BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan[1]) dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang dianggap sakral. Dimana perkawinan menjadi pertalian yang legal untuk mengikatkan hubungan antara dua insan yang berlainan jenis kelamin. Sebab, dengan cara inilah diharapkan proses regenerasi manusia di muka bumi ini akan terus berlanjut dan berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu memperoleh keturunan yang sah[2]). Dan tujuan lain dari perkawinan yang merupakan hak dan kewajiban bersama suami-istri ialah terpenuhinya kebutuhan biologis atau seks.
Untuk mencapai kehidupan seksual yang bersih, suci, halal, dan masuk dalam kategori ibadah, Islām mengkonsepsikan agar seorang muslim yang telah mampu lahir dan bathin untuk segera mengadakan perkawinan. Di sini perkawinan dipandang sebagai suatu ikatan yang dapat menetralisir dorongan seksual manusia, sehingga menjadi suatu rahmat yang tidak terhingga nilainya. Islām juga memandang perkawinan sebagai lembaga yang dapat mengantisipasi terjadinya perilaku seksual menyimpang[3]).
Karena begitu sakralnya perkawinan, maka pemerintah merasa perlu untuk mengatur permasalahan ini dalam sebuah undang-undang. Untuk itu kemudian muncul Undang-undang Perkawinan yang kehadirannya sebagai implementasi dari harapan tersebut. Selain itu, permasalahan seputar perkawinan juga di atur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Burgerlijk Wetboek (BW).
Dari ketiga sumber hukum positif di atas, yaitu Undang-undang Perkawinan pasal 6-12[4]), BW. pasal 27-49[5]) dan KHI. pasal 14[6]), pada hakikatnya tidak ada satupun yang menyebutkan dan mensyaratkan bahwa suatu perkawinan itu harus dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan. Adapun salah satu syaratnya adalah adanya calon suami dan calon istri atau kedua calon mempelai. Tetapi, ketika dikatakan calon suami, maka secara otomatis akan muncul anggapan bahwa dia adalah laki-laki. Begitu juga sebaliknya, bila dikatakan calon istri, maka anggapan bahwa dia perempuanpun akan muncul.
Dalam hal ini, lalu bagaimana kedudukan waria yang notabene seorang laki-laki tetapi secara psikologis dia seorang perempuan, atau sebaliknya seorang waria yang notabene seorang wanita tetapi secara psikologis dia laki-laki. Padahal, kenyataan di lapangan mengungkapkan adanya “perkawinan” yang terjadi di antara mereka. Sementara di sisi lain, Isla>m memang melarang perkawinan antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Tetapi waria, walaupun secara fisik wanita atau laki-laki namun kondisi psikologisnya bertentangan dengan kondisi fisiknya. Dan hal itu tidak bisa mereka nafikan begitu saja, karena ada gen yang mereka bawa sejak lahir. Disamping itu, kenyataan ini juga menyangkut pada aktifitas seksual waria yang sudah menetap dan membutuhkan penyaluran seperti halnya pada manusia umumnya. Oleh karena itu, para pembuat hukum harus mencari solusi hukum yang akan diterapkan pada mereka, agar mereka juga dapat beraktifitas dan mempunyai hak sekaligus kewajiban sebagaimana manusia pada umumnya. Dengan adanya hukum yang mengatur mereka, maka diharapkan masyarakat juga dapat menerima keberadaan mereka, sehingga mereka dapat bangkit dari “mimpi-mimpi buruknya” selama ini dan tidak terjebak lagi dalam kehidupan malam.
Berkaitan dengan permasalahan waria, sebagai agama universal, Isla>m mengelompokkan golongan ini menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah khuns\a yang dalam istilah kontemporer dikenal sebagai hermaprodite, yaitu seseorang yang alat kelaminnya bisa dibedakan antara laki-laki atau perempuan. Sedangkan kelompok kedua adalah khuns\a musykil yang mempunyai dua alat kelamin yang tidak dapat dibedakan laki-laki atau perempuan[7]).
Terlepas dari hermaprodite (khuns\a), bagaimanakah kedudukan waria di dalam Islām. Apakah mereka juga dapat diakui sebagaimana khuns\a. Sebab, seperti yang telah dipaparkan di muka, bahwa menjadi waria bukanlah suatu keinginan. Sebagaimana perkataan Merlyn Sopjan, si Ratu Waria Indonesia, bahwa hidup menjadi waria bukanlah sebuah pilihan melainkan lakonan. Menurutnya, manusia ibarat wayang dan Tuhan sebagai dalangnya. Jadi segala sesuatu yang berkaitan dengan wayang itu telah dikonsep dan disutradarai oleh Tuhan sedemikian rupa dan manusia sebagai makhluknya hanya tinggal menjalaninya. Demikian juga keberadaan waria merupakan takdir sekaligus anugerah Tuhan yang mestinya harus disyukuri[8]).
Dalam menentukan hukum yang dipakai terhadap waria, menurut Aly Manshur dan Iskandar, mengutip pendapat Juharto, adalah dengan cara melihat kecondongannya. Kalau condong ke laki-laki, maka baginya berlaku hukum sebagaimana laki-laki, tetapi kalau condong ke perempuan maka hukum yang berlaku baginya adalah hukum sebagaimana perempuan. Akan tetapi, kalau tidak diketahui kecondongannya, maka diberlakukan hukum yang menguntungkan[9]).
Berbicara mengenai waria, tidak bisa dilepaskan dengan orientasi seks yang dilakukan. Bila dilihat secara fisik, maka seolah-olah waria adalah homo, karena ia tertarik pada sesama jenisnya. Namun, bila dilihat secara psikologis, maka ia adalah hetero karena tertarik pada lawan jenisnya yaitu laki-laki, meskipun dengan kondisi fisik laki-laki. Kemudian, dengan kondisi yang “serba salah” tersebut, bagaimana seorang waria melaksanakan pernikahannya. Apakah harus melakukan operasi pengubahan kelamin guna menyesuaikan dengan kondisi psikologisnya, lalu baru bisa melangsungkan perkawinan, sebagaimana yang dilakukan oleh artis kenamaan Dorce Gamalama.
Operasi kelamin tidak sesederhana orang berkata atau bayangkan. Sebab, bila seseorang memutuskan untuk melakukan operasi kelamin, maka ia harus benar-benar siap dengan kondisi barunya, sehingga ia nantinya tidak kecewa bila hasilnya tidak sesuai dengan yang mereka bayangkan dan harapkan. Selain itu, ia harus mengikuti beberapa terapi terlebih dahulu setelah dinyatakan oleh dokter bahwa ia memang mengalami kelainan dan operasi adalah satu-satunya jalan yang terbaik bagi dirinya. Semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bila dilihat dari kondisi ekonomi para waria di Yogyakarta yang rata-rata berlatar belakang pendidikan rendah bahkan diantara mereka tidak tamat SD.
Berangkat dari kenyataan di atas maka penyusun merasa tertarik dan terpanggil untuk mencoba memaparkan adanya “perkawinan” waria di tengah-tengah masyarakat kota Yogyakarta yang kemudian dibedah menggunakan kaca mata Isla>m untuk ditarik suatu kesimpulan mengenai status hukum dari perkawinan tersebut. Kaum waria atau transeksual[10]) seharusnya dilihat sebagai sesama manusia, sesama anggota masyarakat yang keberadaanya tidak melulu ditentukan oleh kondisi tubuhnya saja. Mereka punya hak yang sama dalam kehidupan ini seperti manusia umumnya untuk menentukan nasibnya.
B. Pokok Masalah
Berangkat dari paparan yang penyusun kemukakan diatas, maka pokok masalah yang akan penyusun jawab dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah praktek perkawinan yang selama ini dilakukan oleh para waria di Yogyakarta?
2. Bagaimanakah Isla>m memandang perkawinan yang dilakukan oleh kaum waria di Yogyakarta tersebut?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin penyusun capai dengan adanya penelitian ini adalah
Untuk menjelaskan realitas perkawinan yang terjadi pada kaum waria di Yogyakarta.
- Kemudian dieksplorasi dan dianalisis berdasarkan hukum Islam.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Sebagai pengetahuan sekaligus informasi pelaksanaan perkawinan kaum waria di Yogyakarta.
b. Untuk menjadi landasan rintisan bagi pengembangan ilmu pengetahuan ke-Islaman dalam memperluas cakrawala pemikiran Isla>m dalam menghadapi kondisi sosial yang dinamis.
D. Telaah Pustaka
Permasalahan seputar waria akhir-akhir mulai sering dijadikan bahan perbincangan dan perdebatan yang menarik untuk disimak. Setelah sekian lama tidak ada yang merespon keberadaan mereka, seolah-olah mereka tidak ada di permukaan bumi. Namun, setelah masyarakat terbangun dari mimpi panjang, bermunculanlah tulisan-tulisan baik yang mendukung maupun yang menolak eksistensinya serta membicarakan dan mengupas seputar kehidupan waria dengan segala dimensi yang melingkupinya. Tulisan-tulisan tersebut diantaranya merupakan hasil investigasi dan penelitian para penulisnya terhadap kehidupan komunitas yang sering termarjinalkan ini. Namun penelitian tentang perkawinan kaum waria ini – sepengetahuan penyusun – belum pernah dilakukan, baik dalam bentuk buku, artikel, ulasan lepas, atau dalam format penelitian khusus. Terlebih tema pokok dari penelitian ini, yaitu studi perkawinan kaum waria di Yogyakarta menurut hukum Islam.
Adapun tulisan-tulisan yang mengeksplorasi tentang tema pokok tersebut diantaranya adalah :
Waria dan Pengubahan Kelamin Ditinjau dari Hukum Islam karangan M.I. Aly Manshur, B.A dan Noer Iskandar Al-Barsany. Sebagaimana judulnya, buku ini membicarakan dan mengupas permasalahan seputar waria dengan hanya memfokuskan pada tinjauan hukum Isla>m terhadap pengubahan kelamin yang mereka lakukan. Buku ini banyak memaparkan fakta di lapangan dan hasil wawancara kedua penulis dengan kalangan waria, kalangan medis dan para pakar hukum terutama para ulama berkaitan dengan pengubahan kelamin tersebut. Sedangkan pada bagian akhir penyusun buku berkesimpulan, setelah dianalisa, bahwa pengubahan kelamin adalah haram di mata hukum Isla>m, kecuali bila dilakukan karena terpaksa dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, baik dari tim dokter psikiatri dan tim dokter ahli bedah[11]).
Buku lainnya yang juga masih membicarakan tentang waria adalah Waria dan Penyakit Menular Seksual ; Kasus di Dua Kota di Jawa karangan Koeswinarno. Seperti judulnya, buku ini membicarakan seputar waria yang dikaitkan dengan kenyataan adanya penyakit menular seksual[12]) yang terjadi di kalangan kaum marjinal ini. Dalam buku laporan penelitian ini penulis memaparkan dengan cukup gamblang dan mendetail seputar kehidupan waria hasil dari investigasi yang dilakukannya di dua kota di Jawa[13]) terutama seputar kehidupan seksual mereka. Pada bagian akhir buku ini, Koewinarno memaparkan beberapa usulan dan saran kepada beberapa pihak agar kehidupan seksual komunitas ini tetap terkontrol dan terhindar dari terjangkitnya penyakit menular seksual.
Disamping itu, terdapt buku yang berjudul Transseksualisme yang dikarang oleh Yash. Buku yang merupakan skripsi S-1 penulisnya di fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada ini memaparkan sebuah hasil penelitiannya seputar kasus perkembangan Transseksual perempuan ke laki-laki. Sebagaimana halnya sebuah penelitian, buku ini banyak berisikan metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian ini. Dan pada bagian akhir buku ini, penulis menyimpulkan bahwa Transseksual perempuan adalah perempuan normal secara genetis mapun fisik, namun mereka merasa bahwa dirinya adalah laki-laki. Oleh karena itu, mereka merasa terperangkap didalam tubuh yang salah, merasa tidak nyaman dengan anatomi seks yang dimiliki dan menginginkan untuk mengganti genital yang dimiliki menjadi genital laki-laki. Selanjutnya, mereka juga menginginkan untuk diakui serta hidup secara sah (menurut hukum) sebagai anggota jenis kelamin laki-laki. Dan individu yang mengalami dapat memiliki orientasi seksual heteroseksual, homoseksual, ataupun biseksual. Disamping itu, penulis juga memaparkan perkembangan Transseksual perempuan dalam penelitian kasus yang diteliti menjadi beberapa tahapan[14]).
Dari beberapa tulisan di atas, tampaknya tidak ada kajian yang mengkhususkan diri untuk meneliti tentang pelaksanaan “perkawinan” kaum waria di Yogyakarta dalam perspektif hukum Islām. Hal ini wajar, karena beberapa alasan sebagai berikut :
Sedikitnya referensi yang mengulas tentang kedudukan “perkawinan” kaum waria dalam hukum Islam.
Masih minimnya peneliti yang concern terhadap permasalahan kaum waria, terutama mengenai perkawinan kaum waria dalam perspektif hukum Isla>m.
Berdasarkan fakta dan alasan tersebut di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang “perkawinan” kaum waria di Yogyakarta dalam perspektif hukum Isla>m.
E. Kerangka Teoretik
Ketika berbicara mengenai waria, maka dalam pikiran kebanyakan orang telah terkonsep bahwa waria merupakan penyakit[15]) yang menjijikkan dan harus dijauhi. Karena itulah waria, yang merupakan kaum minoritas, akhirnya berusaha membentuk suatu komunitas dan menjalani kehidupan dengan cara yang mereka ciptakan sendiri, termasuk sistem perkawinannya. Meskipun mereka sebenarnya ingin melakukan perkawinan secara sah dan diakui oleh hukum, namun sebagaimana diketahui, bahwa sampai saat ini hukum hanya mengenal dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Begitu juga dengan masalah perkawinan, kenyataanya Undang-undang Perkawinan hanya mengatur dan mengakui perkawinan antar jenis kelamin.
Maya – salah seorang waria di Yogyakarta yang berprofesi sebagai perias salon – menyebut pernikahan yang dilakukan oleh teman-teman warianya dengan sebutan “nikah foto”, maksudnya, meresmikan pernikahannya dengan mengadakan pesta dan mengundang teman-reman warianya serta masyarakat sekitar tempat mereka tinggal. Kemudian, kedua mempelai berdandan selayaknya pengantin dan berfoto-foto[16]). Tetapi, Vinolia mengatakn bahwa tidak semua waria “meresmikan” perkawinannya dengan cara tersebut, ada yang hanya cukup membuat perjanjian lalu hidup bersama sebagai “suami istri”. Selain itu, Vinolia juga mengaku bahwa ia tidak setuju bila ada waria yang “meresmikan” pernikahannya dengan cara tersebut, bahkan ia juga tidak setuju kalau ada seorang waria yang ingin menikah secara sah (bila masih dengan kondisi kelamin laki-laki). Sebab, ia yakin bahwa tidak mungkin ada laki-laki yang betah hidup dengan seorang waria, karena pada umumnya mereka (para laki-laki) hanya menumpang hidup pada waria. Selanjutnya, rumah tangga yang dibina oleh waria dan lekongnya tersebut pasti akan mengalami keretakan dan pada akhirnya berpisah[17]).
Meskipun demikian, “perkawinan” yang mereka (para waria) lakukan diakui oleh teman-teman warianya dan masyarakat sekitar di tempat mereka tinggal, walaupun “perkawinan” tersebut tidak dilakukan dengan acara prosesi atau pesta. Bila mengetahui seorang laki-laki hidup bersama dengan waria, maka masyarakat setempat dan teman-teman warianya dengan sendirinya akan tahu dan memakluminya. Namun tidak demikian dengan masyarakat di luar yang kurang mengenal mereka dan cenderung menyamakan mereka dengan gay.
Bila dicermati secara lebih mendalam, umur seorang ibu dalam proses reproduksi sangat mempengaruhi kondisi anak yang dilahirkan[18]). Selain itu, sebagian besar proses pertumbuhan janin sangat bergantung pada kondisi internal sang ibu, yaitu kondisi fisik dan psikisnya[19]). Sedang pembentukan manusia sebagai makhluk seksual merupakan sebuah proses yang terus berlangsung seumur hidup[20]).
Waria atau transeksual merupakan salah satu bentuk abnormalitas seksual yang oleh para sarjana disimpulkan sebagai abnormalitas seks yang diakibatkan oleh cara-cara abnormal dalam pemuasan dorongan seksual[21]). Beberapa teori tentang abnormalitas seksual menyatakan bahwa keabnormalan itu timbul karena sugesti masa kecil. Seseorang akan mengalami abnormalitas seksual karena pengaruh keluarga dan lingkungan (acquired). Namun disisi lain, Maney, sebagaimana yang dikutip oleh Koeswinarno, berpendapat bahwa abnormalitas seksual sesungguhnya diperoleh sejak seseorang dilahirkan (congental)[22]), artinya bukan karena pengaruh dari luar, baik keluarga maupun lingkungan.
Sebagaimana yang telah penyusun jelaskan di atas, bahwa khunsa ada dua bentuk : pertama yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan mempunyai alat kelamin perempuan, dan bentuk lain adalah khunsa yang tidak memiliki kedua alat kelamin tersebut atau biasa disebut dengan khuns\a musykil. Bentuk pertama sudah jelas persoalannya yaitu dengan keluarnya air kencing dari salah satu kelaminnya. Bila kencing dengan alat kelamin laki-laki, maka ia laki-laki atau dengan alat kelamin perempuan maka ia perempuan.
Kaitannya dengan perkawinan, bagi khuns\a bentuk pertama telah jelas hukum yang diberlakukan padanya, yaitu mengikuti jenis kalamin yang berfungsi. Sedangkan pada khunsa bentuk kedua (khuns\a musykil) para ulama berbeda pendapat, namun kebanyakan mereka berpendapat bahwa khuns\a musykil baru bisa menikah bila posisinya telah jelas atau bisa dibedakan apakah ia laki-laki atau perempuan, dan salah satu solusi – yang ditawarkan di era modern ini – untuk memperjelas statusnya ialah dengan melakukan operasi pergantian kelamin.
Eksistensi kaum waria hingga sekarang masih diperdebatkan oleh para ulama dan cendekiawan muslim, terutama masalah perkawinannya. Golongan yang menolak perkawinan waria berpendapat bahwa waria tidak berbeda dengan gay, sedang hubungan sesama jenis dalam Islam dengan tegas dilarang dan diharamkan bahkan di ancam dengan azab sebagaimana kaum Nabi Lut}. Dan golongan yang cenderung mempertimbangkan keberadaan waria adalah yang berpandangan bahwa waria bukanlah sebuah “penyakit” yang pasti ada obatnya bila mau mencari, dengan melakukan terapi misalnya. Namun waria merupakan salah satu abnormalitas yang telah terbentuk sejak berada dalam kandungan ibunya, yang salah satunya disebabkan oleh ketidak seimbangan hormon.
Oleh karena itu, penyusun merasa persoalan yang dialami kaum waria sebenarnya merupakan sebuah pelajaran bagi masyarakat untuk bisa menghargai dan menerima perbedaan, seunik apapun perbedaan itu. Kaum waria seharusnya dilihat sebagai sesama manusia, sesama anggota masyarakat yang keberadaanya tidak melulu ditentukan oleh kondisi tubuhnya saja. Mereka punya hak yang sama dalam kehidupan ini seperti manusia umumnya untuk menentukan nasibnya.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang diterapkan dalam penulisan skripsi ini adalah :
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis field research yaitu penelitian yang dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu, dalam hal ini adalah para waria yang telah melakukan “perkawinan” melalui PKBI Yogyakarta sebagai media penghubung antara Penyusun dengan para waria di Yogyakarta yang telah melakukan “perkawinan” (respoden).
2. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah preskriptif, yaitu mendeskripsikan data yang ada di lapangan sekaligus memberikan penilaian dari sudut syari’ah tentang perkawinan sehingga dapat diketahui dengan jelas hukum perkawinan pada kaum waria di Yogyakarta.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penyusun mengambil dua sumber data, yaitu data dari lapangan, dalam hal ini adalah kasus-kasus “perkawinan” yang terjadi di kalangan waria yang beragama Isla>m di Yogayakarta, dan dari semua bacaan dan literatur yang relevan dengan persoalan yang dibahas dalam skripsi ini. Kedua sumber data tersebut diperoleh melalui wawancara (interview guided) dengan para waria di Yogyakarta yang telah melakukan “perkawinan” melalui PKBI sebagai media penghubung, pengamatan (observasi), dokumentasi dan membaca.
Pendekatan Masalah
Dalam menganalisa data yang diperoleh dari hasil penelitian ini, peneliti memadukan pendekatan normatif di satu sisi, dan pendekatan sosiologis dan psikologis di sisi lain. Pendekatan normatif digunakan untuk memahami norma-norma “yang seharusnya” (das sollen) seperti yang telah dirumuskan oleh syara’. Sedangkan pendekatan sosiologis digunakan untuk memahami norma-norma “yang senyatanya” (das sein) yang dipahami dan berlaku di masyarakat.
5. Analisis Data
Setelah data-data mengenai perkawinan waria terkumpul, maka kemudian dilakukan analisa dan diagnosa sedemiakian rupa. Supaya data yang diperoleh dapat menghasilkan kesimpulan yang valid, oleh karena itu penyusun menggunakan metode sebagai berikut :
a. Induksi, yaitu dipakai untuk menganalisa data khusus yang mempunyai unsur kesamaan sehingga dapat digeneralisasikan menjadi kesimpulan umum.
b. Deduksi, dipakai untuk memberikan bukti khusus pada suatu pengertian umum yang ada sebelumnya.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keadaan dan kondisi masyarakat dalam mempengaruhi eksistensi kasus-kasus yang ada dalam data yang didapatkan. Selanjutnya, data yang terhimpun dianalisa berdasarkan pada aspek hukum yang berlaku, dalam hal ini adalah hukum Isla>m. Dengan analisa data seperti ini, kemudian didapatkan suatu kesimpulan akhir mengenai status perkawinan waria dalam perspektif Isla>m dari kasus-kasus yang ada dalam data tersebut.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan skripsi ini melelui tiga tahap, yaitu pendahuluan, isi, dan penutup. Dari bagian-bagian tersebut terdiri dari bab-bab dan di dalam bab terdapat sub-sub bab.
Bab pendahuluan ditempatkan pada tahap pertama yang terdiri dari : pertama, latar belakang masalah, hal ini jelas diperlukan untuk memperjelas dan mengetahui faktor-faktor yang menjadi dasar atau pendukung timbulnya masalah yang akan diteliti serta memperjelas alasan-alasan yang dianggap menarik dan penting untuk diteliti. Kedua, pokok masalah, dimana hal ini di perlukan untuk mengetahui permasalahan dalam penelitian secara komperhensip dan terfokus untuk menghindari derifasi atau inkonsistensi pembahasan. Ketiga, tujuan dan kegunaan penelitian. Hal ini dimaksudkan agar penelitian yang dilakukan benar-benar memiliki visi yang produktif dan konstruktif bagi pengembangan pengetahuan. Keempat, telaah pustaka. Hal ini diperlukan untuk mengetahui seberapa jauh perkembangan pemikiran tentang penelitian ini serta menempatkan diri di mana letak penelitian ini. Kelima, kerangka teoretik, yaitu sebagai cara pandang dan kerangka acuan terhadap penelitian yang dilakukan. Keenam, metode penelitian dimana hal ini dimaksudkan sebagai langkah- langkah yang akan ditempuh dalam menganalisa data.
Kemudian tahap kedua yaitu Isi, terdiri dari tiga bab, yakni bab II, III, dan bab IV. Bab kedua mengulas tentang tinjauan umum tentang pelaksanaan perkawinan dalam Islâm. Hal ini diperlukan karena pada dasarnya penelitian ini terfokus pada pelaksanaan perkawinannya. Bab ini terbagi atas empat sub, pertama, membahas tentang definisi perkawinan dan dasar hukumnya dari perspektif Islam. Kedua, bagaimana Isla>m menilik tujuan dan hikmah dilaksanakannya perkawinan. Ketiga, membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan syarat dan rukun dalam perkawinan. Keempat, mengupas akibat hukum yang timbul dari dilaksanakannya perkawinan tersebut.
Bab ketiga mengulas tentang pelaksanaan dan keberadaan perkawinan waria ditinjau dari hukum Isla>m. Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran tentang pelaksanaan dan keberadaan perkawinan waria pada saat ini. Bab ini terbagi menjadi empat sub, pertama, mengulas tentang latar belakang kehidupan waria di tinjau dari segi sosial dan psikologisnya. Kedua, mengupas tentang waria dalam berbagai perspektif, yaitu menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan waria. Sub ini dibagi menjadi dua, a. Abnormalitas seksual dan pandangan tentang waria, dan b. Waria dalam lintasan sejarah. Ketiga, membahas tentang pengertian perkawinan waria. Keempat, mengupas hal-hal yang menjadi problem dalam perkawinan waria.
Selanjutnya bab keempat, yaitu membahas tentang kontekstualisasi hukum terhadap perkawinan waria di Yogyakarta. Bab ini dibagi menjadi dua sub, yaitu meliputi penentuan status waria dan analisis hukum Islam terhadap praktek perkawinan waria. Bab ini merupakan pembahasan inti dan analisa penyusun terhadap permasalahan praktek perkawinan waria dalam perspektif hukum Isla>m.
Dan Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran sebagai akhir dari pengkajian penelitian ini.
[1]) Disamping istilah ini, sering pula digunakan istilah Pernikahan. Istilah tersebut diserap dari kata Arab an-Nika>h yang berakar dari kata Nakaha, Yankihu, Nika>han yang berarti “mengawini” dan bisa juga berarti “bersetubuh atau bersenggama”. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir ; Kamus Arab-Indonesia, cet. ke-14, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1461. Hanya saja, dewasa ini kerapkali dibedakan antara kawin dan nika>h, akan tetapi pada prinsipnya antara perkawinan dan pernikahan hanya berbeda pada bagaimana menarik akal kita saja. Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam; MKDU, cet. ke-1, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 188.
[2]) Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), cet. ke-4, (Yogyakarta : Liberti, 1999), hlm. 12.
[3]) Rahmat Sudirman, Konstruksi Seksualitas Islam Dalam Wacana Sosial; Peralihan Tafsir Seksualitas, cet. ke-1, (Yogyakarta : Media Pressindo, 1999), hlm. 57.
[4]) Undang- undang Pokok Perkawinan, hlm. 3-5. Lihat juga, Moch Asnawi, Himpunan Peraturan dan Undang-undang Republik Indonesia tentang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya, (Kudus : Menara, t.t), hlm. 28.
[5]) Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, cet. ke-28, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), hlm. 8-13.
[6]) Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, cet. ke-1, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992), hlm. 116-117.
[7]) M.I. Aly Manshur dan Noer Iskandar al-Barsany, cet.ke-1, Waria dan Pengubahan Kelamin, (Yogyakarta : Nur Cahaya, 1981), hlm. 18.
[8]) Hasil wawancara dengan Merlyn Sopjan (Ario Pamungkas), saat ini sebagai Ratu Waria Indonesia, di Hotel Wisanti Yogyakarta pada hari Rabu, tanggal 04 Juni 2003, pukul 10.00-12.00 WIB.
[9]) M.I. Aly Mansur dan Noer Iskandar al-Barsany, Waria dan Pengubahan, hlm. 24.
[10]) M.I. Aly Mansur dan Noer Iskandar al-Barsany dari hasil wawancaranya dengan Dr. H. Ali Akbar menyimpulkan bahwa kaum transeksual adalah sekelompok manusia baik laki-laki maupun perempuan, dengan tubuh dan alat kelamin sempurna, akan tetapi jiwanya membenci alat kelaminnya, malah ia ingin memotong atau mengganti kelaminnya dengan alat kelamin yang sesuai dengan jiwanya. Ibid., hlm. 10.
[11]) Ibid., hlm. 39.
[12]) Penyakit menular seksual dapat disebutkan diantaranya yang paling terkenal adalah Syphilis dan AIDS. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam buku Koeswinarno, Waria dan Penyakit Menular Seksual, cet. ke-1, (Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, 1996), hlm. 61-75.
[13]) Hanya saja, mungkin atas dasar moral dan etika, penulis buku ini tidak mempublikasikan dua kota yang dimaksud. Pada laporannya, penulis hanya menggunakan nama Propinsi Mojo Wetan dan Propinsi Mojo Kulon sebagai samaran kedua wilayah tempat penyusun melakukan penelitiannya. Lebih lanjut lihat buku Koeswinarno, Ibid.
[14]) Lebih lanjut lihat, Yash, Transseksualisme; Sebuah Studi Kasus Perkembangan Transeksual Perempuan ke Laki-laki, cet. ke-2, (Semarang : Aini, 2003).
[15]) Sebenarnya pandangan ini tidak adil karena dari sisi lain, dari dimensi lain orang-orang yang disebut waria itu, sepenuhnya normal. FX Rudy Gunawan, Krisis Orgasme Nasional, (Yogyakarta : Galang Press, 2002), hlm. 139.
[16] ) Wawancara dengan Maya pada hari Jum’at tanggal 6 Pebruari 2004 jam 14.30.00-16.30 WIB di Salonnya yang terletak di Bumirejo (Timur Samsat).
[17] ) Diceritakan oleh Vinolia dalam wawancara pada hari Minggu tanggal 8 Pebruari 2004 jam 13.30-16.00 WIB di serambi Masjid Stasiun Lempuyangan Yogyakarta.
[18]) Koeswinarno, Revolusi Sosial Kaum Minoritas; Study Kasus Waria di Yogyakarta, (The Toyota Fondation, 1993), hlm. 52-56.
[19]) Kartini Kartono, Psikologi Anak; Psikologi Perkembangan, cet. ke-5, (Bandung : Mandar Maju, 1995) hlm. 67.
[20] ) FX. Rudy Gunawan, Mendobrak Tabu; Sex, Kebudayaan dan Kebejatan Manusia, cet. ke-1, (Yogyakarta : Galang Press, 2000), hlm. 63.
[21]) Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Sekasual, cet. ke-6, ( Bandung : Mandar Maju, 1989), hlm. 257 dan Marzuki Umar Sa’abah, Perilaku Seks Menyimpang dan Sekasualitas Kontemporer Umat Islam, cet. ke-1, (Jogjakarta : UII Press, 2001), hlm. 137.
[22]) Koeswinarno, Waria dan Penyakit Menular Seksual, cet. ke-1, (Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan UniversitaGadjah Mada, 1996), hlm. 5.