BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut syari‘at Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri yang diberikan oleh Islam khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk lainnya.[1]
Mengenai hakikat perkawinan itu sendiri, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab II pasal 2 menyebutkan sebagai berikut: “perkawinan hukum Islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat (mis|a>qan gali<z}}a>) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”, kemudian disebutkan dalam pasal 3, “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah”.[2]
Hal ini sesuai dengan firman Allah[3]:
ومن اياته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة ان في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
Mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah seperti di atas, sudah barang tentu bukanlah hal yang sederhana. Untuk mencapai hal itu Islam menawarkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang harus dipenuhi.
Mahmud Syaltut dalam bukunya Akidah dan Syari‘ah Islam menawarkan lima prinsip sebagai prosedur yang harus dipenuhi dalam pembinaan keluarga pada fase pranikah. Pertama saling mengenal dan memahami (at-Ta‘a>ruf) di antara kedua mempelai. Dengan proses saling mengenal dan saling memahami ini diharapkan masing-masing mempelai mengetahui keadaan calon pasangannya. Dalam hal ini Islam mewasiatkan bahwa kriteria yang harus dipenuhi dan didahulukan dalam menentukan adalah kebaikan akhlak dan agama serta tidak semata-mata memandang keadaan fisik, harta dan keturunan. Kedua adalah al-Ikhtiba>r yaitu tahap penjajakan yang dilaksanakan dengan melakukan khit}bah. Dalam khit}bah ini calon suami diperbolehkan melihat wajah, tangan dan telapak kaki si wanita dan juga diperbolehkan berdiskusi untuk mengetahui pemikiran masing-masing. Dari pelaksanaan khit}bah ini diharapkan timbul rasa suka pada masing-masing calon mempelai. Ketiga ar-Ri<d}a> (kerelaan), disini syari‘t Islam tidak mencukupkan pada dua prinsip di atas semata namun juga mengaharuskan adanya kerelaan dalam arti yang sebenarnya dari kedua mempelai. Keempat Kafa>’ah yaitu kesejajaran antara kedua mempelai. Ini dimaksudkan agar tidak ada kesenjangan di antara keduanya setelah mengarungi bahtera rumah tangga. Kelima mahar atau mas kawin, dalam mahar ini syari‘at mengajarkan agar nilai mahar dalam batas yang wajar.[4]
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa kerelaan (ar-Ri<d}a>( merupakan prinsip pembinaan keluarga yang harus dipenuhi jika memang ingin terwujudnya keluarga yang harmonis dan bahagia.
Konsep kerelaan atau persetujuan itu sendiri lebih lanjut harus dipisahkan, karna persetujuan itu sendiri memiliki dua subjek yang memiliki status hukum berbeda di kalangan ulama fiqh dalam hal ini yang dimaksud adalah janda atau gadis. Mazhab Sya>fi‘i< misalnya menyebutkan bahwa kalau persetujuan dari janda maka status hukumnya adalah wajib. Lain halnya kalau persetujuan datangnya dari anak gadis menurut ulama Sya>fi‘i<ah tidak begitu penting (hanya sekedar sunat), bahkan menurut ulama Sya>fi‘i<ah ketika sudah memenuhi syarat-syarat tertentu maka orang tua dalam hal ini tidak perlu lagi meminta persetujuan anak gadis. Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Antara ayah dan anak tidak ada permusuhan
2. Calon suami sekufu
3. Mahar yang sesuai
4. Calon suami sanggup memberikan mahar
5. Bukan dengan laki-laki yang membuatnya menderita dalam pergaulan[5]
Berbeda dengan mazhab Sya>fi‘i<, mazhab H}a>nafi< berpendapat bahwa antara status hukum persetujuan antara janda dengan anak gadis sama saja, keduanya wajib dimintai persetujuan. Lebih lanjut menurut ulama H}a>nafi<ah yang membedakan antara janda dengan anak gadis adalah pada tanda persetujuannya; kalau janda harus tegas, sedangkan anak gadis cukup dengan diamnya.[6]
Mazhab H}anbali< mensikapi persoalan ini dengan diwakili dua kubu. Di satu pihak dengan diwakili oleh Ibn Quda>mah dalam kitabnya al-Mugni< menyebutkan bahwa persetujuan anak gadis bukanlah sesuatu yang menentukan artinya bahwa tanpa adanya persetujuan anak gadis pun perkawinan tetap sah, walaupun si anak gadis tidak menginginkan perkawinan itu, dan beliau cendrung mengakui hak ijbar bagi wali. Sementara di pihak lain Ibn Qayyim al-Jawziyyah bersikukuh bahwa anak gadis pun tetap harus dimintai persetujuan ketika akan menikahkannya.[7]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih lanjut dalam karyanya Za>d al-Ma‘a>d berpendapat bahwa orang tua wajib meminta persetujuan kepada anak gadis ketika akan menikahkannya.Hukum ini juga mewajibkan agar gadis yang sudah dewasa tidak dipaksa untuk dinikahkan, dan ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan persetujuannya. Inilah pendapat jumhur salaf dan mazhab H}a>nafi< serta satu riwayat dari Imam Ah}mad.[8]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah Sebagaimana diketahui adalah sosok pemikir Islam yang banyak mewarnai khazanah intelektual pemikiran hukum Islam. Satu hal yang menarik adalah walaupun mazhab H}anbali< mayoritas berpendapat persetejuan anak gadis sekedar sunat atau penyempurna, tetapi beliau berani berbeda pendapat.
Melihat konteks pada masa sekarang seiring dengan perkembangan zaman, yang mana dulunya kaum wanita biasanya dipingit dirumahnya sehingga mereka cendrung berwawasan sempit dan kurang mengenal dunia luar, maka kondisi sekarang bisa dilihat bahwa kaum wanita adalah golongan yang berwawasan dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi pakar dalam disiplin ilmu tertentu.
Berangkat dari kenyataan inilah ditambah lagi bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah Sya>fi‘i<ah yang nota bene yang menganggap persetujuan tidak begitu penting (sunnat), maka penulis tertarik untuk mengangkat pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah ini sebagai pembahasan dalam karya ilmiyah untuk alternatif.
B. Pokok Masalah
Dari deskripsi latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah pokok yaitu :
1. Bagaimana pendapat dan apa yang menjadi landasan pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan?
2. bagaimana relevansi pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan konteks sekarang di Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan
Untuk mendeskripsikan tentang pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan.
Untuk memberikan gambaran relevansi pemikiran Ibn Qayyim dengan konteks sekarang di Indonesia.
Kegunaan
a. Mengenalkan konsep berfikir Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang diharapkan dapat berguna bagi pengembangan pemikiran keIslaman.
b. Untuk menambah khazanah keilmuan hukum Islam terutama tentang sejauhmana relevansi pemikiran ibn qayyim al-jawziyyah dalam kaitan ini dikaitkan dengan konteks sekarang.
D. Telaah Pustaka
Dari hasil penelusuran yang dilakukan penyusun terhadap literatur yang membahas tentang pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah serta literatur yang membahas tentang persetujuan anak gadis, dapat penyusun paparkan sebagai berikut:
Karya yang mengkaji pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah di antaranya, adalah: “Telaah Atas Konsep Ibn Qayyim al-Jawziyah Tentang Sadd az|-Z|ari<‘ah dan Aplikasinya dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”[9] Oleh Sholahuddin Siregar. Karya ilmiah berupa skripsi. Dalam skripsi ini, penyusun berkesimpulan bahwa Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat sadd az|-z|ari<‘ah merupakan upaya menutup semua jalan yang membawa kepada kemudharatan. Pembahasan skiripsi ini hanya berbicara tentang konsep sadd az|-z|ari<’ah nya Ibn Qayyim al-Jawziyyah.
“Hiyal Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah”[10] oleh Ikmal Munthador, penyusun dalam skripsi ini menyimpulkan bahwa Ibn Qayyim Al-Jawziyyah berpendapat hiyal yang menyebabkan sesuatu yang haram menjadi tampak halal, sesuatu yang yang wajib menjadi tampak tidak wajib haruslah dicegah. Sementara Hiyal yang diakui Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah hiyal yang dikonfirmasi oleh nash. Skripsi ini hanya membahas konsep Hiyal menurut pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Sedang pada kajian persetujuan anak gadis dalam perkawinan, dari penelusuran yang dilakukan penulis terhadap literatur yang ada belum ditemukan karya ilmiah yang mengangkat secara khusus tentang tentang pembahasan ini. Akan tetapi, memang ada sejumlah skripsi yang sekilas membicarakan tentang tema ini di antaranya, “Ijbar dan Kebebasan Wanita Dalam Menentukan Pasangan Perspektif Mahmud Syaltut”[11] oleh Mushtofa Kamal.skiripsi ini menggunakan maslahah yang berkonsentrasi pada hifz} an-nafs, yang pada gilirannya skiripsi ini menyimpulkan bahwa memberikan hak kepada perempuan untuk bebas memilih calon suamniya merupakan “harga mati” yang tidak bisa ditawar lagi demi mewujudkan tujuan perkawinan itu sendiri.
“Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbar Wali Nikah”[12]oleh Niswatul Imamah. Skiripsi ini berusaha menggunakan maslahah sebagai pisau analisisnya untuk membedah pemikiran Ibn Taimiyyah dengan mengembalikan akar persoalan kepada otentisitas hadis. Salah satu babnya berbicara tentang hak perempuan dalam memilih pasangan, menekankan bahwa perempuan maupun laki-laki mempunyai hak yang sama dalam menentukan pasangan.
Masalah persetujuan anak gadis dalam perkawinan sendiri tidak pernah lepas dari pembahasan buku fiqh klasik maupun modren, biasanya masalah itu dibahas sebagian bagian dari topik wali dan belum menjadi topik yang mandiri, kitab al-Umm[13] karya asy-Sya>fi‘i< dengan jelas menggambarkan hal ini, Ibn Rusyd dalam bukunya Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id mencoba menganalisis pendapat para imam mazhab tentang pembahasan ini[14]. Fiqih Lima Mazhab[15] oleh Muhammad Jawad Mughniyah. Karya ini memuat pandangan dari berbagai mazhab. Dari buku modren diwakili oleh buku Islam: Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan I)[16], ketika berbicara tentang wali, dalam salah satu sub babnya menyinggung tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan dengan mengutip pandangan dari mazhab yang empat.
ketika akan membahas lebih lanjut tentang persetujuan anak gadis menurut pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, penulis menggunakan kitab yang dikarangnya sendiri yaitu Za>d al-Ma‘a>d. Ibn Qayyim dalam kitabnya tidak membahas secara khusus tentang pembahasan ini, akan tetapi Ibn Qayyim memberikan satu pasal tentang orang tua yang akan menikahkan putrinya, dengan membahas yang masih gadis dan janda sekaligus.Walaupun dengan sumber yang sangat terbatas untuk dijadikan rujukan penulis, namun penulis tetap optimis bahwa pembahasan ini tetap layak dan menarik untuk dijadikan sebagai sebuah kajian ilmiah.
E. Kerangka Teoritik
Syari‘ah memiliki dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Pada dimensi vertikal terkandung aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan tuhan (ibadah), sementara pada dimensi horizontal syari‘ah berisi aturan tentang hubungan antar manusia, yang kemudian dikenal dengan isitilah muamalah.[17]
Muamalah menurut Ibn ‘Abidin terbagi menjadi lima bagian, yaitu: mu‘a>wad}ah ma>liyah (hukum kebendaan), muna>kah}at (hukum perkawinan), muh}asanah (hukum acara), amanah dan ‘aryah (pinjaman), dan tirkah (harta warisan).[18]
Munakahat sebagai bagian dari muamalah ketika diaplikasikan diawali dengan akad. Akad adalah segala yang dilakukan oleh seseorang dengan iradahnya (kehendaknya), dan syara‘ menetapkan kepada orang tersebut beberapa natijah hak.[19]
Defenisi di atas menjelaskan, suatu akad dikatakan sah apabila dilakukan dengan kerelaan (tanpa paksaan) para pihak.
Syari‘ah juga mempunyai tujuan ketika dihadirkan di tengah-tengah manusia, yaitu sebagai rahmat bagi manusia, sebagaimana ditegaskan Allah dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya:[20]
وماارسلناك الارحمة للعالمين[21]
Para ulama sepakat bahwa syari‘ah mengandung kemaslahatan untuk manusia. Namun ulama berbeda pendapat tentang, apakah maslahah itu yang mendorong Allah untuk mendatangkan syari‘ah?. Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Ulama yang berpegang pada prinsip bahwa perbuatan Allah itu tidak terikat kepada apa dan siapa pun (yang dianut oleh ulama kalam Asy‘a>riyah). Menurut mereka, Allah berbuat sesuai dengan keinginan-Nya,[22] sebagaimana firman Allah:[23]
ان ربك فعال لمايريد
2. Ulama yang berpegang pada prinsip keadilan dan kasih sayang Allah pada hambanya (yang dianut oleh ulama kalam al-Mu‘tazilah) berpendapat bahwa memang untuk kemaslahatan umat itulah Allah mendatangkan syari‘ah.[24]
Sejumlah defenisi maslahah dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, tetapi seluruh defenisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al-Ghaza>li< mengemukakan bahwa pada prisipnya maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syari‘ah.[25]
Maslahah yang dimaksud bukanlah sekedar maslahah yang didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, akan tetapi lebih jauh bahwa sesungguhnya maslahah tersebut harus sejalan dengan tujuan syari‘ah.[26] dalam menentukan maslahah adalah kehendak dan tujuan syari’ah dan bukan kehendak manusia.[27]
Tujuan syari‘ah yang harus dipelihara itu, lanjut al-Ghaza>li<, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syari‘ah di atas, maka dinamakan maslahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala aspek bentuk mudharat yang berkaitan dengan kelima aspek tersebut juga dinamakan maslahah.[28]
Wanita dalam kerangka memelihara jiwa seharusnya diberikan kekuasaan atas dirinya sendiri, misalnya bebas untuk kapan ia mau menikah, kapan mau memilih pasangan, dan kapan ia akan mempunyai anak. Hal ini sesuai dengan perumusan bahwa syari‘ah adalah apa yang disyari‘atkan Allah dalam al-Qur’an dan Sunnah yang berupa suruhan dan larangan serta petunjuk bagi manusia untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.[29]
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library recearh), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis dengan jalan mempelajari, menelaah dan memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan materi pembahasan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis[30], yaitu memaparkan konsep persetujuan anak gadis menurut pandangan Ibn Qayyim untuk kemudian menilai sejauhmana relevansi pemikiran beliau dengan konteks sekarang.
3. Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengkaji dan menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini. Adapun sumber primer penelitian ini adalah hasil karya Ibn Qayyim al-Jawziyyah yaitu Za>d al-Ma’a>d[31]. Sedangkan literatur-literartur yang termasuk kategori sumber skunder adalah kitab-kitab yang membahas tentang fikih munakahat di antaranya adalah kitab al-Umm karya ima>m asy-Sya>fi‘i<, Fiqih Lima Mazhab[32] oleh Muhammad Jawa>d al-Mugniyyah, , Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), oleh Khoiruddin Nasution.[33]
sedangkan literatur lainnya yang berkaitan dengan topik pembahasan ini dapat dijadikan sebagai penunjang dalam penelitian ini baik yang berupa buku, majalah, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya.
4. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah pendekatan normatif[34] artinya pendekatan yang berbasis pada teori-teori dan konsep-konsep hukum Islam.
5. analisis data.
Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan penyusun menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan cara berfikir induktif[35]. penyusun berusaha menganalisa pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis untuk kemudian menghubungkannya dengan konteks sekarang.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini, dan agar lebih sistematis dan konprehensif sesuai dengan yang diharapkan, maka dibuat sistematika pembahasan sebagai berikut:
BAB I merupakan pendahuluan sebagai pengantar yang mengarahkan pembahasan. Bab I memuat Latar Belakang Masalah, Pokok Masalah, Tujuan Dan Kegunaan, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
BAB II setelah pada bab I diketahui arah pembahasan, maka tahapan selanjutnya penulis mengenalkan lebih dekat tentang objek dari pembahasan ini. Pada bab ini memuat tentang keberadaan dan kepribadiannya-Riwayat Hidup-. Penyusun juga menggambarkan Paradigma pemikiran hukum yang lebih menekankan berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah ketika mengambil dasar hukum.
BAB III mengupas secara umum tentang persetujuan anak gadis dalam proses perkawinan. Hal ini diperlukan sebagai perbandingan antara pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan ulama-ulama lain sehingga bisa dinilai pendapat siapa sesungguhnya yang paling relevan untuk saat ini. Untuk mencapai pemahaman yang utuh tentang pembahasan ini, maka pada bab ini juga diangkat tentang kebebesan wanita dalam perkawinanan. Bab ini berisi Dasar-Dasar Hukum Ulama yang menyangkut masalah pembahasan ini, dan juga Pandangan mereka seputar hal ini.
BAB IV setelah diuraikan pandangan beliau tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan dan gambaran umum dari ulama-ulama lain tentang pembahasan ini, maka dalam bab ini penyusun melakukan Analisis Terhadap Pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah dan Relevansinya Dengan Konteks Sekarang.
BAB V sebagai penutup dari bab-bab sebelumnya yang juga tentunya berisi kesimpulan pembahasan yang dilakukan terhadap penelitian ini, saran-saran dan usul yang mungkin dapat berguna bagi pengembangan hukum Islam di masa depan.
[1] Mahmud asy-Syubbag, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, alih bahasa Bahruddin Fanani, cet. III (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 23
[2] Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Arkola, t.t.), hlm. 180
[3] Ar-Ru>m (30) : 21
[4] Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari‘at Islam,alih bahasa Fahruddin HS., cet.III (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 157-163.
[5] Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa As’ad Yasin, cet. II (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), II: 467.
[6] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet. I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 79
[7] Ibid., hlm. 85-92
[8] Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Ma‘a>d (Mesir: Mus{t}a>fa> al-Ba>bi< al-H}alabi< wa Awla>dih,1390/ 1970), IV: 3
[9] Sholahuddin Siregar ,“Telaah Atas Konsep Ibn Qayyim al-Jawziyah Tentang Sadd az|-Z|ari<’ah dan Aplikasinya dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”. Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2001)
[10] Ikmal Munthador, “Hiyal Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003)
[11] Musthofa Kamal, “Ijbar dan Kebebasan Wanita dalam Menentukan Pasangan Perspektif Mahmud Syaltut”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003)
[12] Niswatul Imamah, “Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbar Wali Nikah,” skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003)
[13] Muhammad Idris asy-Sya>fi’i<<<, al-Umm, edisi al-Muzni< (ttp.: tnp., t.t.)
[14] Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002)
[15] Muhammad Jawad Mughniyah.,Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B dkk., cet. V (Jakarta: PT.Lentera Basritama, 2000)
[16] Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet. I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004)
[17] Abd. Salam Arief. Pembaharuan Pemikiran Islam Antara Fakta dan Realita, cet. I (Yogyakarta: Lesfi, 2003), hlm. 83
[18] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, cet. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 3
[19] Muhammad Hasby ash- Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet. IVX (Semarang: PT. Pustaka Rizi Putra, 2001), hlm. 24
[20] Al-Anbiya>’ (21) : 107
[22] Mereka berpendapat bahwa bukan untuk memaslahatkan umat itu Allah menetapkan hukum. Jadi, tujuan syari‘ah itu bukan untuk memaslahatkan umat, meskipun semua hukum Allah itu tidak luput dari kemaslahatan. Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, cet. II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 206
[23] Hu>d (11) :107
[24] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, hlm. 206
[25] Dikutip oleh Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm. 114
[26] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, hlm. 326
[27] Dikutip oleh Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 114
[28] Ibid.
[29] Asymuni A. Rahman, Reaktualisasi Hukum Islam Kearah Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1994), hlm. 135
[30] deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang meliputi proses pengumpulan data, penyusunan, dan penjelasan atas data. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dan diinterpretasi sehingga metode ini sering disebut metode penelitian analitik. Ciri yang mendasar dari metode ini adalah bahwa ia lebih memusatkan diri pada pemecahan msalah-masalah aktual. Lihat Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik, cet. V (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 139-140
[31] Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Ma’a>d (Mesir: Mus{t}a>fa> al-Ba>bi< al-H}alabi< wa Awla>dih,1390/ 1970)
[32] Muhammad Jawa>d al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B, cet. V (Jakarta: PT.Lentera Basritama, 2000)
[33] Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet. I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004)
[34] Maksud pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal/formal dan atau normatifnya. Maksud legal-formal adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak. Dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, cet. I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 141
[35] Analisis induktif dalam penelitian kualitatif digunakan karena beberapa alasan. Diantaranya adalah dengan proses induktif lebih dapat menggali kenyataan-kenyataan ganda yang terdapat dalam data; analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti dengan objek menjadi lebih eksplisit; analisis lebih dapat meguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan kepada suatu latar lainnya. Lihat Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. XVI (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 5