Ahl al-Kita>b juga termasuk dalam kategori kafir. Jadi, merujuk kepada ayat ini, pria Ahl al-Kita>b itu juga haram untuk dinikahi, karena lafaz kafir dalam ayat ini termasuk yang ditunjuk adalah Ahl al-Kita>b.
Kontradiksi antara teks z}a>hir ayat yang membolehkan perkawinan beda agama dengan akibat-akibat yang dapat ditimbulkannya, yang bisa mengganggu keharmonisan rumah tangga, dan malah bisa berakibat fatal, yaitu terpengaruhnya pria muslim tersebut, dalam hal ini suami, dan anak-anaknya kepada agama istrinya yang Ahl al-Kita>b, adalah yang mendorong penyusun untuk menganalisanya dengan teori us}ul fikih sadd az|-z|ari>'ah. Menurut hemat penyusun, sadd az|-z|ari>'ah merupakan sebuah teori dalam hukum Islam yang cukup moderat untuk melihat persoalan-persoalan kekinian yang lebih substansif. Dengan menggunakan teori ini, kebolehan suatu hukum menjadi tidak dibenarkan dengan berbagai pertimbangan. Yang terpenting, menurut teori ini, kemaslahatan sebagai tujuan Sya>ri' menetapkan hukum, harus benar-benar dijadikan tapak berpijak.
Dalam prakteknya, teori sadd az||-z|ari>'ah yang bertitik tolak pada kemaslahatan, adalah representasi dari maqa>sid asy-syari>'ah, yakni tujuan Sya>ri' menetapkan hukum. Berdasarkan urutannya, menjaga agama merupakan hal yang paling utama dalam maqa>sid asy-syari>'ah. Sedangkan akibat yang dimungkinkan terjadi dari perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b adalah beralihnya agama pria (suami) kepada agama istrinya yang Ahl al-Kita>b. Atas dasar ini, teori ini kemudian mencegah dilakukannya perkawinan beda agama, setelah melihat akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari perkawinan ini.
Sadd az|-z|ari>'ah diartikan sebagai upaya mujtah}id untuk menetapkan larangan terhadap suatu kasus hukum yang pada dasarnya mubah.[22] Secara bahasa, saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedangkan z|ari>'ah berarti jalan. Maksudnya menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.[23] Dengan penjelasan lain, teori ini adalah teori yang menghambat sesuatu yang mubah guna menghindari mafsadat atau kerusakan yang dapat ditimbulkan. Berpijak pada teori inilah penyusun akan mengkaji permasalahan ini.
Ketika menanggapi masalah perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b, dengan merujuk kepada Q.S. al-Ma>idah (5): 5, Quraish berpendapat bahwa seorang pria muslim dibolehkan menikah dengan wanita Ahl al-Kita>b. Menurut Quraish, kebolehan itu tidak bertentangan dengan Q.S. al-Baqarah (2): 221 yang melarang seorang pria muslim menikah dengan wanita musyrik. Hal ini adalah karena lafaz Ahl al-Kita>b dalam Q.S. al-Ma>idah (5): 5 itu tidak termasuk atau tidak terkandung dalam lafaz musyrik dalam Q.S. al-Baqarah (2): 221, walaupun Ahl al-Kita>b itu dapat dikategorikan berbuat syirik karena menyembah 'Uzair as bagi umat Yahudi dan menyembah I>sa> as bagi umat Nasrani, selain menyembah Allah. Tentang perbedaan antara Ahl al-Kita>b dan musyrik ini, Quraish berpendapat bahwa ayat-ayat dalam al-Qur'an dengan jelas membedakan keduanya. Perbedaan keduanya ini dipahami dari huruf waw 'at}af, yang berfungsi untuk menghubungkan dua hal, yang diterjemahkan "dan". Menurut Quraish, huruf waw 'at}af ini dari segi bahasa mengandung makna adanya perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan itu. Huruf waw 'at}af ini, selalu digunakan al-Qur'an ketika menyandingkan antara keduanya. Karenanya, dengan adanya huruf waw 'at}af, berarti ada perbedaan antara Ahl al-Kita>b dan musyrik.
Walaupun Quraish cenderung membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b, dengan membedakan antara Ahl al-Kita>b dan musyrik, tetapi selanjutnya terdapat keraguan dalam diri Quraish apabila perkawinan ini tetap berlangsung. Ia menyebutkan bahwa jangankan perbedaan agama, perbedaan tingkat pendidikan dan budaya pun dapat memicu tidak harmonisnya kehidupan rumah tangga. Salah satu alasan dibolehkannya perkawinan ini adalah untuk berdakwah, dengan jalan menunjukkan kesempurnaan Islam, agar si istri yang Ahl al-Kita>b dapat memahami Islam sehingga kesan buruknya terhadap Islam akan pudar. Kebolehan mengawini wanita Ahl al-Kita>b adalah jika si suami tidak ditakutkan terpengaruh kepada agama si istri yang Ahl al-Kita>b. Masalahnya ialah apakah ada jaminan bahwa setelah menikah nanti ia tidak terpengaruh oleh agama istrinya yang Ahl al-Kita>b ?, walaupun sebelum menikah ia menyanggupinya.
Dengan teori ini akan memudahkan penyusun untuk menunjuk secara tegas pusat-pusat mafsadat. Dengan ini, syari>'ah dapat melakukan preventif, untuk mencegah mafsadat. Ia dapat mengambil tindakan-tindakan untuk melenyapkan unsur-unsur yang secara aktual dan potensial merusak kemaslahatan dan menimbulkan mafsadat atau kerusakan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah library research atau penelitian pustaka, karena sumber-sumber data yang diperlukan untuk penyusunan skripsi ini terdapat di dalam buku-buku primer dan sekunder.
2. Sifat Penelitian ini adalah deskriptif-analitis. Deskriptif adalah metode penyajian data secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami dan disimpulkan. Sedangkan analitis adalah mengurai sesuatu dengan tepat dan terarah.
3. Pengumpulan Data
Data-data didapatkan dari sumber-sumber data primer berupa karya–karya autentik dari M. Quraish Shihab antara lain: Tafsir al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an dan Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Disamping itu, sumber-sumber data sekunder yang dapat memberikan informasi-informasi yang dianggap berkenaan dan berkaitan dengan tema penelitian ini.
4. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan penyusun dalam penelitian ini adalah pendekatan us}u>l fikih. Pendekatan us}u>l fikih adalah pendekatan yang memandang suatu masalah dari kaca mata us}u>l fikih.
5. Metode Analisis
Metode yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah metode induktif. Yaitu penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus kepada pernyataan yang bersifat umum.
G. Sistematika Pembahasan
Sebagai upaya menjaga keutuhan pembahasan dalam skripsi ini agar terarah, penyusun akan menggunakan sisitematika sebagai berikut:
Bab Pertama, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pokok Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teoretik, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Sebelum masuk pada inti pembahasan, pada Bab Kedua –sebagaimana lazimnya penelitian terhadap seorang tokoh- penyusun akan memperkenalkan profil M. Quraish Shihab yang terdiri dari riwayat hidup, karya-karyanya dan corak pemikirannya.
Bab Ketiga, penyusun membahas tentang dalil dan metode istinbat} M. Quraish Shihab. Dari sini, akan dielaborasi tentang gambaran umum Ahl al-Kita>b, dalil yang digunakan Quraish tentang makna Ahl al-Kita>b dan validitas dalilnya, dan metode istinbat} yang digunakan Quraish dalam menanggapi perkawinan beda agama dan akurasi metode istinbat}nya
Pada Bab Keempat, yaitu implikasi pendapat Quraish Shihab tentang makna Ahl al-Kita>b terhadap hukum perkawinan beda agama di Indonesia. Pada bab ini akan dibahas mengenai perkawinan beda agama di dalam Kompilasi Hukum Islam dan implikasi pendapat Qurish tentang makna Ahl al-Kita>b terhadap hukum perkawinan beda agama di dalam Kompilasi Hukum Islam.
Sebagaimana lazimnya, Bab Kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
[1] As-Sayyid Sa>biq, Fikih Sunnah, alih bahasa Mohammad Thalib, (Jakarta: PT al-Ma'arif, 1980), VI: 8.
[2] Al-Ma>idah (5): 5.
[3] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2001). III:29.
[4] Ibid.
[5] Al-Baqarah (2): 221.
[6] Muh}ammad 'Ali> as}-S}a>bu>ni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni, alih bahasa Mu'ammal Hamidy dan Imron A. Manan (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), I:232.
[7] Ibid.
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h, I: 443.
[9] As-Sayyid Sa>biq, Fikih Sunnah, VI: 156.
[10] Al-Mumt}ah}anah (60): 10.
[11] S}}uhu>f adalah bentuk jamak dari s}ahi>}fah yang berarti sesuatu yang terhampar. Oleh karenanya, wajah yang terhampar untuk dilihat atau kertas yang terhampar untuk ditulisi dinamakan s}ah}i>fah. Bentuk jamaknya yang lain adalah s}ah}a>if. Menurut Quraish, dengan mengutip pendapat fakh ar- Razi dan al-Qurtubiy, s}uh}u>f tidak berbeda dengan kitab-kitab yang diturunkan Allah. Isi s}uh}u>f Ibrahim a.s. adalah kalimat-kalimat indah dalam bentuk pribahasa dan perumpamaan. Sedangkan isi s}uh}u>f Mu>sa> a.s. adalah pengajaran dan hikmah yang harus dipetik. Lihat M. Quraish Shihab, Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab Seputar Wawasaan Agama, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 182-183.
[12] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 2003), hlm. 366-367.
[13] Pria muslim dibolehkan kawin dengan wanita Ahl al-Kita>b adalah karena pria muslim mengakui kenabian 'Uzair as dan I>sa> as, oleh sebab itu toleransinya besar terhadap agama istrinya yang Ahl al-Kita>b. Sebaliknya, wanita muslim tidak boleh kawin dengan pria Ahl al-Kita>b maupun musyrik karena mereka (orang-orang musyrik dan Ahl al-Kita>b) tidak mengakui kenabian Muhammad saw. Oleh karena mereka tidak mengakui kenabian Muhammad saw, maka toleransi mereka terhadap Islam kurang atau bahkan tidak ada sama sekali.
[14] Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h, III: 29.
[15] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 59.
[16] Tim Redaksi Tanwirul Afkar Ma'had 'Aly PP. Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 279.
[17] Fatahuddin Aziz Siregar, "Studi terhadap Perkawinan Berbeda Agama Menurut Muhammad 'Abduh", Skripsi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1999).
[18] Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Mutakhir Dr.Yusuf Qardawi, alih bahasa H.M.H. al-Hamid al-Husaini (Jakarta: Yayasan al-Hamidy, 1996).
[19] Tim Redaksi Tanwirul Afkar Ma'had 'Aly PP. Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2000).
[20] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000).
[21] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, hlm. 197.
[22] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), I: 143.
[23] Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Dhana Bakti Wakaf, 1995), I:156.