BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di masa sekarang ini hukum sedang berkembang, dan terus menerus dibangun, sementara pembangunan hukum tidak bisa meninggalkan rasa hukum masyarakatnya, tentu saja hukum Islam menjadi begitu penting peranannya dalam pembinaan Hukum Nasional Indonesia, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam.
Indonesia yang termasuk negara yang sedang berkembang, mengawali kehidupannya dengan hasrat yang kuat untuk melaksanakan pembangunan. Yang pada dasarnya, pembangunan adalah kehendak untuk melakukan perubahan terhadap situasi kehidupan yang lebih baik, membina agar lebih maju dan memperbaiki agar lebih teratur.
Pembangunan, sebagaimana dikonsepsikan di atas, mengisyaratkan adanya perubahan terhadap dasar-dasar kemasyarakatan, baik bersifat struktural maupun kultural. Dasar-dasar kemasyarakatan tersebut, menurut Soerjono Seokanto,[1] paling sedikit mencakup: (1) agama, (2) filsafat, (3) ideologi, (4) ilmu pengetahuan, dan (5) teknologi. Dengan demikian, pembangunan Hukum Islam di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Penjabaran Hukum Islam ke dalam Sistem Hukum Indonesia.
2. Penciptaan serta menyusun kembali lembaga-lembaga hukum baru.
3. Mengupayakan tentang bagaimana hukum tadi dapat dijalankan dengan efektif.[2]
Sifat khas permasalahan di bidang hukum tersebut terletak pada upaya pemetaan kembali sistem hukum, baik dalam seginya sebagai suatu struktur logis hukum maupun dalam seginya sebagai suatu sarana bagi perencanaan masyarakat ideal.
Lebih dari itu, terciptanya suatu sistem hukum yang sesuai dengan keadaan sekarang ataupun di dalam menghadapi perkembangan di masa yang akan datang merupakan kebutuhan lain yang mendorong sifat khas permasalahan di atas.
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka upaya pembangunan Hukum Islam akan melibatkan tiga komponen yang mesti diperhitungkan dengan matang dan cermat, biasa dikenal dengan istilah “Tri Darma Hukum”, yaitu: (1) komponen perangkat hukum, (2) komponen penegak hukum, dan (3) komponen kesadaran hukum.[3]
Memperhitungkan setiap komponen hukum secara menyeluruh merupakan suatu pembahasan yang lengkap dan tuntas. Akan tetapi, membatasi pembahasan terhadap komponen penegak hukum bukan berarti menganggap komponen-komponen hukum yanng lainnya kurang penting. Dalam tulisan ini, komponen penegak hukum ditempatkan sebagai tema-sentral pembahasan, sambil berusaha melihat kaitannya dengan komponen-komponen lainnya.
Perangkat hukum, secara intrinsik, merupakan refleksi pembuatnya, yaitu mereka yang mempunyai peluang untuk melaksanakan serta mengawasi kekuasaan, “rulling-class”. Sebab, perangkat hukum, sampai tingkat tertentu, dikondisikan oleh situasi politik yang berlaku. Dengan kata lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel S. Lev,[4] tergantung dari kekuatan dan kekuasaan politik, sedangkan kondisi itu sebaliknya ditentukan oleh berbagai kekuatan lainnya, seperti sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan ini, maka Hakim Pengadilan Agama yang terlibat secara langsung dengan proses hukum,[5] akan berhadapan dengan suatu dilema persoalan. Di satu sisi, Hakim Pengadilan Agama harus memegang teguh perangkat hukum yang berlaku dan diberlakukan. Sedangkan di sisi lain, harus memperhitungkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap perangkat hukum tersebut.
Dilema persoalan tersebut jelas, terutama, jika hukum diartikan sebagai keluaran atau hasil-aktual dari praktek sehari-hari para pejabat hukum, bukan peraturan-peraturan atau perundang-undangan.[6] Meskipun demikian, perangkat hukum tetap dipergunakan. Paling tidak, sebagai pegangan dalam melukiskan proses sesungguhnya dari pembangunan hukum.
Pada hakikatnya, bagaimanapun hukum didefinisikan, hukum merupakan salah satu aspek budaya. Dalam hal ini hukum merupakan hasil konkritisasi manusia atas nilai-nilai agama dalam mengatur kehidupan manusia itu sendiri.[7] Dengan demikian, hukum dapat dijumpai dalam berbagai lambang atau simbol.
Di antara lambang-lambang tersebut yang paling tegas dalam mengutarakan isi dan maknamya adalah dalam bentuk tertulis, “perangkat hukum formal”. Dalam hal ini, hukum memperlihatkan sifatnya yang mendua, “ambivalent”. Sebab, bentuk yang demikian menunjukkan adanya kepastian hukum, dan pada saat yang sama, bentuk yang demikian menunjukkan adanya kekuataan hukum.
Kepastian hukum banyak ditentukan oleh kekakuan di dalam pengaturan. Akan tetapi, pada gilirannya, kekakuan di dalam pengaturan akan menyebabkan keadaan yang lain pula, di antaranya: menciptakan ketimpangan antara bentuk pengaturan oleh perangkat hukum dengan keadaan, hubungan, dan peristiwa-peristiwa dalam masyarakat. Dengan kata lain, terciptanya diskrepansi hukum, yaitu antara komponen perangkat hukum dan komponen kesadaran hukum.
Pemahaman tersebut bertolak dari anggapan, bahwa apabila hukum merumuskan secara umum situasi kehidupan masyarakat kontemporer biasanya lebih peka terhadap perasaan, harapan dan kecemasan yang merupakan bagian tak terlepaskan dari keterbatasan otak manusia dalam laju perubahan nyata.
Oleh karena itu, dalam mencari tempat berpijak yang memungkinkan terjaminnya proses pembangunan hukum, Hakim Pengadilan Agama dihadapkan pada suatu persoalan yang bersifat dilematis. Karena, keterlibatan Hakim Pengadilan Agama terhadap salah satu ekstrema yang dilaksanakan secara berlebihan dapat mengakibatkan penyimpamgan terhadap tujuan hukum itu sendiri, “keadilan”. Sebab, di satu pihak, menganggap perangkat hukum (formal) sebagai gejala yang berdiri sendiri berarti mengabaikan situasi umum kehidupan masyarakat. Sama halnya, di lain pihak, memusatkan perhatian terhadap situasi umum kehidupan masyarakat dapat mengabaikan kemungkinan bagi terwujudnya kemajuan dan pembaharuan masyarakat yang diperjuangkan dengan kuat.
Hubungan antara hukum dan masyarakat bersifat timbal-balik atau dialektis. Hukum memberi penilaian terhadap masyarakat dan juga mengarahkan apa yang seharusnya mereka lakukan mengenai kedudukan mereka dan masyarakat memberikan dasar-dasar sosial. Tetapi yang sering terjadi di dalam masyarakat, ukuran yang diusulkan tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi atau biasa diartikan sebagi masalah sosial.[8]
Dengan demikian, langsung atau tidak langsung, permasalahan sosial tersebut berhubungan dengan peran yang dimainkan oleh hakim pengadilan Agama. Hakim pengadilan Agama memberi dan menentukan prosedur yang harus ditempuh dalam mencapai tujuan yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, peranan hakim pengadilan Agama adalah untuk memelihara keselarasan fungsional dari komponen-komponen hukum lainnya.
Istilah "Peranan" (role)[9] dipilih karena menyatakan bahwa setiap orang adalah pelaku di dalam masyarakat di mana dia hidup. Dan maksud konsep "peranan" adalah untuk membuat garis batas antara masyarakat dan individu. Dalam batas peranan sosialnya, seorang mempunyai batas kebebasan tertentu.[10]
Dalam hal ini, hakim pengadilan Agama adalah termasuk pelaku dan mempunyai tingkat kebebasan tertentu dalam menyatakan hasrat untuk diakui serta diperhitungkan pengaruhnya sebagai sesuatu hal yang penting dalam masyarakat. Meskipun demikian, gambaran stereo type mengenai peranan yang harus dilaksanakan senantiasa ada.
Selain itu, Peranan juga mempunyai arti lebih luas dari pada tugas. Tugas adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan atau sesuatu yang wajib dikerjakan. Tugas seorang hakim agama adalah memeriksa, mengadili dan memutus perkara, dan fungsinya adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Sedangkan peran hakim adalah menjalankan semua tugas, fungsi dan tanggung jawab yang diembannya.
B. Pokok Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang telah penyusun paparkan di atas, penyusun mengambil pokok permasalahan sebagai berikut:
- Bagaimanakah peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosio Kultur?
- Usaha-usaha apakah yang harus dilakukan agar Hakim Pengadilan Agama mampu mengoptimalkan peranannya baik sacara struktural maupun kultural ?
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulisan skripsi ini bertujuan:
a. Menjelaskan bagaimana peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosio Kultur.
b. Menjelaskan usaha-usaha yang harus dilakukan agar peran itu bisa seoptimal mungkin dilakukan.
2. Kegunaan
Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendasar agar dapat di peroleh kegunaan dari permasalahan tersebut, yaitu:
a. Secara akademik
Penulisan ini diharapkan dapat menciptakan suasana yang favourabel bagi pengembangan ilmu hukum, baik dalam artinya sebagai suatu sarana pengendalian masyarakat maupun dalam artinya sebagai sarana perencanaan masyarakat.
b. Secara praktis
Untuk menyumbangkan hasil pemikiran tentang Hakim Pengadilan Agama terutama dalam kaitannya dengan peranannya dalam Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosial, serta usaha-usaha untuk memantapkan peranannya.
D. Telaah Pustaka
Studi mendalam mengenai Pengadilan Agama meredam persepsi awal bahwa lembaga ini tidak lebih dari pada layanan untuk mengantisipasi keseimbangan antara hak individual dan kesadaran hukum.[11] Lebih dari itu lembaga ini adalah sebagai lembaga penegak hukum (law enforcement) dan keadilan. Masalah penegakkan hukum tidak selesai begitu ia telah menjadi rumusan baku dalam pasal undang-undang. Dalam pelaksanaannya, hukum tidak seindah rumusan yang tercantum dalam pasal undang-undang. Pada dasarnya, penegakkan atau pelaksanaan hukum sangat ditentukan oleh berfungsinya pilar-pilar yang menjadi penyangga hukum.
Peradilan Agama sebagai salah satu wujud pilar penjaga hukum, haruslah benar-benar dapat melakukan fungsi dan tugasnya dengan maksimal dan sebaik-baiknya. Hal ini dapat terlaksana apabila aparat-aparat yang berada di dalamnya benar-benar berkualitas. Apabila tidak, maka citra dan wibawa Peradilan Agama akan turun di mata masyatakat pencari keadilan.
Peradilan Agama merupakan salah satu wahana penunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam bidang hukum, sehingga peranan Hakim Pengadilan Agama akan sangat menentukan efektif tidaknya wahana penunjang tersebut.[12] Pada hakikatnya, sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan penegak hukum dan keadilan tersebut, baik atau buruknya tergantung dari manusia-manusia pelaksananya, in casu para hakim.[13]
Wahyu Affandi S.H. dalam bukunya Hakim dan Penegakkan Hukum, menjelaskan bahwa penegak hukum tidak hanya harus mampu mengatur hukum, melainkan dituntut pula untuk mendisplinkan diri supaya mematuhi hukum, dan adalah sulit untuk dibayangkan berhasilnya usaha untuk menegakkan hukum serta untuk menciptakan kepastian hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat apabila penegak hukum itu sendiri baik dalam tindakannya maupun tingkah lakunya sehari-hari selalu mengabaikan hukum.[14]
Ahkyar, S.H. mengemukakan pendapat dalam tulisannya yang berjudul Implementasi kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi, bahwa selain adanya berbagai kebebasan, juga ditambah aturan tentang tingkah laku dan kegiatan para hakim, yaitu, semacam code of conduct. Aturan tentang tingkah laku atau code conduct itu penting, sebab merupakan aturan yang mengatur tingkah laku para hakim supaya memungkinkan para hakim bersifat responsif terhadap harapan dari masyarakat dan melaksanakan secara konkrit pengaturan yang menggambarkan Who watches the watchmen itu.[15]
Hakim perupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia”identik” dengan pengadilan itu sendiri. Demikian yang dikatakan Drs. Cik Hasan Bisri, MS. yang dikutip dari bukunya yang berjudul Peradilan Agama Di Indonesia. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa, tuntutan terhadap hakim-sarjana itu lebih besar. Di satu pihak ia dituntut untuk mencerminkan sifat-sifat ke-kyai-an atau ke-ulama-an sebagai tokoh yang arif, yang diharapkan untuk menyelesaikan perkara keluarga yang sangat peka dan mengutamakan perdamaian. Namun di pihak lain ia dituntut untuk menerapkan teknologi pengambilan keputusan hukum, dalam upaya menempatkan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sebagai court of law.[16]
Dari telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, secara lebih jelas yang membedakan dalam pembahasan penelitian ini adalah pada peran seorang hakim pengadilan agama dalam hukum Islam dan sosial serta lingkungan.
E. Kerangka Teoretik
Dalam negara hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dalam sistem penyelenggaraan hukum, merupakan hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang aman, tentram, dan tertib seperti yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal-hal tersebut dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakkan hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu dan salah satunya adalah Badan Peradilan Agama.[17]
Pengadilan adalah lambang kekuasaan. Pengadilan Agama di Indonesia adalah lambang kedudukan Hukum Islam dan kekuatan umat Islam di Indonesia. Sebagai perwujudan dari lembaga peradilan, Pengadilan Agama telah sejak lama ada di Nusantara ini.[18]
Membicarakan Peradilan Agama di Indonesia erat hubungannya dengan hukum Islam dan umat Islam di Indonesia. Peradilan Agama didasarkan pada hukum Islam, sedangkan dalam perkembangannya, hukum Islam merupakan hukum yang berdiri sendiri dan telah lama dianut oleh pemeluk agama Islam di Indonesia.[19]
Peradilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang di bawah Mahkamah Agung, mempunyai wewenang untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman.Yang mempunyai tugas pokok tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya berdasarkan Pancasila.[20]
Untuk mengembangkan Peradilan Agama, tentunya diperlukan penyempurnaan-penyempurnaan di berbagai aspek dan sarana, dan sarana kesempurnaan yang paling utama adalah para hakim.[21] Dengan demikian, upaya penegakkan dan pembangunan Hukum Islam diharapkan dapat berhasil secara optimal. Terutama, jika diingat, bahwa Hakim Pengadilan Agama merupakan soko dasar dari upaya tersebut.
Dalam hukum Islam, para ulama sepakat bahwa seorang hakim boleh menangani kasus yang berkaitan baik itu menyangkut Haqqul Lillah (hak-hak yang menyangkut urusan langsung dengan Allah) maupun Haqqul Adami' (hak-hak yang menyangkut urusan dengan manusia). Mereka juga sepakat bahwa keputusan dari seorang hakim tidak dapat menghalalkan sesuatu yang haram dan sebaliknya, mengharamkan sesuatu yang halal.[22] Nabi bersabda :
إنكم تحتصمون الي فلعل بعضكم ان يكون ألحن بحجته من بعض, فأقضي له علي نحو ما أسمع منه, بمن قطعت له من حق أحيه شيئا فإنما أقطع له قطعة من النار. [23]
Di samping itu, dari berbagai literatur fikih dapat disimpulkan, bahwa tugas pokok seorang hakim adalah, menetapkan hukum syara' pada suatu perkara secara mengikat untuk menyelesaikan sengketa. Batasan tersebut menyangkut dengan tugas pokok seorang hakim. Dalam sejarah peradilan Islam, tugas hakim dalam perkembangannya di samping tugas pokok tersebut, pernah diberi kewenangan tambahan yang bukan menyelesaikan suatu perkara. Umpamanya, menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengurusan Baitul-mal, mengangkat pengawas anak yatim, dan pernah pula sebagai pemimpin perang. Dari batasan itu cepat dipahami bahwa pada diri seorang hakim harus terdapat dua kemampuan, yaitu kemampuan untuk menguasai hukum yang berkaitan dengan ijtihad istimbaty, dan kemampuan untuk menerapkannya.[24]
Hukum dan masyarakat mempunyai hubungan yang bersifat timbal-balik, “dialektis”. Hukum memberikan penilaian terhadap masyarakat mengenai kedudukan yang mereka tempati, juga mengarahkan mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan dalam kedudukan tertentu tersebut. Akan tetapi, agar penilaian tersebut efektif, hukum membutuhkan dasar-dasar sosial. Apabila dasar-dasar sosial tersebut berubah (diubah), karena merupakan salah satu aspek budaya yang oleh karenanya bersifat “fana”, maka perubahan di dalam sistem penilaianpun seringkali terjadi.
Terjadinya ketimpangan antara ukuran yang diusulkan dengan kenyataan yang dihadapi di dalam pergaulan masyarakat dapat diartikan sebagai masalah sosial. Dengan demikian, langsung atau tidak langsung, dalam beberapa hal penting, masalah sosial tersebut berhubungan dengan peran yang dilakonkan oleh Hakim Pengadilan Agama. Hakim Pengadilan Agama memberi bentuk terhadap hubungan-hubungan sosial dan menentukan prosedur yang harus ditempuh dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, dapat dikatakan, bahwa peranan Hakim Pengadilan Agama adalah memelihara keselarasan fungsional dari komponen-komponen hukum lainnya.
Penegakkan hukum merupakan salah satu lembaga yang didisain oleh manusia dalam mengatur hidup dan kehidupannya. Meskipun demikian, tidak ada hukum yang tegak dalam arti kata yang sebenarnya, kecuali serangkaian peranan para penegak hukum yang dibuat dalam satu garis-kontinum yang menghubungkan antara kepastian hukum dan ketertiban hukum.
Dengan demikian, peranan Hakim Pengadilan Agama dalam upaya penegakkan dan pembangunan Hukum Islam berarti suatu gambaran dan penjelasan umum mengenai masalah dasar dan posisi-relatif Hakim Pengadilan Agama dalam lembaga sosial tersebut, termasuk kemampuannya di dalam menghadapi beban dan tuntutan yang muncul dari perubahan masyarakat.
Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan:
a. Bab I tentang ketentuan umum Pasal 2,
penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
b. Bab IV tentang Hakim dan Kewajibannya Pasal 28 ayat (1)
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penjelasan:
Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dalam hukum Islam, hakim juga wajib menyamakan kedudukan antara kedua belah pihak yang bersengketa dalam persidangan, harus mendengarkan penjelasan keduanya dalam menyelesaikan masalah tidak hanya satu pihak, untuk memulai persidangan, seorang hakim harus memulai dari penggugat untuk menjelaskan permasalahannya apabila orang yang tergugat itu mengingkarinya.
Oleh karena itu, tegak dan berwibawanya Hukum Islam ditentukan oleh keselarasan fungsional dari komponen-komponen hukum itu sendiri, yaitu: komponen perangkat hukum, komponen penegak hukum dan komponen kesadaran hukum.
Mengingat, bahwa Hakim Pengadilan Agama merupakan bagian integral dari komponen penegak hukum, perubahan masyarakat merupakan realitas sosial yang berlaku di setiap kurun waktu dan tempat, serta penggunaan perangkat hukum (formal) mempunyai batas-batas penggunaan tertentu, maka, sesuai dengan pemahaman tersebut, muncul suatu teori: pemunculan Hakim Pengadilan Agama pada struktur masyarakat teratas dimungkinkan oleh kemampuan Hakim Pengadilan Agama dalam menjawab hakikat permasalahan yang dihadapi oleh masyarakatnya, “legitimasi peranan”.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan dan membantu pemahaman.
2. Sifat Penelitian
Penelitian bersifat Deskriptif Analitik. Deskriptik adalah metode yang menggunakan pencarian fakta dengan intrepretasi yang tepat, sedang analisis adalah menguraikan sesuatu dengan cermat dan terarah.[25] Dengan menggunakan metode ini, diharapkan peranan Hakim Pengadilan Agama akan tergambarkan dengan sejelas mungkin.
3. Pengumpulan Data
Penelitian dalam penulisan skripsi ini jenisnya adalah penelitian kepustakaan, maka pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku yang relevan dengan pembahasan. Data primer yaitu buku-buku yang ada kaitannya langsung dengan masalah yang akan dibahas, seperti Hakim dan penegakan Hukum, Hukum, Hakim, dan Keadilan Tuhan: Kumpulan Catatan Hukum dan Peradilan di Indonesia, Peradilan Agama di Indonesia dan Undang-undang Nomor : 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman serta yang lain-lainya. Sedang data sekunder yaitu studi-studi yang relevan dengan pembahasan dan membantu pemahaman dalam penulisan ini.
4. Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis dan diinterpretasikan dengan pendekatan yang telah ditentukan. Adapun kerangka berfikir yang digunakan adalah:
a. Induksi, yaitu mengamati dan mempelajari data yang telah diperoleh yang masih bersifat kongkrit dan berdiri sendiri untuk ditarik pada generalisasi yang bersifat umum. Artinya, penyusun berusaha memaparkan peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosial, kemudian melakukan analisa sedemikian rupa sehingga menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.
b. Deduksi, yaitu bertitik tolak dari kaidah-kaidah yang bersifat umum kemudian dianalisa berdasarkan data yang bersifat khusus. Artinya, ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam nas dan undang-undang dijadikan sebagai pedoman untuk menganalisa status peran Hakim Pengadilan Agama dalam hukum Islam (Positif Legality) dan sosio kultur.
5. Pendekatan Masalah
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan
a. Yuridis, yaitu pendekatan dari segi hukum atau peraturan-peraturan yang tertulis, seperti UU No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian ini.
b. Normatif, yaitu pendekatan melalui norma-norma yang terdapat dalam ajaran Islam (al-Qur'an dan hadis), terutama yang berkaitan dengan Hakim Pengadilan Agama sebagai pembenar dan pemberi norma terhadap masalah yang menjadi bahasan, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa sesuatu itu boleh atau selaras atau tidak dengan ketentuan syari'at.
c. Sosiologis, yaitu pendekatan yang diupayakan dengan melihat fakta, gejala serta perubahan-perubahan sosial, khususnya peran Hakim Pengadilan Agama yang merupakan obyek penelitian ini.
G. Sistematika Pembahasan
Sacara keseluruhan isi penelitian ini terdiri dari lima bab. Untuk lebih mudahnya penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab dua memberikan ulasan tentang Hakim Pengadilan Agama. Ulasan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang kedudukan masalah peranan Hakim Pengadilan Agama. Uraian bab ini meliputi, Hakim Pengadilan Agama secara umum dan tugas, fungsi, kedudukan serta kewajiban hakim di lingkungan badan Peradilan Agama.
Bab tiga dikhususkan untuk menjelaskan Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosio kultur. Penjelasan ini dimaksudkan untuk mengetahui posisi hukum Islam dalam kehidupan sosial. Bab ini meliputi, Hukum Islam dan pranata sosial, Hukum Islam dan Organisasi Sosial dan Hukum Islam, sistem Hukum Nasianal dan Peradilan Agama.
Bab empat merupakan inti atau substansi dari keseluruhan penelitian (skripsi) ini. Bab ini membahas tentang peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosio Kultur. Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih jauh peranan Hakim Pengadilan Agama dalam hukum Islam (positif legality) dan sosio kultur serta pendapat para ahli hukum (positif). Dalam bab ini akan dibahas melaui beberapa sub, yaitu gagasan efektifikasi hukum Islam, hukum Islam dan hukum yang hidup, perubahan pola keluarga; masalah peranan hakim Pengadilan Agama dan Hakim Pengadilan Agama sosiokratis sebagai alternatif pemecahan.
Bab lima memuat beberapa kesimpulan dan saran-saran sebagai penutup sekaligus bab terakhir dalam penulisan skripsi ini.
Demikianlah sistematika dan garis besar pembahasan yang akan penyusun tulis dalam penulisan skripsi serta untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan isi skripsi.
[1] Soerjono soekanto, "Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum," Analisis Pendidikan. No.02, Tahun ke-IV (1983), hlm. 37
[2] Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama, (Jakarta : Departemen Agama R.I., 1985), hlm. 2.
[3] Ibid
[4] Daniel S. Lev, Peradilan Agama di Indonesia: Studi tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum, alih bahasa H. Zaini Ahmad Noeh, (Jakarta: PT Intermasa, 1980), hlm. 16.
[5] Soerjono Soekanto, "Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan hukum," Analisis Pendidikan, hlm. 40.
[6] Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam Di Indonesia: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, hlm. 15-22.
[7] T. M. Hasbi Ash Shiddiqi, Peradilan Hukum Acara Islam (Bandung: PT Al-Maarif, 1964), hlm. 30
[8] Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama, hlm. 6.
[9] Menurut Bambang Marhijanto, Kata peranan berarti juga sebagai bagian dari tugas yang harus dilaksanakan. Lihat Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer, (Surabaya: CV. Bintang Timur, 1996), hlm. 476.
[10] Maurice Duverger, Sosiologi Politik, alih bahasa Daniel Dhakidae, (Jakarta: CV Rajawali, 1981), hlm. 103.
[11] Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata hukum Indonesia,cet. I (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), hlm. 23.
[12] Kadi, S, "Pengadaan Hakim Pengadilan Agama," Pembimbing, No. 61 Tahun. XIV. (1986), hlm. 16.
[13] Penjalasan Undang-Undang nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kahakiman I, Umum, butir 6. In Casu, adalah bahasa latin yang berarti dalam perkara ini, dalam hal ini.
[14] Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum. (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 7
[15] Ahyar, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi: Himpunan Karya Tulis Bidang Hukum (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Dept. Kehakiman RI, 1999), hlm. 295
[16] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia. Cet. II (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1998). hlm. 185.
[17] Penjelasan umum atas UU RI No. 7 Th. 1989 Tentang Peradilan Agama (Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1994), hlm. 41.
[18] Mohammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia,dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, alih bahasa Rochman Achwan, cet.I (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 208.
[19] Anwar Harjona dan Ramli Hutabarat, Prospek Peradilan Agama Sebagai Peradilan Keluarga dalam Sistem Politik Indonesia, dalam Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 217.
[20] Undang-Undang. No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 2, 3 dan 16.
[21] Kadi. S, Pengadaan Hakim Pengadilan Agama, hlm.16.
[22] Ibnu Rusyd al-Khafid, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hlm. 378.
[23] Imam Abi al-Fadhil Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-'Asqalani, Bulughul Maram , (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 290, hadis nomor 1418. "Kitab al-Qadla". Hadis ini diriwayatkan oleh Muttafaqun 'Alaih dari Umi Salamah R.A
[24] H. Satria Efendi M. Zein, "Ijtihad dan Hakim Pengadilan Agama." Mimbar Hukum : Aktualisasi Hukum Islam, No. 10 Tahun. IV ( 1993), hlm. 43.
[25] Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 63.