BAB I
Penerapan hukuman mati di dunia selalu saja menjadi hal yang kontroversial, baik di kalangan pemerintah, praktisi hukum, agamawan maupun masyarakat sendiri tidak terkecuali di Indonesia, karena dirasa melanggar hak yang paling mendasar bagi manusia yaitu untuk hidup dan memperbaiki kehidupannya. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas umat Islam yang paling besar di dunia, mengakui bahwa hukuman mati layak diterapkan dalam sistem hukum nasional untuk sejumlah kejahatan tertentu yang mengganggu ketertiban umum, mengancam kehidupan manusia dan stabilitas negara. Umat Islam memandang perlu menerapkan hukuman mati dikarenakan Islam juga mengenal adanya hukuman mati, seperti qisas dan rajam.
Hukuman mati dalam hukum positif diberikan bagi kejahatan-kejahatan yang sifatnya memberatkan yang mengganggu stabilitas negara dan ketertiban dalam masyarakat. Maraknya aksi kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) saat ini telah menjadi ancaman yang serius bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Dua juta dari pecandu narkoba dan obat-obat berbahaya 90 persen adalah generasi muda, termasuk di dalamnya remaja yang baru menginjak dewasa (seperti SMP/SMU) dan mahasiswa.1 Untuk menghentikan kejahatan ini (narkoba) maka diperlukan suatu hukum yang benar-benar dapat membuat jera para pelakunya.
Suatu hal yang sangat pantas dan memerlukan dukungan dari seluruh pihak dan tidak perlu diperdebatkan lagi tentang penerapan hukuman mati, jika hukuman ini diberlakukan kepada para pengedar gelap narkoba, sebab para pengedar tersebut secara tidak langsung telah membunuh masyarakat akibat kejahatannya. Narkoba dijadikan sebagai alat penghancur yang dapat merusak moral dan masa depan bangsa terutama bagi generasi muda. Penerapan adanya pidana mati masih tercatat dalam Pasal 10 KUHP, tetapi kejahatan narkoba diatur tersendiri dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yakni Pasal 80-82 dan UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yakni Pasal 59 ayat (2). Seseorang yang memproduksi, mengolah, merakit dan menyediakan narkotika atau obat-obatan terlarang lainnya dikenakan pidana mati.
Kejahatan narkoba telah sangat meresahkan masyarakat, sebab dengan adanya pengedaran gelap narkoba akan berlanjut kepada tindakan-tindakan buruk lainnya. Narkoba tidak dapat membawa manfaat bagi manusia, yang ditimbulkan darinya hanyalah mafsadat (kerusakan), sebagaimana yang telah Allah swt firmankan:
يسئلونك عن الخمروالميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس واثمهما اكبر من نفعهما2
Aktor utama kejahatan narkoba adalah para pengedarnya, mereka meracuni bangsa dengan barang haram tersebut. Narkoba dijadikan alat penghancur bangsa diberikan kepada generasi muda yang menjadi penerus bangsa, karena negara ini berada di tangan generasi muda. Jika generasinya rusak maka rusaklah seluruh bangsa. Para pengedar tersebut dapat dikategorikan ke dalam kelompok yang membuat kerusakan di muka bumi, maka hukuman mati merupakan hukuman yang pantas bagi mereka (para pengedar narkoba), berdasarkan perintah Allah swt:
انما جزاء الدين يحربون الله ورسوله ويسعون في الارض فساد أن يقتلوا3
Beberapa Pengadilan Negeri telah menjatuhkan hukuman mati bagi para pengedar narkoba. Namun dalam kenyataannya, meskipun hukuman mati telah dijatuhkan kepada sejumlah terpidana kasus narkoba, akan tetapi eksekusinya tidak kunjung dilaksanakan oleh pihak Kejaksaan Negeri. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Presiden Megawati telah menolak permohonan grasi 6 terpidana mati, 5 orang di antaranya adalah terpidana yang dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Terpidana mati tersebut adalah Namona Denis (Keppres No.10/G Tahun 2004), Indra Bahadur Tamang (Keppres No.11/G Tahun 2004), Hansen Anthony Nwaolisa (Keppres No.13/G Tahun 2004), Muhammad Abdul Hafeez (Keppres No.15/G Tahun 2004) dan Samuel Iwuchukwu Okoye (Keppres No.15/G Tahun 2004).4 Walaupun permohonan grasi kelima terpidana mati ini telah ditolak oleh Preseiden Megawati namun hingga saat ini pihak Kejaksaan Negeri Tangerang belum melakukan eksekusi.
Melihat dari kasus-kasus yang ada bahwasanya eksekusi hukuman mati banyak yang mengalami penundaan dan banyak pula yang akhirnya tidak dilaksanakan walaupun putusan hukuman mati telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini dapat mengakibatkan asumsi bahwa hukuman mati yang ditetapkan sebagai hukum positif hanya sekadar kepura-puraan dan terkesan main-main sehingga menjadikan tidak adanya kepastian hukum sehingga hal ini menjadi pertanyaan bagi penyusun, entah berapa banyak lagi terpidana mati lainnya yang kasusnya mengambang menunggu tiba waktunya dieksekusi.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penyusun perlu mengadakan penelitian lapangan untuk mengetahui lebih rinci dan detail tentang apa yang menyebabkan tertundanya eksekusi hukuman mati. Untuk mengetahui hal ini maka penyusun berupaya mengadakan penelitian lapangan di mana obyeknya adalah Pengadilan Negeri Tangerang dalam kasus penundaan eksekusi bagi terpidana mati yang kebanyakan kasusnya adalah narkoba yang merupakan jenis kejahatan yang sangat memberatkan, selain mengingat PN Tangerang yang paling berani dalam memberikan vonis hukuman mati. Dalam catatan, 2 tahun terakhir sudah 16 orang yang divonis hukuman mati oleh PN Tangerang.5 Dari penelitian tersebut diharapkan dapat diketahui sejelas-jelasnya tentang penyebab tertundanya eksekusi bagi terpidana mati yang selanjutnya akan dituangkan dalam wujud karya ilmiah (skripsi) sebagai tugas akhir perkuliahan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
B. Pokok Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang relevan untuk dikaji dan dibahas dalam wujud karya ilmiah. Pokok-pokok permasalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penundaan eksekusi mati di Pengadilan Negeri Tangerang.
2. Apa yang menyebabkan tertundanya eksekusi mati di Pengadilan Negeri Tangerang.
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dan kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara lebih dalam bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penundaan eksekusi mati di Pengadilan Negeri Tangerang
2. Menjelaskan faktor apa saja yang menyebabkan tertundanya eksekusi mati di Pengadilan Negeri Tangerang.
b. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi dunia akademik khususnya pada Fakultas Syari’ah tentang bagaimana tinjauan hukum Islam mengenai penundaan eksekusi mati di Pengadilan Negeri Tangerang serta faktor yang menjadi penyebab tertundanya eksekusi mati. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi landasan pemikiran sehingga menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum terutama hukum pidana Islam.
D. Telaah Pustaka
Sejauh yang penyusun ketahui pembahasan mengenai pidana mati telah banyak kita jumpai dalam berbagai literatur dan hasil penelitian, tetapi belum ada buku yang secara rinci dan detail membahas mengenai pelaksanaan eksekusi mati. Kebanyakan pembahasan lebih ditujukan kepada pro dan kontra terhadap penerapan hukuman mati. Oleh karena itu sebagai bahan acuan pemikiran, penyusun mengacu kepada Undang-Undang No. 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, dimana dalam undang-undang tersebut dikatakan bahwa eksekusi mati dilakukan dengan tembak mati oleh sebuah Regu Penembak dari Brigade Mobil.6
Hukuman mati telah dikenal ketika hukum-hukum belum tertulis, artinya hukuman mati telah menjadi hukum Adat selama beratus-ratus tahun yang lalu, bahkan pidana mati juga dikenal oleh Adat budaya bangsa Indonesia sebelum kedatangan penjajah. Andi Hamzah dan A. Sumangelipu dalam bukunya yang berjudul Pidana Mati di Indonesia: Di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, menjelaskan bahwa pidana mati ada dalam hukum Adat budaya bangsa, begitu juga dalam agama Islam dan Kristen mengenal adanya pidana mati sebagai sarana mencegah terjadinya dan terulangnya kejahatan maka KUHP perlu mencantumkan pidana mati bagi delik-delik tertentu yang sangat menyinggung asas-asas kemanusiaan yang adil dan beradab.7
Leden Marpaung dalam bukunya yang berjudul Proses Penanganan Perkara Pidana: Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksekusi (Bagian Kedua). Disebutkan bahwa pelaksanaan hukuman mati yang cenderung lambat dan dilaksanakan setelah bertahun-tahun bukanlah disebabkan kemauan aparat atau aparat pelaksana mengalami hambatan, tepat semata-mata karena prosedur atau tata cara pelaksana pidana mati harus ditempuh berdasarkan UU No. 2/PNPS/1964 dan UU No. 3 Tahun 1950 8 tentang Permohonan Grasi.9
Penelusuran pustaka terus dilanjutkan sebagai bahan acuan dan landasan pemikiran bagi penyusun hingga sampai kepada beberapa kitab fiqh. Di antara kitab fiqh yang berkaitan dengan masalah hukuman mati dalam Islam yaitu kitab Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq. Di sebutkan bahwa adanya hukuman mati dalam Islam merupakan penghormatan terhadap jiwa manusia, maka barangsiapa yang merampas kehidupan manusia diancam dengan hukuman yang paling memberatkan yakni dihukum mati sehingga tidak ada seorang pun yang menganggap remeh masalah ini.10
Selain itu Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya al-Uqubat: al-Jarimah wa al-Uqubat fi al-Fiqhi al-Islami. Dikatakan bahwa melaksanakan hukuman merupakan bagian dari ibadah dan jihad di jalan Allah dalam rangka pemeliharaan agama dan umat manusia dari segala mafsadat serta pembentukan akhlak yang mulia.11 Dikatakan pula eksekusi hukuman wajib dilaksanakan oleh seorang penguasa bagi siapa saja yang telah berbuat jarimah, bahkan hukuman pun harus dilaksanakan terhadap orang yang sakit dan wanita yang hamil, hanya saja pelaksanaan hukuman tersebut harus ditunda hingga orang yang sakit sembuh dari sakitnya dan wanita yang hamil sampai melahirkan, hal ini dilakukan untuk menghindari dari berbuat kezhaliman pada saat pelaksanaan hukuman.12
Terdapat pula kitab yang dikarang oleh Ahmad Fathi Bahansi “as-Siayasah al-Jinaiyah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah.” Beliau mengatakan bahwa cara syari’at memelihara kemashlahatan umat manusia adalah dengan diadakannya hukuman bagi orang-orang yang berbuat jarimah. Dikatakan pula bahwa hukuman dapat mendidik dan memperbaiki pelaku jarimah agar tidak mengulanginya lagi, maka untuk menjaga kemashlahatan itu, hukum had yang telah ditetapkan Allah dalam al-Qur’an tidak dapat dirubah ketentuannya.13
Nur’ainy AM “Kontroversi Seputar Masalah Ancaman Pidana Mati” dalam Jurnal Sosio-Relegia, mengemukakan berbagai argumen pro dan kontra penerapan hukuman mati disertai tujuan dari hukuman tersebut. Dikatakan bahwa tujuan diterapkannya pidana mati sebagai salah satu upaya pembalasan pidana sekaligus mencegah terulangnya kejahatan. Dikemukakan pula sekilas masalah pelaksanaan eksekusi mati. Ia juga mengatakan adanya penundaan eksekusi mati menyebabkan beban psikologis dengan bertambahnya penderitaan bagi pelaku dan keluarganya tetapi tidak menyebutkan faktor yang menjadi penyebab tertundanya eksekusi bagi terpidana mati.14
Berkaitan dengan permasalahan hukuman mati, ditemukan sebuah skripsi yang ditulis oleh Uswatun Hasanah dengan judul Tinjauan Hukum Islam tentang Hukuman Mati terhadap Kasus Narkoba. Dikatakan bahwa hukuman mati bagi kasus narkoba lebih merupakan hukuman ta’zir sebagai hukuman alternatif dari penguasa negara untuk menjaga kemashlahatan manusia sepanjang hukuman tersebut mempunyai kepentingan yang lebih luas bagi masyarakat. Pembahasan dalam skripsi ini hanya menjelaskan tentang kriteria kasus narkoba yang dapat dijatuhi hukuman mati yang ditinjau dari pandangan hukum Islam, namun penyusun tidak menyebutkan penyebab tertundanya eksekusi bagi terpidana mati dalam kasus narkoba.15
E. Kerangka Teoritik
Pada dasarnya pelaksanaan hukuman dalam Islam, baik itu hukuman had, qisas, diyat ataupun ta’zir berada di tangan penguasa negara. Akan tetapi terdapat pengecualian dalam jarimah qisas. Qisas dapat dilaksanakan oleh korban atau walinya.16 Dasar pengertian tersebut adalah:
ولا تقتلوا النفس التي حرم الله الا بالحق ومن قتل مظلوما فقد جعلنا لوليه
سلطانا فلا يسرف في القتل انه كان منصور 17
Dalam pemberian hukuman itu terkandung suatu manfaat. Sebab hukuman merupakan pencegah perbuatan-perbuatan dosa, penangkal kemaksiatan dan menghindarkan seseorang dari melakukan perbuatan yang dilarang. Hukuman itu juga merupakan penjamin keamanan, yakni menjamin keselamatan jiwa, harta benda, nama baik, kemerdekaan dan kehormatan. Nabi saw pernah bersabda bahwa suatu hukum yang dilaksanakan di dunia adalah lebih baik bagi penduduknya dari pada dicurahi hujan selama empat puluh hari.18 Adanya sabda Nabi ini mengindikasikan bahwa setiap perbuatan atau usaha yang bersifat menghalangi terlaksananya hukuman berarti menghalangi hukum-hukum Allah dan menentangnya.
Al-Qur’an dan Sunnah telah menetapkan hukuman tertentu untuk kesalahan-kesalahan tertentu. Sayyid Sabiq mengatakan dalam kitabnya bahwa kesalahan-kesalahan tersebut disebut sebagai dosa yang mengharuskan adanya hukuman.19 Jadi menurutnya, hukuman merupakan penghapus dosa, namun hukum itu sendiri juga merupakan tindakan preventif. Apabila dilaksanakan, maka ia akan menjadi tindakan preventif dan represif sekaligus.20
Pengadaan hukuman bertujuan tidak hanya sebagai pembalasan bagi pelaku agar jera, tetapi juga dalam hukuman itu sendiri terkandung nilai pengajaran sebagai pembentukan akhlak manusia serta memberikan pengetahuan bahwa perbuatan yang dilarang itu tidak layak dilakukan yang hanya akan membuat kerusakan di muka bumi dan membawa kerugian bagi manusia.
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut maka perlu diadakan terhadap pelaksanaan hukum tersebut. Pelaksanaan hukuman dijalankan oleh pemerintah sebagai penguasa negara dalam mengendalikan masyarakatnya untuk mewujudkan negara yang makmur, damai dan sejahtera serta menciptakan kertertiban masyarakat.
Pelaksanaan hukum yang sering mengalami penundaan adalah hukuman mati. Hukuman ini sering dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri kepada beberapa orang terpidana, yang kebanyakan terpidana ini terlibat pengedaran gelap narkoba. Padahal mengenai pelaksanaan pidana mati telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 1964 dan sebagai eksekutor pelaksana adalah jaksa. Putusan pengadilan dilaksanakan setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
Namun terhadap pidana mati, pelaksanaan eksekusinya baru bisa dilaksanakan jika permohonan grasinya ditolak dan setelah memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu tidak ada lagi pengajuan upaya hukum untuk memperoleh keringanan hukuman, akan tetapi sering kali terdapat rentang waktu yang panjang antara putusan yang telah dijatuhkan dan pelaksanaannya dan terkadang pula banyak yang tidak dilaksanakan. Seperti dalam kasus Ayodya Prasad, permohonan grasinya telah ditolak berdasarkan Keppres No. 22/G/2003 bertanggal 3 Februari 2003, akan tetapi eksekusi belum juga dijalankan hingga saat ini.21
Pada masa Rasulullah saw hidup, beliau tidak pernah menunda pelaksanaan hukuman kecuali terhadap wanita yang sedang hamil. Beliau selalu segera melaksanakan hukuman had berdasarkan pengakuan langsung dari pelakunya dan tidak pernah memberikan ampunan atau dispensasi dalam pelaksanaan hukuman, sebagaimana kejadian yang diceritakan oleh Abu Hurairah bahwa ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah saw di Masjid dan mengaku bahwa ia telah berzina, akan tetapi Rasulullah saw tidak mempercayainya dan memalingkan wajahnya serta menganggapnya bahwa laki-laki itu sudah gila. Namun setelah laki-laki itu terus menerus memberikan pengakuannya, barulah Rasulullah saw percaya dan memerintahkan para sahabat untuk segera melaksanakan rajam.22
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, maka eksekusi hukuman dijalankan dengan tembak mati. Hal ini tidak bertentangan dengan hukum Islam, asalkan tidak menghilangkan unsurnya yaitu mati. Para ulama hukum Islam terkemuka dewasa ini membolehkan penggunaan alat selain pedang. Asal lebih cepat mematikan dan lebih meringankan penderitaan terhukum, misalnya dengan suntik mati. Hal ini didasarkan pada perkataan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dari Saddad bin ‘Aks, bahwa: “Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan kepada segala sesuatu. Oleh karena itu apabila kamu membunuh (memberi hukuman mati), maka bunuhlah dengan cara yang baik. Dan apabila kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang di antara kamu mempertajam mata pedangnya dan meringankan penderitaan binatang yang disembelihnya.”
Landasan hukum Islam tidak pernah lepas dari tiga asas umum,23 yaitu:
1. Asas Keadilan
Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam hukum Islam. Demikian pentingnya sehingga ia dapat disebut sebagai asas dari semua asas hukum Islam. Banyak ayat al-Qur’an yang menyuruh untuk berlaku adil dan menegakkan keadilan, di antaranya yaitu:
ياايها الدين ءامنوا كونوا قومين لله شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنئان قوم
علىألا تعدلوا اعدلوا هو اقرب للتقوى واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون24
Dalam ayat ini Allah mengingatkan kepada para penegak hukum agar kebenciannya terhadap seseorang atau suatu golongan tidak menyebabkan ia tidak berlaku adil dalam penyelenggaraan hukum.25
2. Asas Kepastian Hukum
Adanya kepastian hukum sangat jelas dalam al-Qur’an, bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada nash yang menentukan demikian. Contohnya dalam kasus pembunuhan Allah telah menetukan sanksi perbuatannya dalam surat Al-Maidah 45:
وكتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس والعين بالعين والانف بالانف والادن بالادن والسن بالسن والجروح قصاص
3. Asas Kemanfaatan
Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum. Dalam melaksanakan asas keadilan dan kepastian hukum harus memperhatikan asas kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi kepentingan masyarakat. Misalnya dalam menerapkan hukuman mati, harus mempertimbangkan kemanfaatan penjatuhan hukuman mati bagi terdakwa sendiri dan bagi masyarakat. Asas kemanfaatan ini terungkap dalam firman Allah yang berbunyi:
ولكم في القصاص حيوة يأولى الألباب لعلكم تتقون26
Menurut Abdul Qadir Audah ada tiga hal yang menjadi target dalam pemidanaan dalam Islam. Ia mengatakan bahwa tujuan dari hukuman adalah rehabilitasi individu, perlindungan terhadap masyarakat dan penegakkan supremasi hukum.27 Hal ini juga diungkapkan oleh Abu Zahrah, bahwa hukum Islam berupaya mendidik individu, menciptakan ketertiban di tengah masyarakat dan memberikan keadilan.28
Para ahli hukum Islam mengklasifikasikan tujuan-tujuan yang luas dari hukum pidana Islam sebagai berikut:29
1. Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syari’at. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan-kekacauan dan ketidaktertiban di mana-mana.
2. Menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyat. Dengan adanya jaminan ini maka kesulitan masyarakat akan terhindar dan membuat hidup menjadi mudah bagi mereka.
3. Tujuan perundangan Islam adalah membuat berbagai perbaikan. Dalam hal ini, perbaikan mencakup arti kebajikan (virtues), cara-cara yang baik (good manner), dan setiap hal yang melengkapi peningkatan hidup. Ketiadaan perbaikan akan membawa kepada kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup.
Oleh karena itu adanya penundaan eksekusi mati yang cukup lama, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sehingga menyebabkan dampak psikologis bagi si pelaku sehingga tidak mencerminkan keadilan dan tidak adanya kepastian hukum serta menghilangkan tercapainya tujuan-tujuan dalam pemidanaan. Hal ini sangat bertentangan dengan asas keadilan, asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan yang terdapat dalam hukum Islam sehingga adanya penerapan hukuman mati hanya sekedar pura-pura dan terkesan main-main. Hukuman dalam Islam tidak lain hanyalah demi mencapai maqasid al-Khamsah atau tujuan hukumnya yaitu memelihara agama, jiwa, akal, pikiran, keturunan dan hak milik.30
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian lapangan yang obyeknya adalah penundaan eksekusi bagi terpidana mati di Pengadilan Negeri Tangerang.
2. Sifat Penelitian
Dalam hal ini penyusun menggunakan penelitian yang bersifat deskriftif analitik yaitu menggambarkan keadaan yang ada dengan menjelaskan faktor apa saja yang menyebabkan penundaan eksekusi bagi terpidana mati di Pengadilan Negeri Tangerang.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara yaitu cara memperoleh data dengan bertanya secara lisan dan bertatap muka langsung dengan seorang panitera dan seorang jaksa yang mengetahui secara rinci dan detail tentang adanya penundaan eksekusi bagi terpidana mati. Sedangkan tehnik wawancara yang penyusun lakukan adalah wawancara bebas terpimpin dimana pewawancara secara bebas menanyakan apa saja yang berkaitan dengan data yang akan dikumpulkan dengan tetap berpegang pada pokok pertanyaan.
b. Dokumenter yaitu memperoleh data dengan menelusuri dan mempelajari dokumen berkas perkara vonis mati yang telah diputuskan di Pengadilan Negeri Tangerang.
4. Metode Pendekatan
a. Pendekatan Normatif yaitu mendekati masalah yang diteliti dengan mendasarkan pada norma yang berlaku, apakah masalah itu baik atau tidak.
b. Pendekatan Yuridis yaitu pendekatan terhadap masalah-masalah yang diteliti dengan hubungan-hubungan hukum dari masalah tersebut.
5. Metode Analisa Data
Analisa data yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dengan menggunakan dua metode berpikir yaitu:
a. Induktif yaitu berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit kemudian digeneralisasikan.
b. Deduktif yaitu menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum kemudian diambil faktor-faktor khusus yang dapat diambil suatu kesimpulan dari dalil-dalil yang bersifat umum tersebut.
G. Sistematika Pembahasan
Sebagai usaha untuk memudahkan dan mengarahkan skripsi ini, penyusun membuat pembahasan sebagai berikut:
Pada Bab Pertama: Berisi mengenai selayang pandang mengenai penelitian ini, diantaranya: Latar Belakang Masalah, Pokok Masalah, Tujuan dan Kegunaan, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Pada Bab Kedua: Dibahas mengenai Tinjauan Umum tentang penundaan Eksekusi Bagi Terpidana Mati Kasus Narkotika dan Obat-obatan Terlarang, yang terdiri dari beberapa sub bab di antaranya menjelaskan Pengertian Eksekusi, Narkotika dan Obat-obatan Terlarang, Macam-macam Eksekusi Hukuman Mati dan Tujuan Pemidanaan, Tugas dan Wewenang Jaksa, dilanjtukan dengan penjelasan mengenai bagaimana Pelaksanaan Pidana Mati Menurut UU No. 2 Tahun 1964 dan Pidana Mati Bagi Pelaku Narkotika dan Obat-obatan Terlarang.
Pada Bab Ketiga: Membicarakan Penundaan Eksekusi bagi Terpidana Mati Kasus Narkotika dan Obat-obatan Terlarang di Pengadilan Negeri Tangerang. Pada bab ini penyusun akan menjelaskan Sekilas tentang Pengadilan Negeri Tangerang, kemudian memaparkan beberapa Terpidana yang Dijatuhi Hukuman Mati, dan Faktor Yang Menyebabkan Tertundanya Eksekusi Bagi Terpidana Mati.
Pada Bab Keempat: Pembahasan mengenai Analisis terhadap Penundaan Eksekusi bagi Terpidana Mati Kasus Narkotika dan Obat-obatan Terlarang di Pengadilan Negeri Tangerang. Disini akan dianalisis Penundaan Eksekusi Bagi Terpidana Mati, Tinjauan Hukum Islam terhadap Penundaan Eksekusi Mati dan Dampak Adanya Penundaan Eksekusi Mati.
Pada Bab Kelima: Memuat Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran-saran.
1 Dianne Harrison, “Narkoba Menjadi Ancaman Serius untuk Generasi Muda,” http://www.kompas.com/utama/news/0105/02/358791.htm, akses 3 Mei 2004.
2 Al-Baqarah (2): 219
3 Al-Maidah (5):33
4 Berdasarkan data yang diperoleh dari Kejaksaan Negeri Tangerang pada tanggal 9 Juli 2004.
5 “ Hakim Berani Vonis Mati, Bagaimana dengan Eksekusinya?,” http://www.kompas.com/utama/news/0205/21/215326.htm, akses 8 Januari 2004.
6 Pasal 10 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
7 Andi Hamzah dan A.Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia: Di Masa Lalu, Kini Dan Di Masa Depan, Cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 12
8 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana: Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksekusi (Bagian Kedua), cet ke 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 487
9 Undang-undang grasi yang berlaku saat ini adalah UU No.22 Tahun 2002 yang disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002.
10 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jilid 3, (Kairo: Dar al-Fath, 1990), hlm.33
11 Muhammad Abu Zahrah, al-Uqubat: al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqhi al-Islami, Juz 1, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th), hlm. 72
12 Ibid. Hlm. 763
13 Ahmad Fathi Bahansi, as-Siyasah al-Jinaiyah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Arabiyah, 1965), hlm. 213
14 Nur’ainy AM “Kontroversi Seputar Masalah Ancaman Pidana Mati,” dalam Jurnal Sosio-Religia Vol.2, No.2 Februari 2003, hlm. 238
15 Uswatun Hasanah, “Tinjauan Hukum Islam tentang Hukuman Mati terhadap Kasus Narkoba,” Skripsi pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2003 tidak diterbitkan.
16 Abd. Qadir ‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai al-Islami, (Kairo: Dar al-Urubah, 1963),I:755.
17 Al-Isra (17): 33
18 As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah…hlm.19
19 Kesalahan-kesalahan tersebut terdiri dari berzina, menuduh berzina (qodzaf), mencuri, mabuk atau minum-minuman keras (khamr), murtad dan memberontak. Terhadap pelaku ini dikenakan hukuman sebagaimana yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Lihat As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah… hlm. 13
20 Ibid., hlm, 31
21 “Pelaksanaan Hukuman Timbulkan Efek Jera Sejumlah Hukuman Mati tak Kunjung Dieksekusi,” www.pikiran-rakyat.com/cetak/0203/10/0504-htm-19k-cached-similiar pages , akses 8 Januari 2004.
22 Faishal Bin Abdul Aziz Al-Mubarak, Nailul Authar, alih bahasa Mu’ammal Hamidy, dkk, jilid 2 (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), hlm. 2583
23 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Ed. 3, Cet. 3, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 115.
24 Al-Maidah (5): 8
25 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam...hlm. 115
26 Al-Baqara (2):179
27 Abdul Qadir ‘Audah, at-Tasyri’ al-Jinai al-Islami: Muqaranah bain al-Qanun, (Kairo: Dar al-Ghurubahu, 1963), hlm. 609
28 Muhammad Abu Zhrah, Ushul fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 365
29 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 19
30 Tujuan dari maqasid al-khamsah ini memenuhi kebutuhan hidup manusia sehari-hari yang tidak terlepas dari itu semua, maka untuk memelihara kebutuhan-kebutuhan ini syari’at menetapkan adanya hukuman. Lihat Moh. Abu Zahra, al-Uqubat…hlm.40.