BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan telah terjadi sejak manusia pertama dijadikan Allah SWT, sebagaimana yang telah terjadi pada Nabi Adam AS. sebagai manusia pertama yang telah dikawinkan oleh Allah SWT dengan Siti Hawa. Proses kejadian itu adalah merupakan proses permulaan dan pertama kali dalam sejarah kehidupan manusia di bumi ini.[1] Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antar anggota keluarga.[2]
|
Perkawinan antar agama adalah merupakan persoalan yang konkrit, yang perlu mendapat perhatian dewasa ini yang sering terjadi pada masyarakat Indonesia, tetapi sekarang tidak mendapat pengaturan di dalam Undang-undang perkawinan nasional. Meskipun Undang-undang Perkawinan No.1/1974, tentang perkawinan yang merupakan produk legislatif saat ini telah diterima dengan kegembiraan, tetapi juga tidak boleh menutup mata kepada kekurangan-kekurangan yang terkandung di dalamnya. Undang-undang yang belum sempurna dan unifikasi tersebut bertujuan untuk melengkapi segala apa yang tidak diatur hukumnya dalam agama atau kepercayaan, karena dalam hal itu negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman.
Pada pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan No.1/1974 beserta penjelasannya, menunjukan pula bahwa di dalam perkawinan antar agama harus diterapkan hukum agama masing-masing pihak yang melakukan perkawinan. Akan tetapi apa mungkin dalam suatu peristiwa hukum yakni perkawinan, diterapkan di dalamnya dua aturan agama yang berlainan, apabila tidak mungkin diterapkan dua macam aturan atau dua hukum agama yang berlainan dalam perkawinan itu maka hukum agama salah satu pihak yang dikalahkan. Dengan aturan petunjuk itulah yang menentukan hukum manakah yang berlaku bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan antar agama.[4]
Islam menganjurkan agar seorang pria Muslim memilih pasangan istri yang shalih, yaitu perempuan yang selalu mematuhi agama dengan baik, berakhlak mulia, memperhatikan hak-hak suami dan mampu memelihara serta mendidik anak-anak dengan baik. Nabi Muhammas SAW. pernah bersabda:
تنكح المراة لاربع: لما لها, و لنسبها, و لجما لها, و لد ينها, فا ظفر بذا ت الدين تر بت يدا ك.[5]
Sebagaimana sunnah Nabi SAW. tersebut bahwa memilih istri itu janganlah hanya mementingkan kecantikan atau kekayaannya saja, tetapi haruslah memperhatikan segi agamanya.
Adanya perbedaan dalam memilih pasangan suami atau istri yang tidak sekufu’ (setara) baik dalam hal harta, status, keturunan, maupun agama seringkali menjadi penyebab tidak harmonisnya dalam rumah tangga . Ketidakharmonisan ini ketika tidak bisa dipulihkan dalam bangunan rumah tangga terkadang suami atau istri memutuskan untuk melakukan perceraian.[6]
Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 pasal 19 jo Kompilasi Hukum Islam diatur tentang alasan-alasan perceraian yang dibenarkan oleh hukum di Indonesia. Adapun alasan-alasan perceraian tersebut adalah :
- Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar di sembuhkan.
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
- Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
- Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
Dari alasan-alasan perceraian dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19 jo Kompilasi Hukum Islam di atas, perceraian karena alasan perselisihan agama belum masuk dalam PP tersebut, begitu juga dalam peraturan positif yang lain. Padahal dalam dataran teori dan praktek fenomena perceraian karena perselisihan agama sempat mencuat sebagaimana yang terjadi di Pengadilan Agama Sleman Yogyakarta.
Perceraian karena perselisihan agama yang penyusun maksud di sini adalah, perselisihan yang terjadi antara suami dan istri yang terjadi dalam lembaga perkawinan yang sah, dan status keduanya (suami dan istri) masih dalam satu agama, dalam hal ini adalah sama-sama masih beragama Islam.
Peceraian yang disebabkan karena perselisihan agama yang terjadi di Pengadilan Agama Sleman Yogyakarta, dari penelitian yang telah kami lakukan dapat disimpulkan bahwa perceraian tersebut terjadi karena adanya perselisihan antara suami dan istri yang mana perselisihan tersebut pada awalnya terjadi karena ajakan suami yang sebelum perkawinan statusnya berbeda agama dengan agama sang istri, dan kemudian setelah dalam perkawinan mengajak sang istri untuk ikut dalam agama pertama suami, dari sinilah kemudian terjadi perselisihan dan pertengkaran-pertengkaran karena ajakan suami tersebut, lalu kemudian karena istri tidak tahan dia mengajukan gugat cerai, dengan perselisihan agama sebagai alasan dalam gugat cerainya.
Dalam konsep Islam sendiri menyoroti perkawinan berbeda agama hanya membolehkan pria Muslim menikahi perempuan non-Muslim, hal itupun hanya terbatas dengan perempuan Ahli Kitab saja.[7] Sedangkan bentuk perkawinan berbeda agama antara Muslimah dengan pria non-Muslim dilarang tegas dalam Islam, berdasarkan ayat:
...ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولوأعجبكم...[8]
Dalam masyarakat Indonesia kiranya tidak sedikit seorang pria Muslim yang mengawini perempuan non-Islam serta sebaliknya, dan kalau diamati perkawinan antar agama yang mereka lakukan pada umumnya membawa fenomena-fenomena yang berpengaruh terhadap pembentukan suatu keluarga yang sakinah.[9] Akan tetapi, hanya karena perasaan cinta, pasangan-pasangan yang berbeda agama melanjutkan hubungan mereka dalam suatu kehidupan rumah tangga. Hanya ada dua kemungkinan bagi pasangan suami istri yang berbeda agama, pertama, rumah tangga mereka akan bahagia, sejahtera, harmonis, damai, dan sentosa, namun agama mereka terabaikan, atau norma-norma agama dilangkahi, atau salah seorang mengalah isteri masuk agama suami atau suami masuk agama isteri. Kedua, kalau masing-masing mereka tetap teguh berpegang pada ajaran agamanya, konflik akan selalu membayangi dan melanda rumah tangga, rasanya mustahil mendapatkan rumah tangga seperti itu yang bahagia sementara kedua belah pihak dengan kokoh berpegang pada ajarannya.
Goyahnya rumah tangga, akibat nilai tersebut bukan saja dirasakan oleh suami dan istri, lebih jauh masalah ini bahkan membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Anak menjadi bingung, bimbang dalam menentukan agamanya dan dalam hal ini bisa menimbulkan depresi pada anak.[10]
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, memberikan jalan keluar terakhir bagi kesulitan yang tidak dapat dipecahkan lagi, sebagai suatu obat bagi penyakit yang parah yang sudah tidak ada obat lain, yaitu dengan perceraian.[11] Bilamana hubungan suami istri tidak lagi memungkinkan untuk tercapainya tujuan dari perkawinan, maka Allah tidak memaksakan mereka untuk bertahan dalam perkawinan itu.
Penelitian tentang perceraian karena perselisihan agama sengaja penyusun ambil karena dari hasil penelitian yang penyusun lakukan tentang perceraian di Pengadililan Agama Sleman tahun 2002-2003, penyusun mendapatkan fenomena yang sangat menarik, yaitu adanya perceraian yang disebabkan karena perselisihan agama. Sedangkan pada rentang tahun sebelum penelitian yang penyusun lakukan belum ada satupun penelitian ilmiah yang mencoba mengangkat mengenai persoalan tersebut.
B. Pokok Masalah
Dari latar belakang masalah yang penyusun gambarkan di atas, maka pokok masalah dari penelitian ini adalah :
1. Faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan agama sehingga mengakibatkan suami atau isteri mengajukan gugatan cerainya di Pengadilan Agama Sleman ?
2. Pertimbangan hukum apa yang digunakan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan perselisihan agama di Pengadilan Agama Sleman ?
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengkaji dan menganalisis terjadinya perselisihan agama yang berakibat suami atau isteri menjadikan alasan dalam mengajukan gugatan cerainya ke Pengadilan Agama Sleman.
b. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan perselisihan agama di Pengadilan Agama Sleman.
2. Kegunaan penelitian:
a. Kegunaan Ilmiah
Dari sisi ilmiah, penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan dan memperkaya khasanah pengetahuan, terutama pengetahuan yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian dalam hukum Islam.
b. Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis dari penyusunan skripsi ini, yakni agar menjadi bahan acuan dan pertimbangan bagi Pengadilan Agama Sleman pada masa yang akan datang, khususnya perceraian dengan alasan perselisihan agama.
D. Telaah Pustaka
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan antara pria dan perempuan yang sama akidah, akhlak serta tujuannya, disamping cinta dan ketulusan hati. Di bawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia dan anak-anak akan sejahtera. Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu tidak akan terwujud secara sempurna, kecuali jika suami isteri berpegang pada ajaran agama yang sama. Jika agama mereka berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga dalam masalah ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi, keagamaan dan lain-lain.[12]
Dalam tulisan Ahmad Sukarja, yang berjudul “Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam,” (Ed.) Chuzaimah T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary Azolla, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus,1994. Dijelaskan dengan cukup gamblang tentang perkawinan berbeda agama, baik dalam tinjauan agama maupun tinjauan peraturan perkawinan di Indonesia. Dalam kedua tinjauan tersebut beliau mengharamkan perkawinan berbeda agama baik antara seorang Muslim dan Musyrik maupun Muslim dan Ahli Kitab, serta sebaliknya Muslimah dan Musyrik maupun Muslimah dan Ahli Kitab.
Adapun Masjfuk Zuhdi, dalam karyanya Masa’il Fiqhiyah, Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1993. Pembahasanya tentang hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang perempuan Islam dengan pria Nasrani atau Yahudi, yaitu karena dikhawatirkan perempuan Muslimah tersebut akan kehilangan kebebasan beragama dalam melaksanakan ajaran agamanya, yang kemudian bisa terseret kepada agama suaminya itu. Demikian juga anak-anak yang lahir dari hasil perkawinan mereka dikhawatirkan akan mengikuti agama bapaknya, lantaran bapak sebagai kepala keluarga pengaruhnya bisa lebih kuat dari pada ibunya. Sedangkan perkawinan antara seorang pria Muslim dengan perempuan Kristiani atau Yahudi, hal ini masih adanya kemungkinan dibolehkan, sebab sama-sama agama wahyu. Maka jika seorang Muslim yang baik dan ta’at pada ajaran agamanya, dengan menikahi perempuan Nasrani atau Yahudi, dapat diharapkan atas kemauan dan kesadarannya sendiri masuk Islam.
Dalam bentuk skripsi, penelitian tentang perkawinan antar agama telah dilakukan oleh Lilis Setyarini, yang berjudul “Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional” (Studi Kasus di Kec. Kemranjen, Kab. Banyumas), Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1998. Penelitian lapangan ini, menyinggung seputar akibat serta dampak hukum yang ditimbulkan oleh perkawinan antar agama, dalam hal ini menyangkut pandangan hukum Islam serta hukum nasional tentang perkawinan yang dilakukan oleh orang yang berlainan agama.
Selanjutnya dalam skripsi lain yang disusun oleh Suprianto, dengan mengambil judul “Larangan Perkawinan Orang yang Berbeda Agama (Suatu Analisis Hukum Islam)”, Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1997. Dalam penelitian ini lebih banyak disinggung tentang dilarangnya secara tegas perkawinan dengan perempuan Musyrik, namun masih terbukanya jalan untuk mengawini perempuan Ahli Kitab.
Sedangkan dalam buku Al-Purwahadi Wardoyo, Perkawinan Menurut Islam dan Katholik Implikasinya Dalam Kawin Campur, Cet.ke-4, Yogyakarta: Kanisius, 1995. Pembahasannya mengenai pandangan kedua agama terhadap hakekat perkawinan berbeda agama, dan sama sekali tidak menyinggung tinjauan secara yuridis. Penyusun juga menyinggung bahwa hendaknya tinjauan perkawinan berbeda agama harus dilakukan secara rasional dan toleransi.
Tinjauan lebih lengkap lagi tentang perkawinan antar agama yang di kemukakan oleh O.S.Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, Cet.ke-1, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996. Dijelaskan dari segi pandangan berbagai agama yang ada di Indonesia terhadap kawin antar agama dan dari segi peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, serta dijelaskan juga keadaan rumah tangga bagi orang yang melakukan perkawinan berbeda agama baik dalam teorinya maupun praktek.
Di dalam bukunya M.Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, Cet.ke-1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Pembahasanya lebih cenderung untuk mengaitkannya dengan tujuan perkawinan, jika perkawinan berbeda agama itu menghalangi terwujudnya tujuan perkawinan maka bentuk perkawinan seperti ini haram hukumnya. Dibahas juga tentang kebahagian, ketentraman, dan keharmonisan rumah tangga, serta pendidikan anak untuk lebih di utamakan, dengan meninggalkan semua kemudaratan yang dapat berakibat melencengnya tujuan perkawinan yang telah direncanakan.
Berdasarkan telaah dari beberapa literatur tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembahasannya lebih banyak pada penekanan dilarangnya perkawinan dengan orang yang berbeda agama.. Di sini penyusun mencoba mengangkat masalah yang ditimbulkan dari perkawinan berbeda agama, sehingga muncul menjadi perselisihan agama dalam suatu keluarga (antara suami dan isteri), yang kemudian menjadi alasan terjadinya perceraian.
E. Kerangka Teoretik
Salah satu tujuan dari perkawinan dalam Islam adalah untuk menciptakan kehidupan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[13]
Untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal itu tidaklah mudah, ada beberapa dasar yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Salah satu dasar tersebut tercantum dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”[14] Dalam ajaran agama Islam, keabsahan perkawinan ditentukan oleh terpenuhinya syarat-syarat tertentu, yang kemudian menimbulkan konsekwensi, yaitu terbentuknya hak dan kewajiban. Salah satu syarat yang dimaksud ialah bahwa antara calon mempelai laki-laki dan perempuan halal untuk mengadakan ikatan perkawinan.[15]
Islam dengan tegas melarang perempuan Muslim kawin dengan pria non-Muslim, baik Musyrik maupun Ahli Kitab, dan pria Muslim secara pasti dilarang kawin dengan perempuan Musyrik, tetapi secara zahir ada nash yang menunjukkan kebolehan pria Muslim menikahi perempuan Ahli Kitab.
Ahmad Sukarja, dalam artikelnya mengemukakan pendapat Yusuf al-Qardawi, bahwa banyak mudarat yang mungkin terjadi akibat dari perkawinan berbeda agama, di antaranya sebagai berikut :[16]
1. Akan semakin banyak perkawinan orang Islam dengan perempuan non-Islam. Hal ini akan berpengaruh kepada perimbangan antara perempuan Islam dengan laki-laki Islam. Perempuan Muslim akan semakin banyak yang tidak kawin dengan laki-laki Muslim. Sementara itu poligami diperketat dan malahan laki-laki Muslim tidak bisa melakukan hal itu lantaran perkawinannya dengan Nasrani atau Yahudi akan membatasinya tidak boleh berpoligami dalam perkawinan.
2. Suami mungkin terpengaruh oleh agama isterinya, demikian pula sebaliknya serta anak-anaknya. Bila ini terjadi maka fitnah telah benar-benar terjadi.
3. Perkawinan berbeda agama akan menimbulkan kesulitan hubungan yang harmonis, di antara suami dan isteri dan juga dengan anak-anak mereka, terlebih lagi jika mereka berbeda kebangsaan, bahasa, kebudayaan dan tradisi maka akan lebih sulit lagi.
Dengan adanya berbagai kemudharatan yang timbul akibat perkawinan berbeda agama tersebut, maka jelaslah bahwa hal itu tidaklah sesuai dengan tujuan syari’at Islam. Berdasarkan konsep Maqasid asy-Syari’ah, yaitu bahwa Allah menurunkan syari’at Islam ke dunia ini adalah demi kemaslahatan[17]. Serta berdasarkan konsep Sadd az-Zari’ah, yaitu mencegah sesuatu yang menjadi perantara kepada kerusakan.[18] Adapun perceraian merupakan jalan terakhir yang boleh dilakukan demi mencegah terjadinya suatu bencana yang lebih besar, jika ikatan perkawinan yang sudah retak itu tetap dipertahankan. Sebagaimana kaidah Fiqh:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح[19]
الضرر يزال[20]
Perceraian dalam pandangan Islam termasuk suatu perbuatan yang dibolehkan, akan tetapi perceraian juga merupakan suatu perbuatan yang sangat di benci oleh Allah SWT. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis Nabi SAW:
أبغض الحلال الى الله الطلاق[21]
Diputusnya perkawinan (perceraian) oleh suami atau isteri, atau atas kesepakatan kedua-duanya apabila hubungan mereka tidak lagi memungkinkan tercapainya tujuan perkawinan. Pada umumnya perceraian dianggap tidak terpuji, tetapi bila keadaan mereka menemukan jalan buntu untuk memperbaiki hubungan yang retak antara suami dan isteri, maka dalam keadaan seperti itu perceraian adalah alternatif terbaik.
Pengajuan perkara dalam perceraian ini tidak hanya perselihan agama sebagai alasan perceraian tetapi dibarengi dengan alasan lain seperti, pertengkaran terus-menerus, pisah tempat tinggal, dan akhirnya meninggalkan kewajibannya, sehingga pokok perkara ini beralih dari perselisihan agama menjadi pertengkaran terus menerus. Selain itu keberadaan Kompilasi Hukum Islam hanya sebagai instruksi Presiden dan bukan Undang-undang sehingga penggunaannya tidak mengikat hakim.
Sesuai dengan prinsip mempersulit terjadinya perceraian dan mengutamakan perdamaian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Untuk memutuskan perceraian tersebut harus cukup alasan sehingga dapat dijadikan landasan bahwa antara suami dan istri tidak ada harapan lagi untuk dapat hidup bersama.
Pengadilan dapat bertindak aktif untuk menangani suatu perkara apabila perkara tersebut telah secara resmi diserahkan kepada pengadilan, dengan melalui pengajuan perkara oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dalam hal ini penggugat. Sedangkan dalam memeriksa dan meneliti terhadap alat-alat bukti yang digunakan dalam sidang pengadilan, maka majlis hakim harus benar-benar teliti sehingga akan didapat alat bukti yang diyakini dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Kebenaran dan keyakinan seorang hakim atas alat bukti yang ada tersebut agar memudahkan dalam memutuskan perkara.
Dengan demikian berdasarkan keyakinan akan kebenaran alat bukti, maka hakim meletakkan dasar keputusannya. Dengan pembuktian pula ditolaknya gugatan-gugatan yang lemah, dusta, dan tidak berdasarkan pada suatu fakta yang konkrit. Dalam menetapkan suatu perkara juga sangat diharapkan sesuai proporsinya dengan memberikan suatu solusi yang tepat dan seadil-adilnya dengan berpedoman pada peraturan maupun Undang-undang yang berlaku.
F. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun menggunakan metode sebagai berikut:[22]
- Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Research), yaitu mencari data secara langsung ke lapangan untuk mengetahui secara jelas, bagaimana sebenarnya kasus perceraian karena perselisihan agama yang terjadi di Pengadilan Agama Sleman pada tahun 2002-2003. Adapun jumlah kasus perceraian yang diterima pada tahun tersebut yaitu 1337 perkara, dari perkara perceraian yang diterima dan telah diputuskan oleh Pengadilan Agama Sleman, perkara perceraian karena perselisihan agama telah diputuskan sebanyak 6 (enam) perkara, dan keenam perkara ini semua dipakai dan digunakan oleh penyusun sebagi sampel. Penelitian ini juga didukung dengan penelitian pustaka (Library Research).
- Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan penyusun dalam penelitian ini, adalah deskriptik analitik, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu peristiwa atau keadaan yang dimaksud untuk merumuskan masalahnya secara terperinci dan selanjutnya untuk dianalisis.
- Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:
a. Metode Interview (wawancara), yaitu metode pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab. Adapun pihak yang akan diwawancarai adalah para hakim dan ketua Pengadilan Agama Sleman.
b. Metode Dokumentasi, yaitu cara memperoleh data tentang suatu masalah dengan menelusuri dan mempelajari dokumen-dokumen, berupa berkas-berkas perkara yang berhubungan dengan perkara perceraian dengan alasan perselisihan agama di Pengadilan Agama Sleman. Selain itu juga melakukan studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literatur yang ada relevansinya dengan persoalan tersebut.
- Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan ini adalah:
a. Pendekatan Yuridis, yaitu cara mendekati masalah yang diteliti dengan mendasarkan pada semua tata aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yang mengatur masalah perkawinan pada umumnya dan mengenai masalah perceraian pada khususnya.
b. Pendekatan Normatif, yaitu pendekatan yang menuju dan mengarah pada persoalan ditetapkannya sesuatu berdasarkan pada hukum Islam.
- Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data-data yang ada, digunakan metode analisis kualitatif dengan menggunakan cara berpikir induksi, yaitu metode untuk menganalisis data-data khusus, untuk kemudian ditarik pada kesimpulan yang bersifat umum. Dengan metode induktif, penyusun mencoba menganalisis fenomena perceraian dengan alasan perselisihan agama yang terjadi di Pengadilan Agama Sleman Tahun 2002-2003, yang kemudian ditarik menjadi satu kesimpulan umum.
G. Sistematika Pembahasan
Sebagai usaha untuk memudahkan dan mengarahkan skripsi ini, penyusun membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama, berisi tentang selayang pandang mengenai penelitian ini, diantaranya: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, sistematika pembahasan.
Bab kedua, dibahas tentang tinjauan umum tentang perselisihan agama yang meliputi: pengertian perselisihan agama, hukum perselisihan agama, dan tentang perceraian yang berisi tentang, pengertian perceraian, alasan-alasan perceraian, dasar hukum perceraian, bentuk perceraian, serta rukun dan syarat perceraian.
Bab ketiga, memuat tentang perkara perceraian karena perselisihan agama yang meliputi: perkara perceraian karena perselisihan agama yang masuk di Pengadilan Agama Sleman, faktor penyebab terjadinya perselisihan agama, putusan perkara perceraian karena perselisihan agama di Pengadilan Agama Sleman.
Bab keempat, merupakan analisis terhadap perkara perceraian karena perselisihan agama di Pengadilan Agama Sleman, yang meliputi: faktor penyebab terjadinya perselisihan agama di Pengadilan Agama Sleman dan pertimbangan hukum dalam penyelesaian perkara perceraian karena perselisihan agama di Pengadilan Agama Sleman.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran.
[1] Tamar Djaja, Tuntutan Perkawinan dan Rumah Tangga Islam 2, (Bandung: al-Ma’arif, 1982), hlm. 3
[2] Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Cet. ke-3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 8
[3] Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Hukum Islam, (Bandung: al- Ma’arif, 1972), hlm. 6
[4] Barmawi Mukri, “Perkawinan Campur dan Perkawinan Antar Agama”, Unisia, No.4/Th.VI/Triwulan II/1985, hlm. 14
[5] Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah, Bab al-Akfa fi ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M/1401 H), VI: 123, Hadis diriwatatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah.
[6] A.Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk, Cet.ke-2, (Bandung: al-Bayan, 1995), hlm. 43
[7] Perempuan Ahli Kitab yang masuk dalam kriteria pembolehan kawin berbeda agama ini, mungkin saat ini tidak berlaku lagi. Hal ini disebabkan karena dalam perspektif agama tauhid, Ahli Kitab (dari agama Nasrani), sebagaimana yang disebutkan dalam kontek sejarah Nabi tidak ada lagi. Pada zaman sekarang, karena dalam sejarah sendiri, kita telah melihat betapa agama tauhid yang dibawa oleh Nabi Isa tersebut telah diselewengkan dari rel tauhid (agama hanif). Dalam kontek saat ini, sebagian dari Ahli Kitab yang masih memegang rel tauhid (orang-orang shobi’in) tersebut sudah sangat sedikit atau boleh dibilang sudah tidak ada lagi. Lihat al- Ma’idah, (5):5. Lihat juga, Karen Armstrong,, Sejarah Tuhan, terj. Zainul Am, Cet.ke-6 (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 539
[8] al-Baqarah (2): 221
[9] Zarkasyi Abdus Salam, ”Perkawinan Antar Orang yang Berbeda Agama”, dalam Jurnal Penelitian Agama No. 9 Tahun IV, (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M, 1995), hlm. 33
[10] Badri Yatim, “Mendayung Bahtera Keluarga Dengan Perbedaan Agama,” dalam, Panji Masyarakat, Edisi No. 510 Tahun 1986, hlm. 18
[11] Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam, hlm. 158
[12]Ahmad Sukarja, “Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam”, (Ed) Chuzaimah T.Yanggo dan HA Hafiz Anshary Azolla, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 1
[13] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam, hlm. 19
[14] Pada pasal 2 ayat (1) ini, bagi umat Islam sesuai dengan apa yang telah diajarkan dalam al-Qur’an. Lihat Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1Tahun 1974 dan Lampiran UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Cet. ke-1, (Jakarta: Tinta Mas, 1975), hlm. 19
[15] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Cet.ke-3 (Beirut : Dar al-Fikr, 1981), II: 48
[16]Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama, hlm. 13-14
[17] Perlindungan yang paling pokok (Dharuri) terhadap kepentingan manusia mencakup lima hal : pemeliharaan agama, pemeliharaan akal, pemeliharaan kehormatan dan keturunan (keluarga), pemeliharaan jiwa, dan pemeliharaan harta (kekayaan). Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma’sum, Cet.ke-5, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 425
[18] Dari segi Etimologi, Dzari’ah berarti wasilah (perantara). Sedang dzari’ah menurut istilah hukum Islam, ialah sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya. Lihat Ibid., hlm. 438
[19] Asjmuni Abdurrahman, Qaidah-qaidah Fiqh, Cet.ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 29
[20] Ibid., hlm. 85
[21] Abu Dawud Sulaiman bin Asya’, Sunan Abi Dawud, “Kitab at-Talaq”, Bab “Kauniyah at-Talaq,” (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: 225, Hadis Nomor 2178, diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Umar.
[22] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 122-131