BAB. I
PENDAHULUAN
A. PENEGASAN ISTILAH
Untuk memperoleh gambaran dan pengertian yang jelas serta untuk menghindari salah tafsir tentang judul ini, maka dianggap perlu untuk memeberi penegasan istilah berkaitan dengan judul ini.
Metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari kata meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan. Jadi metode adalah jalan yang dilalaui.[1]Metode juga berarti cara kerja yang sistematis untuk mempermudah suatu kegiatan dalam mencapai maksudnya.[2]
Penggunaan istilah metode dalam penelitian ini dengan maksud menyelidiki tentang berbagai cara yang digunakan sesuai dengan obyek yang diteliti.
2. Melatih Kecerdasan Emosional pada Anak
Melatih dapat diartikan dengan membiasakan diri atau belajar.[3]Menurut Daniel Goleman dalam bukunya “Emotional Intellegence”, Kecerdasan emosional adalah kemampuan memahami perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi yang baik pada diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain.[4]
Jadi Emotional Intellegence merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memanage emosinya supaya dapat terarah, sehingga emosi dapat digunakan secara proposional pada saat melakukan suatu tindakan serta dapat mengenali efek positif dan efek negatif dari emosi itu.
Anak adalah seseorang yang pada suatu masa dan perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi cerdas.[5]Sedangkan anak menurut Zakiah Daradjat adalah manusia kecil yang berkisar antara umur 0-12 tahun.[6]Dengan demikian, yang dimaksud dengan melatih kecerdasan emosional pada anak dalam penelitian ini ialah memberikan pembelajaran atau pembiasaan diri pada anak, khususnya anak pada umur sekitar 6–9 tahun tentang kemampuan memahami perasaannya sendiri, orang lain, memotivasi diri dan juga mampu memanage emosinya secara proposional.
3. Studi
Studi berasal dari bahasa Inggris Study, diIndonesiakan melalui proses peminjaman kata dari bahasa asing dengan mengagantikan huruf y memjadi I, kemudian studi mempunyai arti penyelidikan.[7]
Agar lebih operasional, maka studi pada penelitian ini diartikan sebagai suatu penyelidikan tentang metode yang digunakan guru dalam melatih kecerdasan emosional siswa.
4. Praktek
Menurut Peter Salim dan Yenny Salim, praktek adalah cara pelaksnaan teori secara nyata.[8] Praktek yang dimaksud dalam skripsi ini adalah praktek guru dalam mengenali emosi siswa, mengendalikan perilaku–perilaku negatif siswa, menjalin komunikasi secara empatik, dan menanamkan nilai–nilai emosional dan sosial, seperti; kedisiplinan, kemandirian, motivasi diri, ketekunan, ketrampilan berkomunikasi dan tata krama sosial. Siswa di sini dikhususkan pada siswa kelas rendah yaitu kelas I, II, dan III sekolah dasar.
5. SD Muhammadiyah Suronatan
Adalah merupakan salah satu instansi sekolah yyang dirintis oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan yang didirikan pada tahun 1918. Sekolah ini berada dibawah naungan Persyarikatan Muhammadiyah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka maksud dari judul skripsi “METODE MELATIH KECERDASAN EMOSIONAL PADA ANAK (Studi Pada Praktek guru Melatih Kecerdasan Emosional Siswa di SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta), adalah penelitian lapangan yang berusaha menggambarkan mengemukakan dan menguraikan data atau informasi sebagaimana adanya tanpa memberikan perlakuan terhadap subyek penelitian.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap anak yang lahir normal, baik fisik maupun mentalnya berpotensi menjadi cerdas. Hal yang demikian terjadi, karena secara fitrah manusia dibekali potensi kecerdasan oleh Allah SWT. Dalam rangka mengaktualisasikan dirinya sebagai hamba (`abid ) dan wakil Allah (khalifah) dimuka bumi.[9]Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al–Baqarah ayat 30:
واذ قال ربّك للملآئكة انّى جاعل فى الارض خليفة قلى قالوآ اتجعل من فيها يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدّس لك قلى قال انّى علم مالا تعلمون.(البقرة : 30)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:” Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”, mereka berkata: “ Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesunguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.[10]
Demikian pula dengan pendapat Al-Ghazali bahwa:
“Anak dilahirkan dengan membawa fitrah yang seimbang dan sehat. Kedua orang tuanyalah yang memberikan agama kepada mereka. Demikian pula anak dapat terpengaruhi sifat–sifat yang buruk. Ia mempelajari sifat–sifat yang buruk itu dari lingkungan yang dihadapinya. Dari corak hidup yang memberikan peranan kepadanya dan dari kebiasaan–kebiasaan yang dilakukanya. Ketika dilahirkan, keadaan tubuh anak belum sempurna, kekurangan ini diatasinya dengan latihan dan pendidikan yang ditunjang dengan makanan. Demikian pula halnya dengan tabiat yang difitrahkan. kepada anak yang merupakan kebajikan yang diberikan al- Khalik kepadanya”.[11]
Pada masa sekarang ini, peran keluarga mulai melemah dikarenakan perubahan sosial, politik dan budaya yang terjadi. Keadaan ini memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya anak dari kekuasaan orang tua, keluarga telah kehilangan fungsinya dalam perkembangan emosi anak.
Kehidupan anak-anak yang sudah memasuki usia sekolah sebagian waktunya dihabiskan di sekolah mulai pagi hingga siang hari. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwasanya mereka pun berinteraksi dengan gurunya dan teman-temannya, hasil interaksi inipun akan mempengaruhi pola perilaku mereka. Oleh karena itu sekolah merupakan rumah kedua setelah kehidupan mereka bersama orang tua dan saudaranya di rumah, di mana mereka dapat bermain dan belajar.
Pengaruh dari adanya perubahan sistem politik, sosial dan budaya yang menyebabkan melemahnya fungsi keluarga terhadap perkembangan emosi anak, maka peran sekolah di sini sangat penting dalam pembentukan pola perilaku anak-anak.
Pelaksanan pendidikan tidak mungkin lepas dari faktor-faktor psikologis manusia di samping faktor lingkungan sekitar, maka dalam proses pengajaran perlu bahkan wajib berpegang pada petunjuk-petunjuk dari para ahli psikologi terutama psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan, termasuk psikologi agama. Menurut Al-Farabi dalam buku “Risalah Fissiyasah”, bahwasanya perlu untuk memperhatikan faktor pembawaan dan tabiat anak-anak. Anak-anak berbeda pembawaanya satu sama lain. Oleh karena itu apa yang diajarkan harus sesuai dengan perbedaan pembawaan dan kemampuan itu.[12]
Namun selama ini hanya sedikit orang tua yang memperhatikan perkembangan kejiwaan anak secara universal. Orang tua biasanya hanya memperhatikan pada aspek jiwa yang langsung dapat teramati saat itu juga. Seperti pada perkembangan aspek kognisi, orang tua akan merasa sangat bahagia bila anaknya yang masih balita sudah dapat menghafal abjad ataupun mengenal bahasa asing. Mereka tidak sadar bahwa anak akan mempunyai masalah-masalah di masa depan yang penyelesainya tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan orang tua dalam mengembangkan aspek kognisinya atau IQ (Intelellegence Qoutien)-nya, namun tak kalah penting adalah keberhasilan pengembangan aspek emosi anak juga merupakan salah satu faktor penting yang mementukan keberhasilan anak di masa depan.
Dalam kaitannya dengan hubungan tersebut maka upaya untuk membangun dan mengembangkan kecerdasan emosional anak patut diperhatikan karena secara psikologis bukan pikiran rasional saja yang dapat membantu anak mengalami perkembangan, tetapi pikiran emosional juga memberi dampak efektif. Hal ini melihat bahwa masa anak merupakan saat yang tepat untuk menerima dan menyerap informasi-informasi baru.
Jadi agar kecerdasan emosional anak dapat berjalan dan berkembang dengan baik, maka seyogyanya diberikan pendidikan dan bimbingan yang dilakukan oleh orang tua, dalam hal ini yang paling berkompeten adalah guru kepada siswa dalam masa pertumbuhannya agar ia memiliki kepribadian dan kecerdasan yang cemerlang baik kecerdasan logika maupun kecerdasan emosi.
Demikian uraian-uraian yang menjelaskan tentang betapa pentingnya arti kecerdasan emosional bagi kehidupan modern dewasa ini, yang dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan hidup. Maka kecerdasan emosional ini semakin perlu dipahami, dimiliki dan diperhatikan dalam pengembanganya karena mengingat kondisi kehidupan dewasa ini yang semakin kompleks. Kehidupan yang semakin kompleks ini memberikan dampak yang sangat buruk terhadap konstelasi kehidupan emosional individu. Dalam hal ini, Daniel Goleman mengemukakan hasil survey terhadap para orang tua dan guru yang hasilnya menunjukkan bahwa ada kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya. Mereka lebih kesepian dan pemurung, lebih beringasan dan kurang menghargai sopan-santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.[13]
Dengan melihat hasil penemuan dari Daniel Goleman yang mengarah pada arti penting kecerdasan emosional (EQ) bagi kehidupan manusia dewasa ini. Khusus bagi anak-anak, ketrampilan kecerdasan emosional (EQ) perlu disuguhkan sedini mungkin agar nantinya anak-anak (siswa) ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan sehat secara moral, emosional, dan sosial.
Merupakan tugas yang berat bagi orang tua dalam memilih sekolah yang berkualitas bagi pendidikan anak-anaknya. Sekolah pada umumnya jarang ditemukan adanya pendidikan yang berorientasi tidak hanya pada aspek kognitif dan psikomotirik saja melainkan aspek emosional siswanya pun mendapatkan posisi yang cukup penting diperhatikan. Seperti keberadaan SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta menempati posisi yang cukup diperhitungkan sebagai instansi yang patut dipilih bagi pendidikan anak-anak sekarang. Karena sekolah tersebut mempunyai iklim yang bagus bagi perkembangan emosional siswa.
Iklim yang mendukung terciptanya kecerdasan emosional anak ini nampak pada aktivitas belajar-mengajar baik di dalam maupun di luar kelas. Pola-pola kecerdasan emosional yang dikembangkan guru di dalam kelas dengan jalan mengintegrasikan dengan tiap-tiap mata pelajaran yang diajarkan guru. Hal ini dikarenakan banyaknya beban kurikulum yang harus diajarkan guru dan tidak tersedianya waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk memberikan pelatihan kecerdasan emosinal secara khusus.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan penulis dalam memahami persoalaan kecerdasan emosional, khususnya tentang perkembangan kecerdasan emosional anak. Maka dalam penelitian ini penulis berusaha untuk menuangkan berbagai masalah emosional siswa yang dihadapi guru beserta cara-cara guru dalam melatih kecerdasan emosional siswa di SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta.
C. RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari latar belakang masalah maka selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu:
1. Apa saja masalah-masalah emosional siswa yang dihadapi guru SD Muhmmadiyah Suronatan Yogyakarta?
2. Bagaimana perspektif kecerdasan emosional bagi anak menurut SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta?
3. Bagaimana cara guru melatih kecerdasan emosional siswa di SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta?
D. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui masalah-masalah emosional siswa yang dihadapi guru SD Muhammdiayh Surontan Yogykarta.
2. Untuk mengetahui perspektif kecerdasan emosional (EQ) menurut guru SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta.
3.Untuk mengetahui cara-cara guru melatih kecerdasan emosional (EQ) siswa di SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta.
E. MANFAAT PENELITIAN.
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi guru, penelitian ini menjadi umpan balik (feed back) dalam rangka meningkatkan kemampuan mengajarnya agar tidak semata mementingkan aspek kogntif, tapi juga memperhatikan aspek emosi peserta didik.
2. Bagi masyarakat umum, penelitian ini memberikan informasi tentang kecakapan guru dalam melatih kecerdasan emosional (EQ) kepada anak, khususnya siswa kelas I, II, dan III SD.
3. Menambah referensi bahan kajian ilmu, khususnya dalam wilayah ilmu Bimbingan dan Penyuluhan Islam tentang melatihS kecerdasan emosional anak.
F. KERANGKA TEORI.
1. Tinjauan Tentang kecerdasan Emosional (EQ).
a. Definisi Kecerdasan Emosional (EQ).
Untuk memahami kecerdasan emosional secara komprehensif, peneliti akan memaparkan terlebih dahulu makna dari emosi itu sendiri. Hal ini dimaksudkan agar pijakan awal dalam membahas kecerdasan emosional tidak mengambang. Namun sebelum memaparkan definisi emosi, akan peneliti kemukakan mengenai kondisi-kondisi yang mendasari emosi. Kondisi-kondisi tersebut adalah:
a. Perasaan, misalnya perasaan takut
b. Impulsif dan dorongan, misalnya dorongan untuk melarikan diri
c. Persepsi atau pengamatan, tentang apa-apa yang membangkitkan emosi.[14]
Demikian pula dalam bukunya Syamsu Yusuf LN, tertuang di dalamnya tentang pendapatnya Sarlito Wirawan mengenai emosi, bahwa menurutnya emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah atau dangkal maupun pada tingkat yang luas atau mendalam. Yang dimaksud warna afektif ini adalah perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi ( menghayati ) suatu situasi tertentu. Contohya; gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci atau tidak senang dan sebagainya.[15]
Berangkat dari kerangka dasar tentang emosi, sebuah teori yang komprehensif tentang emosi kaitannya dengan kecerdasan emosional yang dikemukakan pada tahun 1990 oleh Peter Soluvey dan John Mayer, mereka mula-mula mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi yang baik pada diri sendiri maupun orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.[16]Selanjutnya Goleman juga mengemukakan tentang kecerdasan emosional, yaitu kemampuan seperti kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas dari stress, tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.[17]
Sebenarnya teori Goleman tersebut dapat disimpulkan dalam perubahan-perubahan Bahasa Arab, “Man Shobaro Dzofaro”, artinya “Barang siapa yang bersabar, ia akan sukses” peribahasa ini bisa disimpulkan bahwa orang yang sukses dalam hidupnya adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi atau orang yang sabar. Keadaan ini menunjukan bahwa ada hubungan antara sukses dan kecerdasan. Kecedasan bias dibentuk dengan melatih kesabaran dan tekun dalam menempuh perjalanan sabar, seperti itulah seorang sufi yang menempuh perjalanan menuju Allah SWT. Ia tempuh berbagai bencana tetapi ia tetap sabar, itulahmengembangkan kecerdasan emosional.[18]
Demikianlah definisi kecerdasan emosional menurut beberapa pakar. Kecerdasan emosional (EQ) ini memang merupakan istilah baru. Namun isi dari EQ ini adalah istilah-istilah, seperti; kesadaran diri, control diri, ketekunan, semangat, motivasi diri, empati, dan kecakapan social. Sebagai dasar-dasar dari kecerdasan emosional ini merupakan istilah lama yang pada substansinya adalah bagaimana seseoarang bisa mengenal, menguasai dan mengendalikan emosi yang ada dalam dirinya merupakan ekses dari sikap ini, seseorang dapat dewasa dalam emosi (kecerdasan emosi ).
b. Perkembangan Kecerdasan Emosional.
Mengingat pentingnya peran emosi dalam kehidupan anak, tidaklah mengherankan kalau sebagian keyakinan tradisional tentang emosi yang telah berkembang selama ini bertahan kukuh tanpa informasi yang tepat untuk menunjang ataupun menentangnya–sebagai contoh ada keyakinan yang telah diterima secara luas bahwa sebagian orang dilahirkan dengan sifat yang lebih emosional dibanding yang lainnya. Konsekuensinya, sudah menjadi kenyataan yang diterima masyarakat bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah karakteristik ini. Pada zaman dulu perbedaan emosionalitas ini dinyatakan sebagai hasil dari perbedaan keadaan jasmani, dan pendapat mutakhir mengatakan bahwa perbedaan emosionalitas merupakan akibat dari perbedaan dalam kelenjar endokrin.[19]
Dari kedua pandangan awam tersebut dapat dipahami, bahwa perbedaan emosionalitas ini bersifat genetik atau (diturunkan). Nampaknya keyakinan awam tersebut tidak bisa diubah sebelum bukti ilmiah diperoleh, bahkan keyakinan telah bertahan kuat hingga mempergauli cara orang tua dan guru (para pendidik) yang mempunyai peran pengganti dalam bereaksi terhadap emosi anak.
Namun berkat penelitian para pakar dalam berbagai bidang, khususnya para psikologi menunjukan bahwa sebenarnya faktor genetik bukanlah satu-satunya yang mempengaruhi emosionalitas anak, terdapat faktor lainnya yang sangat dominan, bahkan menentukan emosionalitas anak, yaitu faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini meliputi berbagai hal lainnya seperti lingkungan keluarga sebagai lingkungan yang pertama kali dapat mempengaruhi perkembangan emosionalitas anak; lingkungan sekolah; serta lingkungan masyarakat.
Berbagai faktor lingkungan tersebut akhirnya dapat menyebabkan adanya keberagaman emosi anak (ciri khas emosi anak), yang berbeda dengan emosi orang dewasa. Orang dewasa yang belum memahami akan ciri khas emosi anak ini cenderung menganggap anak kecil sebagai “tidak matang”. Padahal sebetulnya tidak logis jika orang dewasa menuntut agar semua anak pada usia tertentu mempunyai pola emosi yang sama. Perbedaan individu tidak dapat dielakkan karena adanya perbedaan dalam berbagai hal, diantaranya adalah pematangan dan kesempatan belajar.
Dari kedua faktor tersebut kesempatan belajar merupakan faktor yang lebih penting. Karena belajar merupakan sesuatu yang positif dan sekaligus merupakan tindakan preventif. Maksudnya adalah bahwa apabila reaksi emosional yang tidak diinginkan dipelajari, kemudian membaur kedalam pola emosi anak, akan semakin sulit mengubahnya dengan bertambah usia anak, bahkan reaksi emosional tersebut akan tertanam kukuh pada masa dewasa dan untuk mengubahnya diperlukan bantuan ahli.
Sebagai akibat dari kedua faktor tersebut, maka dapat dipahami bahwa emosi anak seringkali sangat berbeda dari orang dewasa.. Namun terlepas dari adanya perbedaan individu dan faktor-faktornya, ciri khas emosi anak membuatnya berbeda dari emosi orang dewasa diantaranya yang menjadi ciri khas (pola umum) emosi anak adalah emosi takut dan marah. Inilah yang menjadi faktor fundamental dari emosi.
Sebagai faktor lain dari kecerdasan emosi adalah peran orang tua. Apabila seseoarng menjadi orang tua, maka terjadilah suatu keganjilan yang patut disesali, dimana mereka akan mulai memainkan suatu peran tertentu, dan lupa bahwa sesungguhnya mereka adalah pribadi manusia. Kini sebagai orang tua mereka memiliki tanggung jawab untuk menjadi lebih baik daripada sekedar sebagai manusia. Beban tanggung jawab yang berat ini merupakan tantangan bagi orang tua di mana mereka merasa bahwa mereka harus selalu bersikap konsisten dalam perasaan-perasaan mereka, harus selalu menyanyangi anak-anak, harus menerima dan bersikap toleran tanpa syarat, dan yang terpenting adalah tidak boleh membuat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.
Selain peran orang tua, guru sebagai pihak lain yang ikut terlibat dalam memupuk kecerdasan emosi anak memiliki peranan penting. Bahkan sering kali didapatkan, anak lebih manurut pada perintah gurunya dari pada perintah orang tuanya. Hal tersebut sah-sah saja, karena memang guru memiliki banyak peranannya tidak sebagai pengajar, tapi juga sebagai pendidik dan pembimbing.[20]Dalam perananya ini guru perlu mengusahakan diri agar dapat melaksanakan semuanya. Ketika perannya sebagai guru ia perlu yang harus dilakukannya, meskipun ketiga bidang ini dapat tumpang tindih sifatnya, tetapi masing-masing mempunyai tekanan perhatian dan pendekatan yang berbeda-beda.
Quantum teaching, memberikan enam kunci bagi para guru untuk membangun suasana yang menyenangkan:[21]
1) Kekuatan terpendam niat, maksudnya adalah seseorang guru harus mempunyai niat yang kuat atau kepercayaan akan kemampuan dan motivasi siswa.
Dari teorinya Deporter ini dapat dijadikan sebagai metode dalam melatih kecerdasan emosional siswa adalah dengan melakukan empati. Sebagaimana juga yang terdapat dalam metode mendidik anak dalam ajaran Islam, seperti dalam firman Allah SWT:
وليخس الذين لوتركوا من خلفهم ذرية ضعفا خافوا عليهم فليتقوالله واليقولو قولا سديدا.(النساء:9)
“Dan hendaklah takut pada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka mengucapkan perkatan yang` benar”.(QS. An-Nisa:9)[22]
Ayat tersebut di atas dapat dijadikan pegangan oleh pendidik, bahwa sebelum mereka mendidik tentu saja harus bertakwa kepada Allah SWT dan berkata dengan perkataan yang benar dan diharapkan menjurus pada hukum yang benar. Dengan jalan menempatkan diri (berempati) pada orang lain sembari menghayati kelemahan mereka, niscaya ia akan benar-benar memperhatikan perkataan yang benar dan berdasarkan kepada takwa semata-mata karena Allah SWT, sehingga mereka tidak menghiraukan anak yang lemah.[23]
Sedemikian pentingnya niat kuat ini sehingga akhirnya dapat berdampak pada peran psikologis siswa dalam belajar, dan dengan memperhatikan emosi siswa, maka guru dapat mempercepat pembelajaran siswa. Demikian dengan memahami emosi siswa, guru dapat membuat pembelajaran lebih berarti dan permanen.
2) Jalinan rasa simpati dan saling pengertian. Dengan adanya dua sifat ini maka keterlibatan antara siswa dan guru akan semakin erat, karena dengan hubungan, akan membangun jembatan menuju kehidupan bergairah siswa.
Dalam ajaran Islam, bersikap lemah lembut dan penuh kasih saying merupakan dasar dalam bermuamalah dengan anak. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam bergaul dengan anak-anak, beliau memperlakukan mereka dengan penuh kelembutan baik didalam sikap atau perkataan beliau. Apabila ada kesalahan yang dilakukan anak, beliau tidak segan-segan untuk menegur dengan lembut dan memberi penjelasan tentang letak kesalahnnya dengan memakai argumentasi yang logis dan mudah dipahami oleh mereka. Sehingga mereka tidak mengalami kesalahan untuk yang kedua kalinya.
Telah diriwayatkan oleh Aisyah ra. Rasulullah SAW bersabda:
اِن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله.(رواه بخاري ومسلم)
“Sesungguhnya Allah adalah zat yang lembut, dan setiap perkara senang pada kelembutan”. (HR. Bukhori dan Muislim)[24]
Muslim meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah SAW mengutusnya bersama Mu’adz ke negeri Yaman, dan Rasulullah SAW berkata pada mereka berdua:
يسر ولاتعسر وعلما ولا تنفرا.(رواه مسلم)
“ Permudahlah dan janganlah kalian persukar, ajarkanlah ilmu dan janganlah kalian berlaku tidak simpati” [25]
3) Keriangan dan ketakjuban. Dengan keriangan kegiatan belajar-mengajar akan lebih menyenangkan. Kegembiraan membuat siswa siap belajar dengan lebih mudah dan bahkan dapat mengubah sifat negatif. Untuk menambah kegembiraan dapat digunakan afirmasi, yaitu suara-suara untuk mengaktifkan dialog internal, sebagai cerminan nilai-nilai dan keyakinan guru serta berpengaruh kuat pada pengalaman guru setiap saat; memberi (dan menerima) pengakuan, di mana pada dasarnya, setiap siswa senang diakui atau diterima. Jadi, akuilah setiap usaha siswa, tidak hanya usaha yang tepat; merayakan kerja keras, hal ini akan mendorong siswa memperkuat rasa tanggung jawab dan mengawali proses belajar mereka sendiri. Selanjutnya dengan ketakjuban sebagai alat belajar asli dapat menambahkan arti lebih pada belajar, jika belajar diawali dan dicari melalui ketakjuban.
Selanjutnya menurut Utsman Najati, bahwa afirmasi juga berarti bahwa guru menyediakan situasi yang baik bagi perkembangan emosi anak, dan mendukung melalaui cara yang jelas yang dikenali anak seperti memberikan ganjaran pada siswa.[26]
Rasulullah SAW, menggunakan ganjaran dalam membangkitkan dan memperkuat semangat serta gairah untuk berlomba lari. Beliau bersabda:
“ “Siapa menang, ia akan mendapatkan sesuatu dariku”. Lalu mereka mereka berlomba lari dan menubruk dada beliau, segera beliau memeluk dan mencium mereka”[27]
4) Pengambilan resiko. Setiap belajar mengandung resiko setiap kali seseorang bertualang untuk belajar sesuatu yang baru ia mengambil resiko besar diluar zona nyamannya. Dengan resiko ini akan membawa siswa melampaui batas mereka sebelumnya dan menambah dampak pengalamannya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari; Rasulullah SAW bersabda:
“ Ilmu itu hanya dapat dikuasai dengan belajar; kecerdikan juga begitu. Barang siapa mengerjakan kebaikan ia mendapatkannya. Sedangkan barang siapa yang menghindari kejelekan ia akan terjaga darinya”.( HR. Thabrani dan al- Doruquthny)[28]
Maksud hadits di atas, menurut Utsman Najati adalah bahwa belajar hanya dapat ditempuh dengan mengerahkan segenap upaya serta berpartisipasi aktif dan efektif dalam proses belajar.[29]
5) Rasa saling memiliki. Dengan adanya saling memiliki akan mempercepat proses pengajaran dan meningkatkan rasa tanggung jawab siswa
Mendidik siswa dengan adanya rasa saling memiliki, menurut Nashih Ulwan juga berarti mendidik dengan penuh pehatian. Yang dimaksud mendidik dengan perhatian adalah mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa mengikuti perkembangan anak dalam pembinaan akidah dan moral, persiapan, spiritual dan sosial, disamping selalu bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan daya hasil ilmiahnya. [30]
Di bawah ini ayat tentang keharusan memperhatikan dan mengkontrol dalam mendidik siswa.يأيها الذين امنوا قوا انفسكم واهليكم ناراوقودهاالناس والحجارة عليها ملئكة غلاظ شدادلايعصون الله ماأمرهم ويفعلون مايؤمرون.(التحريم:6)
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah keluargamu dan dirimu daripada neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu, sedang penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, mereka tidak mendurhakai Allah tentang apa-apa yang disuruhnya dan mereka memperbuat apa-apa yang diperintahkan kepadanya”. (QS. At-Tahrim: 6)[31]
6) Keteladanan. Bertolak dari pepatah “Tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata”, ini mengandung arti bahwa diri seorang guru lebih penting daripada pengetahuannya. Karena dengan keteladanan dapat membangun hubungan, memperbaiki kredibilitas dan meningkatkan pengaruh.
Dalam Islam, Allah SWT telah menjadikan nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan, yang baik bagi manusia. Dalam al-Quran Allah SWT berfirman:
لقد كان لكم في رسول لله أسوة حسنة لمن كان يرجواالله واليوم الأخر وذكرالله كثيرا.(الأحزب:21)
“ Sesungguhnya pada rasul Allah (Muhammad) ada ikutan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharapkan (pahala) Allahdan hari yang kemudian, serta ia banyak mengingat Allah”. (QS. al-Ahzab: 21)[32]
Telah diakui bahwa kepribadian rasul sesungguhnya bukan hanya teladan buat satu masa, satu generasi, satu bangsa atau satu golongan. Tetapi merupakan teladan univeral, untuk seluruh manusia dan seluruh generasi. Teladan yang abadi dan tidak akan habis adalah kepribadian rasul yang didalamnya terdapat segala norma,nilai, dan ajaran Islam. [33]
Menurut an-Nahlawi, sebagaimana dikutip Sri Harini dan Aba Firdaus al-Hajwani, pendidikan melalui keteladanan ini dapat diterapkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Keteladanan yang tidak sengaja adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat ikhlas dan lain-lain. Sedangkan keteladanan yang disengaja, misalnya memberi contoh membaca yang baik, mengerjakan shalat yang benar dan lain- lain. Dalam pendidikan Islam kedua macam keteladanan tersebut sama pentingnya.[34]
Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa sementara guru mengajak siswa dalam proses belajar seumur hidup yang dinamis dan tak terlupakan, guru menciptakan suasana prima yang unik bagi para siswa, yang membuat siswa aman tapi tertantang, dimengerti dan dirayakan. Dengan menciptakan suasana yang prima tersebut, guru secara tidak langsung telah mendidik siswa memiliki kecerdasan emosi.
Demikian juga, dengan lingkungan masyarakat turut berperan dalam kecerdasan emosi siswa. Adapun lingkungan masyarakat yang berpengaruh adalah terutama teman-teman sebayanya yang bersangkutan, dimana dalam masa ini terjadi interaksi yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi pembentukan kecerdasan emosi.
2. Tinjauan Tentang Perkembangan Emosi Pada Anak.
Setelah menguraikan konsep kecerdasan emosional sebagaimana yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman, dalam bukunya “Emotional Intellegence” (1995), adalah juga perlu memperhatikan penjelasan teoritis tentang bagaimana perkembangan emosi yang terjadi pada anak-anak. Hal ini penting karena akan menjadi kerangka rujukan (Frame of Reference) dalam membicarakan cara-cara guru melatih kecerdasan emosional pada anak didiknya yang merupakan pusat perhatian dalam penelitian ini.
Menurut Elizabeth B. Hurlock, kemampuan anak untuk bereaksi secara emosional sudah ada semenjak bayi baru dilahirkan. Gejala pertama perilaku emosional ini adalah berupa keterangsangan umum. Dengan meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka kurang menyebar, kurang sembarangan, lebih dapat dibedakan, dan lebih lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan.[35]
Adapun ciri-ciri penampilan emosi pada anak menurut Hurlock ditandai oleh intensitas yang tinggi, sering kali ditampilkan, bersifat sementara, cenderung mencerminkan; individualitas, bervariasi seiring meningkatnya usia, dan dapat diketahui melalui gejala perilaku.[36]
Berikut ini ada beberapa pola emosi yang dijelaskan Hurlock, yang secara umum terdapat pada diri anak, yaitu:
a).Rasa Takut.
Dikalangan anak yang lebih besar atau usia sekolah, rasa takut berpusat pada bahaya yang bersifat fantastik, adikodrati, dan samar-samar. Mereka takut pada gelap dan makhluk imajinatif yang diasosiasikan dengan gelap, pada kematian atau luka, pada kilat guntur, serta pada karakter yang menyeramkan yang terdapat pada dongeng, film, televisi, atau komik
Terlepas dari usia anak, ciri khas yang penting pada semua rangsangan takut ialah hal tersebut terjadi secara mendadak dan tidak di duga, dan anak-anak hanya mempunyai kesempatan yang sedikit untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Namun seiring dengan perkembangan intelektual dan meningkatnya usia anak, mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Selanjutnya reaksi rasa, seperti; intelegensia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, kondisi fisik, hubungan sosial, urutan kelahiran, dan faktor kepribadian.
b) Rasa Marah
Pada umumnya, kemarahan disebabkan oleh berbagai rintangan, misalnya rintangan terhadap gerak yang diinginkan anak baik rintangan itu berasal dari orang lain atau berasal dari ketidakmampuannya sendiri, rintangan tehadap aktivitas yang sudah berjalan dan sejumlah kejengkelan yang menumpuk. Pada anak-anak usia sekolah, rintangan berpusat pada gangguan terhadap keinginan, gangguan tehadap aktivitas yang dilaksanakan, selalu di persalahkan, digoda dan dibandingkan secara tidak menyenangkan dengan orang lain atau anak lain.
Reaksi kemarahan anak-anak secara garis besar dikategorisasikan menjadi dua jenis yaitu reaksi impulsif dan reaksi yang ditekan. Reaksi impulsif sebagian besar bersifat menghukum keluar (extra punitive), dalam arti reaksi tersebut diarahkan kepada orang lain, misalnya dengan memukul, menggigit, meludahi, meninju, dan sebagainya. Sebagian kecil lainnya bersifat kedalam (intra punitive), dalam arti anak-anak mengarahkan reaksi pada dirinya sendiri.
c) Rasa cemburu
Rasa cemburu adalah reaksi normal terhadap kehilangan kasih sayang yang nyata, dibayangkan, atau ancaman kehilangan kasih sayang. Cemburu disebabkan kemarahan yang menimbulkan sikap jengkel dan ditujukan kepada orang lain. Pola rasa cemburu seringkali berasal dari takut yang berkombinasi dengan rasa marah. Orang yang cemburu sering kali merasa tidak tentram dalam hubungannya dengan orang yang dicintai dan takut kehilangan status dalam hubungannya itu.
Ada tiga sumber utama yang menimbulkan rasa cmburu; pertama merasa diabaikan atau diduakan. Rasa cemburu pada anak-anak umumnya tumbuh dirumah. Sebagai contoh, seorang bayi yang baru lahir yang pasti meminta banyak waktu dan perhatian orang tuanya. Sementara itu kakaknya yang lebih tua merasa diabaikan. Ia merasa sakit hati terhadap adiknya itu. Kedua, situasi sekolah, sumber ini biasanya menimpa anak-anak usia sekolah. Kecemburuan yang berasal dari rumah sering di bawa ke sekolah yang mengakibatkan anak-anak memandang setiap orang, baik guru atau teman-teman kelasnya sebagai ancaman bagi keamanan mereka. Untuk melindungi keamanan mereka, anak-anak kemudian mengembangkan kepemilikan pada salah satu guru atau teman sekelasnya. Kecemburuan juga bisa disulut oleh guru yang suka membandingkan anak satu dengan anak lain. Ketiga, kepemilikan terhadap barang-barang yang dimiliki orang lain membuat mereka merasa cemburu. Jenis kecemburuan ini berasal dari rasa iri yaitu keadaan marah dan kekesalan hati yang di tujukan kepada orang yang memiliki barang yang diinginkannya itu.
d) Duka Cita atau Kesedihan.
Bagi anak-anak, duka cita bukan merupakan keadaan yang umum. Hal ini dikarenakan tiga alasan; Pertama, para orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya berusaha mengamankan anak tersebut dari berbagai duka cita yang menyakitkan. Karena hal itu dapat merusak kebahagiaan masa kanak-kanak dan dapat menjadi dasar bagi masa dewasa yang tidak bahagia. Kedua, anak-anak terutama apabila mereka masih kecil, mempunyai ingatan yang tidak bertahan terlalu lama, sehingga mereka dapat dibantu melupakan duka cita tersebut, bila ia dialihkan kepada sesuatu yang menyenangkan. Ketiga tersedianya pengganti untuk sesuatu yang telah hilang, mungkin berupa mainan yang disukai, ayah atau ibu yang dicintai, sehingga dapat memalingkan mereka dari kesedihan kepada kebahagiaan. Namun, seiring dengan meningkatnya usia anak, kesediaan anak semakin bertambah dan untuk mengalihkan kesedihan dari anak-anak tidak efektif lagi.
e) Keingintahuan
Anak-anak menunujukan keingintahuan melalui berbagai perilaku, misalnya dengan bereaksi secara positif terhadap unsur-unsur yang baru, aneh, tidak layak atau misterius dalam lingkunganya dengan bergerak kearah benda tersebut, memperlihatkan kebutuhan atau keinginan untuk lebih banyak mengetahui tentang dirinya sendiri atau lingkunganya untuk mencari pengalaman baru dan memeriksa rangsangan dengan maksud untuk lebih banyak mengetahui seluk-beluk unsur-unsur tersebut.
f) Kegembiraan
Gembira adalah emosi yang menyenangkan yang dikenal juga dengan kesenangan atau kebahagiaan. Seperti bentuk emosi-emosi sebelumnya. Kegembiraan pada masing anak berbeda-beda, baik mencakup intensitas dan cara mengekspresikannya.
Pada anak-anak usia sekolah awal, sebagian kegembiraan disebabkan oleh keadaan fisik yang sehat, situasi yang ganjil, permainan kata-kata, malapetaka ringan, atau suara yang tiba-tiba sehingga membuat mereka tersenyum. Sebagian lainnya, disebabkan karena mereka berhasil mencapai tujuan yang mereka inginkan.
g) Kasih Sayang
Kasih sayang adalah reaksi emosional terhadap seseorang atau binatang atau benda. Hal ini menunjukan perhatian yang hangat, dan memungkinkan terwujud dalam bentuk fisik atau kata-kata verbal.
Anak-anak cenderung paling suka kepada orang yang menyukai mereka dan bersikap ramah terhadap orang itu. Kasih sayang mereka terutama ditujukan kepada manusia atau objek lain yang merupakan pengganti manusia, yaitu berupa; binatang atau benda-benda. Agar menjadi emosi yang menyenangkan dan dapat menunjang yang baik, kasih sayang dari anak-anak harus berbalas. Artinya harus ada tali penyambung yang menghubungkan dengan orang yang disayanginya.[ffice1] [37][ffice2] [ffice3]
Demikinlah uraian-uraian mengenai penampilan-penampilan emosi yang sering tampak menurut teorinya Hurlock, yang patut dan bahkan menjadi sebuah kewajiban bagi orang tua dan para pendidik. Dalam hai ini yang paling berkompeten adalah guru. Sebab dengan mengetahui dan memahami pola-pola emosi pada anak, guru akan lebih untuk memberikan latihan-latihan emosi secara baik.
a. Implementasi Pengembangan Kecerdasan Emosional dalam Perkembangan Anak
Seorang psikolog Harvard, Jerome Kagan, mengemukakan bahwa temperamen seorang anak mencerminkan suatu rangkaian emosi bawaan tertentu dalam otaknya. Sebuah cetak biru untuk ekspresi emosi-sekaligus perilakunya sekarang dan di masa mendatang. Menurut Kagan, seorang anak yang pemalu lahir dengan amigdala yang mudah terangsang, barang kali karena kecenderungan turunan untuk mempunyai norepinofrin atau senyawa kimia otak lain berkadar tinggi yang merangsang pusat pengendali emosi pada otak secara berlebihan. Melalui penelitian bertahun-tahun, ia telah menemukan bahwa 2/3 anak yang lahir pemalu tumbuh menjadi anak yang kikuk, penyendiri dan mudah lebih cemas, penakut, dan mengalami hambatan dalam bergaul ketika dewasa. Anak-anak ini tampaknya tidak mengembangkan saluran-saluran saraf antara amigdala dan korteks yang akan memungkinkan bagian otak untuk berpikir membantu bagian otak emosi menenangkan diri.[38]
Jika manusia telah mengetahui besarnya pengaruh kecerdasan emosi dalam menunjang kesuksesan hidup seseorang, sudah sewajarnya pula orang tua perlu menyiapkan anak-anak untuk mencapai kecerdasan emosi pada kadar yang tinggi. Karena EQ tidak berkembang secara alamiah, artinya seseorang dengan tidak sendirinya memiliki kematangan EQ semata-mata didasarkan pada perkembangan usia biologisnya. Sebaliknya kecerdasan emosi sangat bergantung pada proses pelatihan dan bimbingan yang kontinue.[39]
Dengan contoh hasil penelitian tersebut, maka mekanisme pengembangan kecerdasan emosi pada anak dapat dimulai sejak anak masih bayi, karena bayi juga mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang apabila tidak diperhatikan secara seksama dapat berdampak pada perkembangan emosinya tatkala ia besar nanti.
Anak-anak (dan orang tua yang kurang dewasa) cenderung memandang dunia sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Ketika anak bertambah umur tujuh hingga delapan tahun, mereka menjadi lebih mudah berunding, berkompromi dan toleran. Tepat, seperti apa yang diketahui orang tua, proses ini mengalami pasang surut pada masa remaja. Banyak yang dapat dilakukan orang tua setiap hari untuk mengajarkan anak cara mengambil perspektif berbeda.[40]Untuk dapat memahami kehidupan bayi dan anak-anak yang masih sangat muda, maka kita harus banyak menyadarkan diri pada observasi tingkah laku anak-anak tersebut, sebab anak-anak itu tidak dapat bercerita tentang keadaan diri sendiri, dan tidak mampu mengungkapkan kehidupan psikisnya.[41]
Adapun pembentukan kecerdasan emosi pada anak dapat dilakukan melalui pemberian pelatihan EQ, menurut pandangan Goleman isi pelatihan emosional adalah sebagai berikut :
1) Kesadaran diri
2) Pengelolaan emosi
3) Ketekunan
4) Memotivasi diri
5) Empati
b. Fungsi Kecerdasan Emosi Bagi Guru dan Anak.
Sebenarnya berbicara tentang fungsi kecerdasan emosi apabila ditinjau secara umum sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, yaitu agar seseorang dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya. Walaupun kesuksesan itu sendiri masih dianggap sebagai sesuatu yang belum jelas, apakah kesuksesan dari segi materi atau non materi. Terlepas dari sukses dari segi materi atau non materi tersebut, disini peneliti akan mencoba menggagas tentang fungsi kecerdasan emosi bagi guru dan siswa dalam berbagai aspek, agar pendidikan memperoleh hasil yang maksimal.
Bertolak dari pemikiran seperti di atas, kesuksesan bagi seorang siswa di sekolah seringkali diasumsikan sebagai yang berhasil dalam prestasi akademiknya. Sehingga sangatlah wajar apabila dari siswa yang memiliki intelegensi yang tinggi diharapkan dapat diperoleh prestasi belajar yang tinggi pula.
Untuk membahas kesuksesan siswa dengan menekankan kecerdasan emosi ini, peneliti akan melihat dulu pada apa yang dikatakan Gardner mengenai berbagi kecerdasan yang sebenarnya dimiliki anak.
Howard Gardner, dalam bukunya yang berjudul “Multiple Intelegence” menegaskan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang. Gambaran mengenai spectrum kecerdasan yang luas telah membuka mata para orang tua, maupun guru tentang adanya wilayah-wilayah yang secara spontan akan diminati oleh anak-anak dengan semangat yang tinggi. Wilayah-wilayah tersebut adalah:
1) Kecerdasan Bahasa
Kecerdasan ini umumnya ditandai dengan ini kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa seperti membaca.
2) Kecerdasan Musikal
Adalah kecerdasan yang memuat kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara nonverbal yang berada di sekelilingnya, termasuk dalam hal ini adalah nada dan irama.
3) Kecerdasan Visual Spasial
Kecerdasan ini memuat kemampuan seseorang untuk mendiami secara mendalam hubungan antara objek dan ruang.
4) Kecerdasan Kinestik
Kecerdasan yang memuat kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah.
5) Kecerdasan Interpersonal
Menunujukan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain, sehingga mudah dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekelilingnya.
6) Kecerdasan Intra-personal
Menunujukan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaannya sendiri. Anak-anak semacam ini selalu melakukan intropeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya, kemudian mencooba untuk memperbaiki diri, sehingga anak ini cenderung menyukai kesendirian dan kesunyaian, merenung dan berdialog dengan dirinya sendiri.
7) Kecerdasan Naturalis
Yaitu kemampuan seseoarng untuk peka terhadap lingkungan, misalnya senang berada di lingkungan alam terbuka seperti pantai.[42]
Dari ketujuh spectrum kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner di atas, Goleman mencoba memberi penekanan pada aspek kecerdasan intrapersonal atau pribadi. Inti dari kecerdasan ini adalah mencakup kemampuan untuk membedakan atau menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat keinginan orang lain. Namun, menurut Gardner kecerdasan antar pribadi ini lebih menekankan pada aspek kognisi atau pemahaman. Sementara factor emosi atau perasaan kurang diperhatikan. Padahal, menurut Goleman, faktor emosi ini sangat penting dan memberikan suatu warna yang kaya dalam kecerdasan antar pribadi ini.
Di sini dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya kecerdasan emosi dikembangkan pada diri siswa. Karena betapa banyak dijumpai siswa, di mana mereka begitu cerdas di sekolah, begitu cemerlang prestasi akademiknya, bila tidak dapat mengelola emosinya; seperti mudah marah, mudah putus asa, atau angkuh dan sombong, maka prestasi tersebut tidak akan banyak bermanfaat untuk dirinya. Ternyata, kecerdasan emosi perlu dihargai dan dikembangkan pada anak sejak usia dini. Karena hal ini yang mendasari ketrampilan seseorang di tengah masyarakat kelak, sehingga akan membuat seluruh potensinya dapat berkembang secara lebih optimal.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kecerdasan emosi dipentingkan bagi siswa dalam rangka mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa yang bersangkutan, tanpa harus memaksakan apa yang dikehendaki oleh orang tuanya.
3. Melatih Kecerdasan Emosional Anak
Sampai sejauh ini belum ada literatur yang secara spesifik yang membicarakan tentang bagaimana cara guru melatih kecerdasan emosi anak didiknya. Kebanyakan litelatur yang beredar lebih menyoroti tentang bagaimana cara orang tua membina EQ anak-anaknya. Seperti bukunya Maurice J. Elias dkk dengan bukunya “Cara efektif Mengasuh Anak dengan EQ” dan bukunya Joan Gottman dan Jean De Claire dalam bukunya “Kiat-Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki EQ” (1992).
Sebagai Joan Gottman dan Jean De Claire, mengidentifikasikan empat tipologi orang tua dalam menyikapi ungkapan emosi-emosi anak mereka beserta dampaknya yaitu:
a. Orang tua yang mengabaikan
Mereka tidak menghiraukan dan menganggap sepi atau meremehkan emosi-emosi negatif anak. Akibatnya anak menganggap bahwa perasaan-perasaan itu keliru, tidak tepat atau tidak sah. Mereka mungkin merasakan ada yang salah dari perasaannya dan mungkin juga menghadapi kesulitan untuk mengatur emosi mereka sendiri
b. Orang tua yang tidak menyetujui
Mereka bersikap kritis terhadap ungkapan perasaan-perasaan negatif anak mereka. Akibatnya bagi anak adalah sama denga tipologi pertama.
c. Orang tua yang Laizees
Mereka menerima emosi anak-anak mereka dan berempati tetapi tidak memberikan bimbingan atau menentukan batas-batas tingkah laku anak mereka. Akibatnya, anak tidak belajar mengatur emosi mereka, menghadapi kesulitan untuk berkonsentrasi, dan sulit menjalin persahabatan atau bergaul dengan orang lain.
d. Orang tua yang berperan sebagai pelatih emosi
Mereka menghargai emosi-emsi negatif anak sebagai sebuah kesempatan untuk semakin akrab, berempati dengan emosi yang dialami anak, namun mereka membimbing dan menentukan batas-batas tingkah laku anak-anak mereka. Akibatnya, anak belajar mempercayai perasaan perasaanya, mengatur emosi mereka sendiri, dan menyelesaikan masalahnya. Mereka juga mempunyai harga diri yang tinggi dan bergaul dengan orang lain secara baik[43]
Di bagian lain, pada buku yang sama Gottman dan De Claire juga menjelaskan lima prinsip dasar bagi orang tua dalam melatih kecerdasan emosional anak, yaitu:
a. Menyadari emosi anak
Langkah pertama melatih anak merasakan emosi yang ada dalam diri orang tua itu sendiri ketika anak mengalami masalah emosional. Menyadari emosi diri sendiri sebelum merasakan emosi anak bukan berarti merubah secara frontal karakter pribadi orang tua atau mengungkapkan secara membabi buta apa yang mereka rasakan kepada anak, melainkan mengenali kapan orang tua merasakan suatu emosi, mengidentifikasikan perasaan-perasaannya, dan peka terhadap hadirnya emosi pada orang lain.
b. Mengakui emosi anak dan memanfaatkannya sebagai peluang untuk membangun kedekatan dan mengajar kecerdasan emosional pada anak.
Adalah penting bagi orang tua memanfaatkan saat-saat kritis yang terjadi pada anak seperti nilai lapor yang buruk, pergaulan yang terganggu, atau pengalaman-pengalaman negatif lainnya, untuk berempati dan membangun kedekatan serta mengajari cara-cara mengatasi perasaan tersebut kepada anak. Kemampuan selain banyak menolong anak menangani perasaan-perasaannya juga merupakan wujud konkrit dari tanggung jawab orang tua terhadap anak.
c. Mendengarkan dan empati dan meneguhkan perasaan anak
Langkah ketiga ini merupakan langkah terpenting dalam melatih kecerdasan emosi anak. Mendengarkan dengan emosi berbeda dengan sekedar mengumpulkan data-data lewat telinga. Mendengarkan dengan empati berarti mengunakan mata untuk mengamati petunjuk fisik anak, menggunakan imajinasi untuk melihat situasi dari titik pandang anak, menggunakan kata-kata untuk merumuskan kembali, menenangkan dan tidak mengancam, memberi pertolongan kepada anak untuk menamai (naming or labiling), dan akhirnya menggunakan hati untuk merasakan apa yang dirasakan anak.
d. Menolong anak memberi nama emosi dengan kata-kata
Langkah ini mudah dan sekaligus sangat penting. Dalam melatih emosi anak, orang tua perlu menolong anak memberi nama emosi-emosi mereka sewaktu emosi-emosi tersebut timbul, misalnya; tegang, cemas, sakit hati, marah dan sebagainya. Dengan cara ini pula, anak-anak ditolong untuk mengubah suatu perasaan yang tidak jelas, menakutkan dan tidak nyaman menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan, mempunyai batas-batas, serta merupakan hal yang wajar dalam kehidupan sehari-hari.
e. Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalahnya.
Langkah-langkah ini meliputi lima tahap, yaitu:
1) Menetukan batas-batas
Anak-anak perlu memahami bahwa perasaan mereka bukanlah masalah, tapi yang menjadi masalah adalah perilaku-perilaku mereka yang keliru. Semua parasaan dan hasrat itu dapat diterima tidak semua tingkah laku mereka dapat diterima. Oleh karenanya, tugas orang tua adalah menentukan batas-batas terhadap tindakan-tindakan anak bukan terhadap hasrat-hasratnya.
2) Menentukan sasaran
Untuk mengidentifikasi suatu sasaran disekitar penyelesaian masalah yang dihadapi anak, orang tua perlu bertanya kepada anak mengenai apa yang diinginkannya berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Seringkali timbulnya perilaku-perilaku negatif pada anak disebabkan masalah yang sepele, namun mereka tidak dapat menjelaskannya. Oleh karenanya, dengan menuntun anak-anak menemukan sasaran disekitar masalah akan membantu mereka mengatasi masalah tersebut.
3) Memikirkan pemecahan masalah yang mungkin
Setelah menetapkan sasaran yang tepat, orang tua dapat bekerja sama dengan angka memikirkan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Hal ini merupakan keuntungan tersendiri bagi anak karena memungkinkanya menemukan pemecahan alternatif. Tetapi penting sekali bagi orang tua menahan diri agar tidak mengambil alih masalah anak dan tetap mendorong anak mengemukakan gagasan-gagasan mereka.
Anak-anak yang masih kecil orang tua dapat menyampaikan pemecahan masalah melalui permainan-permainan yang akrab dengan anak. Sedangkan anak yang lebih besar, orang tua dapat menggunakan proses sumbang saran. Mereka membiarkan anaknya menyampaikan ide-idenya tanpa dibatasi.
4) Mengevaluasi pemecahan masalah yang diusulkan berdasarkan nilai-nilai keluarga
Setelah orang tua terlibat bersama anak mengemukakan gagasan-gagasannya. Mereka juga harus mendorong anak merenungkan setiap pemecahan secara terpisah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini; apakah pemecahan itu berhasil?, apakah pemecahan itu aman?, apa akibat dari pemecahan itu?, dan berbagai pertnayaan lainya. Hal ini membantu anak menjajaki pemecahan masalah yang akan dipilihnya.
5) Membantu anak memilih pemecahan masalah
Ketika pemecahan masalah telah dipilih bersama, orang tua juga perlu mendorong anak-anaknya mencoba pemecahan masalah tersebut.
Demikian kelima prinsip dalam melatih kecerdasan emosional anak yang dikemukakan oleh oleh Gottman dan Claire. Dimana prinsip-prinsip tersebut juga dapat diterapkan guru dalam melatih EQ murid-muridnya di sekolah. Tetapi ada perbedaan-perbedaan yang fundamental antara kondisi yang dihadapi guru di sekolah. Orang tua hanya menghadapi anak-anaknya sendiri yang semenjak lahir telah mereka ketahui bagaimana pertumbuhan fisik dan perkembangan emosinya. Orang tua relatif mengetahui bagaimana pola-pola penyimpangan emosi yang terjadi pada anak-anak mereka. Sebaliknya para guru menghadapi anak-anak yang berbeda dalam berbagai hal dan mereka tidak memiliki pengalaman yang spesifik tentang perkembangan emosi masing-masing muridnya.
Selanjutnaya, materi yang diajarkan orang tua kepada anak-anaknya lebih berorientasi kepada nilai-nilai moralitas dan sosial, sedangkan para guru selain menanamkan moralitas kepada murid-muridnya, mereka juga berkewajiban mengajarkan pengetahuan kognitif dan ketrampilan psikomotorik. Dengan kata lain, kondisi yang dihadapi guru di kelas adalah lebih kompleks dibandingkan dengan kondisi orang tua di rumah.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa guru tidak mungkin menyediakan waktu khusus untuk melatih EQ murid-muridnya. Mereka dapat mengembangkan EQ murid-muridnya dalam aktivitas pembelajaran sehari-hari. Walaupun begitu tidak dapat dipungkiri bahwa emosi adalah faktor yang sangat menentukan keberhasilan belajar siswa.
G. METODE PENELITIAN.
Metode dalam skripsi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Penentuan Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian adalah keseluruhan dari sumber informasi yang dapat memberikan data sesuai dengan masalah yang di teliti.[44] Subyek yang masuk dalam penelitian ini adalah guru kelas pemegang kelas rendah, yaitu kelas I, kelas II, dan kelas III. Adapun obyek dalam penelitian ini adalah proses pelaksanaan ketrampilan melatih kecerdasan emosional siswa SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa subyek ini harus dipandang sebagai informan yang di pilih secara purposive atau sistem “Gethok Tular” atau disebut juga dengan sistem “Snow Ball Sampling”. Subyek ini dianggap penting peneliti sebagai sumber informan (Key Information), karena mereka dapat mengenal dengan baik dunia pengalaman mereka dan dapat mengungkapkan pengalaman tersebut kepada peneliti.
[MSOffice4] [MSOffice5] 44444.2. Penentuan Tehnik Pengumpulan Data.
Untuk mengumpulkan data penelitian, maka peneliti menggunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi
Dalam konteks penelitian ini, observasi dilakukan dilingkungan yang alamiah, yaitu ruang kelas, dimana ditempat inilah berlangsungnya interaksi yang intensif antara guru dan siswa. Melalui observasi, peneliti dapat menemukan data-data yang tidak terungkap dalam wawancara dan sekaligus dapat membandingkan data wawancara tersebut dengan data observasi.
Selain itu dari segi penyelenggaraannya, penelitian ini menerapkan observasi sistematik. Artinya observasi dilakukan berdasarkan pedoman yang telah dipersiapkan sebelumnya. Hal ini bermanfaat karena dapat mengarahkan peneliti pada fokus penelitian. Di samping dapat menangkap peristiwa-peristiwa yang diperlukan secara lengkap dan utuh.
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang perilaku emosi-emosi siswa dan proses pelatihan EQ siswa yang dilakukan guru terhadap siswanya.
b. Wawancara
Wawancara adalah dialog oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh data atau informasi dari terwawancara.[45]Adapun jenis wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin, artinya dengan pertanyaan bebas namun sesuai dengan data yang ingin diketahui, dengan menyiapkan daftar pertanyaan secara garis besarnya. Sehingga memberikan kebebasan kepada informan untuk mengemukakan pendapatnya, namun tetap dalam konteks permasalahan penelitian.
Dalam tehnik wawancara ini, peneliti mengajukan pertanyaan yang mendalam (probing) seputar praktek guru melatih EQ siswa kepada informan.
c. Dokumentasi
Adalah cara mencari data mengenai hal atau variabel yang berupa catatan-catatan atau benda-benda tertulis, seperti; buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya.[46]
Dalam pelaksanaanya, peneliti mempelajari dan mencatat dokumen yang relevan dengan penelitian. Metode ini digunakan untuk melengkapi informasi atas data yang telah diperoleh dari observasi maupun wawancara yang berhubungan dengan pelaksanaan melatih EQ siswa.
3. Penentuan Keabsahan Data.
Untuk menguji keabsahan data digunakan triangulasi, yaitu tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data tersebut.
Dalam penelitian ini digunakan tehnik pemeriksaan data yang memanfaatkan penggunaan sumber yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang telah diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Hal ini dapat dicapai dengan jalan sebagai berikut:
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan dengan apa yang dikatakannya secara pribadi
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan pada waktu itu
d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen[47]
4. Analisis Data
Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan interpretasikan.[48]Dalam menganalisa data yang penulis kumpulkan dari lapangan, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu menginterpretasikan data-data yang diperoleh dalam bentuk kalimat-kalimat.[49]
Kemudian secara sistematis diinterpretsaikan kedalam laporan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Data yang dapat diambil dari hasil observasi, wawancara, studi dokumenter dipelajari dan dipahami dengan seksama, kemudian diambil kesimpulan.
PANDUAN WAWANCARA
A. Wawancara Pada Informan
1. Data pribadi informan
2. Pengalaman mengajar selama menjadi guru kelas
3. Peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang berkaitan dengan emosionalitas siswa yang berkesan bagi guru.
4. Masalah-masalah emosional siswa yang dihadapi guru didepan kelas.
5. Gejala-gejala yang dirasakan guru terjadi pada siswa yang mempunyai masalah emosional.
6. Cara guru menangkap dan menilai masalah-masalah emosional yang dialami siswa.
7. Cara guru menghadapi masalah-masalah emosonal siswa.
8. Sumber emosional siswa yang dirasakan oleh guru.
9. Hambatan yang dihadapi guru dalam melatih kecerdasan emosional siswa.
10. Nilai-nilai EQ yang dilatihkan guru kepada siswa.
11. Cara guru melatih nilai-nilai EQ pada siswa.
12. Wawasan guru terhadap konsep EQ.
PANDUAN OBSERVASI
A. Umum
1. Letak geografis lokasi SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta
2. Situasi dan kondisi sekitar SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta
3. Pengaturan lingkungan SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta
B. Kegiatan belajar mengajar di SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta
1. Masalah-masalah emosional siswa yang muncul didalam kelas
2. Gejala-gejala yang ditunjukkan siswa yang memiliki masalah emosional, baik berupa gerak tubuh, sikap, dan perkataan.
3. Kata-kata atau istilah-istilah asli yang dikemukakan guru yang berhubungan dengan masalah- masalah emosional siswa dan kejadian-kejadiannya.
4. Reaksi guru dalam menghadapi siswa yang mempunyai masalah emosional.
5. Nilai-nilai EQ yang dilatihkan guru kepada siswa.
6. Cara-cara atau tindakan-tindakan guru dalam melatih EQ siswa.
[1] Abu Tauhid, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999), hlm. 72
[2] Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia dan Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hlm. 973
[3] Ibid, hlm. 838
[4] Daniel Goleman,Emotional Intellegence, terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 512
[5] Wasty Sumanto, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pimpinan Pendidikan, (Jakarta: Rinieka cipta. 1990), hlm. 166
[6] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) ,hlm.109
[7] WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1970), hlm.87
[8] Ibid, hlm. 1186
[9] Suharsono, Melejitkan IQ, IE dan IS, cet. I, (Jakarta: Inisiasi Press, 2002), hlm.13
[10] Deperetmen Agama RI, Al – Qur`an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Kathoda, 1993), hlm.13
[11] Al-Ghazali, Ikhtisar Ihya `Ulumuddin, terjemah: KH. Mochtar Rosyadi & Mochtar Yahya, (Yogyakarta: Al-Falah, 1968), hlm. 15
[12] Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1991), hlm.18
[13] Syamsu Yusyf LN, op.cit, hlm.113
[14] Dadang Sulaeman, Psikologi Remaja “Dimensi-Dimensi Perkembangan”, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm.51
[15] Syamsu Yusuf LN, op. cit, 2002, hlm. 115
[16] Lawrence E. Saphiro, Mengajarkan Emosional Intelligence Pada Anak, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 8
[17] Daniel Goleman, Emotional Intellegence, terj: T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlml.45
[18] Jalaluddin Rahmat, Meraih Cinta Ilahi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm.240
[19] Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm.210
[20] Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-Dasar Pelaksanaannya, (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm.17
[21] Bobby Deporter, Quantum Teaching, Mempraktekan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas, terjemah; Ary Nilandari, (Bandung: Kaifa, 2000), hlm. 17-39
[22] Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 116
[23] Aabdul Fatah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam, terjemah: Henry Noer Ali, (Bandung: Diponegoro, 1988), hlm. 178
[24] Muhyidin Abdul Hamid, Kegelisahan Rasulullah Mendengar Tangis Anak, (Yogyaarta: Mitra Pustaka, 1999), hlm. 187-196
[25] Muhammad Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, (Semarang: asy-Syifa, 1981), hlm. 155
[26] Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, Pengantar: Ary Ginanjar Agustian, (Bandung: Hikmah, 2002), hlm. 166
[27] Ibid
[28] Ibid, hlm. 170
[29] Ibid
[30] Muhammad Nashih Ulwan, Op.Cit, hlm.123
[31] Mahmud Junus, Tarjamah al-Quran al-Karim, (Bandung: al- Ma’arif, 1986), hlm. 505-506
[32] Ibid, hlm. 379
[33] Sri Harini dan Aba firdaus al-Hajwani, Mendidik Anak Sejak Dini, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm.
[34] Ibid
[35] Elizabeth B. Hurloock, op,cit, hlm.210-212
[36] Ibid, hal.216
[37] Ibid, hlm. 228
[38] Lawrence E. Saphiro, op.cit, hlm. 18 - 19
[39] Suharsono, op.cit, hal.64
[40] Maurice J. Elias dkk, Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, (Bandung: Kaifa, 2001), hlm.43
[41] Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm.7
[42] Bobbi Deporter, op.cit, hlm.97-98
[43] Joan Goottman & Jean De Claire, Kiat-Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.4-5
[44]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka cipta, 1992), hlm 115
[45] Suharsimi Arikunto, op.cit, hlm. 144
[46] Ibid, hlm. 131
[47] Moleong, op.cit, hlm. 178
[48] Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi (ed), Metodologi Penelitian Survei, (Jakarta:LP3S, 1995), hlm. 26
[49] Winarno Surahmad, Penganatr Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1985), hlm. 162