BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konflik adalah gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat dalam kehidupan setiap masyarakat, dan karena itu tidak mungkin dilenyapkan (Nasikun, 2003). Sebagai gejala kemasyarakatan yang melekat di dalam kehid upan setiap masyarakat, ia hanya akan lenyap bersama lenyapnya masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, konflik yang terjadi hanya dapat dikendalikan agar tidak terwujud dalam bentuk kekerasan atau violence (Nasikun, 2003).
Konflik sosial biasanya terjadi karena adanya satu pihak atau kelompok yang merasa kepentingan atau haknya dirampas dan diambil oleh pihak atau kelompok lain dengan cara- cara yang tidak adil. Yang oleh Karl Marx di kenal dengan surplus value (Susetiawan, 2000 dan Johnson, 1986). Dan konflik ini dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal (Nasikun, 2003).
Konflik horizontal terjadi antara kelompok- kelompok yang ada dalam masyarakat, yang dibedakan oleh agama, suku, bangsa, dan lain- lain. Sedangkan konflik vertikal biasanya terjadi antara suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau lapisan bawah dengan lapisan atas atau penguasa (Scott, 2000 dan Sangaji, 2000).
Kasus- kasus penggusuran tempat tinggal dan tempat usaha kaum miskin yang makin marak terjadi belakangan ini di berbagai kota di Indonesia merupakan fenomena sosial yang menimbulkan konflik vertikal. Seperti penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pemukiman masyarakat miskin yang terjadi di wilayah Jakarta (Kompas, 11 Oktober, 13, 20- 22 Desember 2003), dan juga kasus pe nggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) serta masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Yogyakarta (Kompas, 14 Mei 2004). Dalam penggusuran tersebut melekat makna pemaksaan dan kekerasan oleh kolaborasi penguasa yang secara politik maupun ekonomi kuat. Hampir tidak ada dialog dan penyelesaian masalah secara damai, win- win solution dalam penggusuran. Yang ada hanyalah raungan mesin kekuasaan dan jerit tangis si tergusur.
Konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat juga terjadi di kota Pekanbaru. Konflik ini terjadi antara pedagang tradisional pasar Kodim atau Senapelan di kota Pekanbaru, propinsi Riau dengan Pemerintah kota Pekanbaru dan pengusaha. Hal ini disebabkan oleh rencana peremajaan pasar Senapelan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru disertai dengan aksi pembongkaran paksa ratusan kios lama di pasar tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru dalam rangka peremajaan pasar Senapelan tersebut telah melahirkan sikap penentangan pedagang pasar Senapelan. Kebijakan yang telah direncanakan sejak empat tahun itu, sekitar tahun 2001 yang lalu, berimplikasi pada terjadinya konflik vertikal (Media Indonesia, 17 Mei 2004).
Tuntutan sekitar 2000 pedagang pasar Senapelan sebenarnya cukup masuk akal, mereka meminta agar harga kios baru pascaperemajaan sesuai dengan kecukupan ekonomi yang dimiliki para pedagang. Pedagang tidak menolak pasar yang berada di Jalan Ahmad Yani Pekanbaru tersebut diremajakan karena dapat memoles wajah kusam kota Pekanbaru yang sedang berbenah diri (Media Indonesia, 09 Juni 2004).
Persoalannya, Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru dengan pihak investor P.T. Peputra Maha Jaya (PMJ) telah menyepakati harga kios baru pascaperemajaan tanpa persetujuan para pedagang pasar Senapelan. Harga kios seluas 3x3 di blok A atau lantai dasar, mencapai harga Rp. 20 juta per meter2. Sementara blok B dengan luas kios sama, harga ditetapkan Rp. 14, 3 juta per meter2. Blok ini berada di lantai dua dan tiga, sementara blok C berada di lantai empat dan lima dipatok dengan harga yang sama dengan blok B (Media Indonesia, 09 Juni 2004). Lain halnya dengan Pemkot, pedagang pasar Senapelan hanya sanggup membayar kios dengan harga tujuh (7) juta rupiah sampai dengan delapan (8) juta rupiah untuk blok B, dan tiga setengah (3,5) juta rupiah sampai dengan lima (5) juta rupiah untuk blok C.
Selain permasalahan harga kios yang tinggi, konflik ini juga dipicu oleh kebijakan Pemkot yang tidak transparan dalam penempatan pedagang Senapelan di lokasi yang baru. Kebijakan tersebut dibuat oleh Pemkot begitu saja tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan pedagang. Pedagang eks pasar Senapelan akan ditempatkan di blok B dan C, sedangkan blok A ditempati oleh pengusaha dari Jakarta dan Singapura. Lokasi blok B dan C berada di belakang blok A, sangat tidak strategis bagi pedagang untuk melakukan transaksi jual beli, dan akan semakin merugikan pedagang lagi jika sistem satu pintu benar- benar akan diterapkan dalam pembangunan pasar tersebut.
Harga kios tersebut mulai dipersoalkan oleh para pedagang pasar tradisional Senapelan. Melalui rapat yang mereka lakukan, sekitar 2000 pedagang yang terhimpun dalam Forum Komunikasi Pedagang Pasar Senapelan (FKPPS) menyepakati harga kios baru pascaperemajaan adalah Rp. 8 juta per meter 2 dan dilunasi dengan cara mencicil kepada investor (Media Indonesia, 09 Juni 2004). Kesepakatan harga yang dibuat oleh pedagang ini kemudian menjadikan Pemerintah Kota Pekanbaru dan investor menunda sementara peremajaan pasar Senapelan sampai terjadi kesepakatan harga kios antara pedagang dan Pemkot.
Tanggal 25 Januari 2003, terjadi kesepakatan antara Pemerintah Kota Pekanbaru yang ditandatangani oleh Wali Kota Pekanbaru, ketua DPRD Pekanbaru, Direktur P.T. Peputra Maha Jaya, dan perwakilan salah seorang pedagang pasar Senapelan. Kesepakatan tersebut menyatakan bahwa segala bentuk aktivitas pembangunan pasar Senapelan akan dihentikan hingga kesepakatan harga kios tercapai, dan bagi pihakpihak yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat tersebut akan dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia.
Kesepakatan yang telah dibuat tersebut awalnya dapat dijalankan dengan baik, tetapi memasuki tahun 2004, kesepakatan tersebut mulai goyah dan berakhir dengan aksi penggusuran pedagang pasar Senapelan dari kios mereka yang lama, tanggal 15 dan 18 April 2004. Aksi penggusuran tersebut diwarnai dengan bentrokan antara aparat Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja dengan pedagang pasar Senapelan yang didukung oleh sejumlah aktivis mahasiswa dan LSM. Bentrok tersebut berakhir dengan kekalahan di pihak pedagang dan penangkapan sejumlah pedagang dan aktivis yang turut serta memperjuangkan nasib pedagang.
Tindakan pembongkaran kios yang pertama, aparat berhasil mengamankan sejumah pedagang karena dianggap menghalangi upaya pembongkaran kios. Tindakan pembongkaran ini sempat terhenti karena ratusan pedagang yang kebanyakan adalah ibu- ibu menghalangi masuknya buldozer. Tindakan pembongkaran itu kemudian dilanjutkan pada tanggal 18 April 2004, kali ini Pemkot berhasil meratakan seluruh bangunan kios. Dalam tindakan pembongkaran ini, aparat kembali menahan sejumlah orang, terdiri dari aktivis dan pedagang, karena dituduh memprovokasi massa (Bintan post, 19 April 2004 dan Media Indonesia, 17 Mei 2004).
Pada akhirnya, para pedagangpun terpaksa harus pindah ke TPS (Tempat Penampungan Sementara) yang telah disediakan sebelumnya oleh Pemkot, dengan ukuran 3x2 m2 di jalan Teratai Pekanbaru. Tempat Penampungan Sementara tersebut disediakan sebanyak empat blok dengan berbagai fasilitas umum yang disediakan gratis bagi pedagang. Akan tetapi kenyataannya, sejumlah TPS ternyata harus diperoleh pedagang dengan cara membeli atau menyewa kembali kepada pedagang lain, sehingga menimbulkan rasa kekecewaan yang mendalam dari pedagang terhada p kebijakan Pemkot. Kenyataan ini diperparah lagi dengan kondisi TPS yang dijanjikan tidak sesuai dengan harapan yang dijanjikan Pemkot kepada pedagang Senapelan, kios yang tidak layak pakai dan tidak mencukupi untuk menampung seluruh pedagang korban penggusuran.
Dengan terjadinya tindakan pembongkaran kios itu, bukan berarti aksi penentangan yang dilakukan oleh pedagang pasar Senapelan juga berakhir, malahan semakin gencar. Mulai tanggal 19 April 2004 sampai dengan akhir Juni 2004, para pedagang dengan dibantu oleh beberapa elemen masyarakat melakukan aksi protes terhadap Pemerintah Kota Pekanbaru. Aksi tersebut dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari aksi turun ke jalan, mendirikan tenda darurat, penahanan, sampai pada aksi membakar salah satu poster capres tertentu sebagai bentuk kekecawaan terhadap kader dari parpol capres tersebut, yang menjadi ketua DPRD Pekanbaru (Tempo, 10 Juni 2004).
Ratusan pedagang pasar Senapelan melakukan aksi memprotes kebijakan Pemkot yang tetap melanjutkan pembangunan pasar Senapelan tersebut. Mereka yang terdiri dari pedagang pasar, mahasiswa, dan LSM berkeinginan untuk bertemu dengan Wali Kota Pekanbaru dan menuntut agar menghentikan sementara pembangunan pasar tersebut sampai adanya kesepakatan harga antara pedagang dengan investor penyelenggara pembangunan tersebut. Akan tetapi, aksi ini harus berakhir dengan kekecewaan dan di lampiaskan dengan mendirikan tenda darurat di depan kantor Wali Kota Pekanbaru (Bintan Post, 19 April 2004).
Aksi memprotes kebijakan Pemkot yang dilakukan oleh pedagang Senapelan tidak hanya dilakukan di kantor Walikota Pekanbaru, aksi ini juga dilakukan di gedung DPRD Pekanbaru (Media Indonesia, 09 Juni 2004). Aksi protes ke gedung DPRD Pekanbaru bertujuan untuk menuntut DPRD agar bersedia menjadi mediator mempertemukan pedagang dengan investor dan Wali Kota Pekanbaru. Tetapi tindakan ini kembali gagal mendapatkan hasil, karena DPRD hanya berjanji untuk merealisasikan saja, akan tetapi janji tersebut tidak pernah terwujud. Tidak adanya pertemuan yang terjadi antara pedagang Senapelan, investor, dan Wali Kota, menjadikan pedagang semakin frustasi dan kecewa, bahkan para pedagang sempat menyandera ketua DPRD Pekanbaru selama beberapa jam, untuk kemudian dilepaskan kembali (Media Indonesia, 09 Juni 2004).
Bentuk solidaritas antar sesama kaum tertindas dilakukan oleh pedagang. Para pedagang pasar Senapelan menuntut beberapa orang teman mereka yang ditahan dalam aksi protes yang terjadi beberapa waktu lalu supaya dibebaskan. Pedagang meminta pihak kepolisian untuk membebaskan mereka dari tahanan karena mereka harus mancari nafkah (Kompas, 07 Juni 2004). Selain itu mereka juga meminta polisi agar mengusut tuntas dan menghukum oknum Satuan Polisi Pamong Praja yang melakukan tindak kekerasan di saat aksi protes pedagang berlangsung (Kompas, 07 Juni 2004).
1.2. Rumusan Masalah
Aksi penentangan demi penentangan terus dilakukan oleh pedagang terhadap kebijakan Pemkot, walaupun para pedagang sadar, bahwa tuntutan mereka akan sulit untuk terpenuhi, bahkan di saat pondasi pembangunan pasar Senapelan tersebut mulai dilakukan awal bulan Juli 2004 lalu. Kebijakan seperti ini, bukan hanya sekali terjadi di Pekanbaru, beberapa waktu lalu, Pemkot juga mangeluarkan kebijakan peremajaan pasar Pusat atau Suka Ramai yang berdekatan dengan pasar Senapelan. Kebijakan ini juga menuai protes dari pedagang pasar Suka Ramai dikarenakan harga kios yang terlalu mahal bagi pedagang. Selain itu, Pemkot juga menggandeng investor yang sama dengan investor yang membangun pasar Senapelan, yaitu P.T. PMJ, dengan konsep bangunan yang sama. Dan konflik ini juga tidak dapat terselesaikan dengan baik.
Kebijakan pemerintah yang kembali merealisasikan program peremajaan pasar tradisional (dengan menggandeng investor yang sama), dan kebijakan yang kembali mendapat tantangan dari para pedagang pasar tradisonal (pedagang pasar Senapelan), walaupun upaya penentangan itu tidak berhasil seperti halnya upaya penyelesaian konflik yang juga tidak berhasil, merupakan permasalahan- permasalahan yang menarik untuk diangkat sebagai fokus penelitian. Penelitian ini berusaha mengungkapkan:
1. Bagaimana bentuk- bentuk dominasi kekuasaan yang terjadi?
2. Bagaimana bentuk- bentuk perlawanan pedagang?
3. Bagaiamana resolusi konflik yang diupayakan dalam konflik itu?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk dapat menggambarkan tentang:
1. Bentuk- bentuk dominasi yang dilakukan oleh kekuasaan terhadap kaum tertindas.
2. Bentuk- bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para pedagang terhadap dominasi kekuasaan.
3. Resolusi yang diupayakan atau berlaku dalam konflik tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui bentuk- bentuk dominasi kekuasaan
2. Mengetahui bentuk- bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para pedagang
3. Mengetahui resolusi yang diupayakan atau berlaku dalam konflik tersebut.
1.5. Kerangka Teori
Konflik merupakan peristiwa yang seringkali terjadi dalam kehidupan kemasyarakatan. Berkaitan dengan konflik, Neil J. Smelser (Muchtar, Usman, dan Trijono, 2001) menyatakan bahwa: “ Teori konflik modern membuat asumsi sebagai berikut: a) yang utama pada masyarakat yang akan datang adalah perubahan, konflik, dan kekerasan; b) struktur masyarakat didasarkan pada dominasi oleh beberapa kelompok terhadap kelompok lain; c) masing- masing kelompok dalam masyarakat memiliki kecenderungan perhatian umum, apakah para anggotanya memahami atau tidak; d) ketika orang- orang memahami kecenderungan umumnya, mereka mungkin membentuk kelas sosial, dan e) intensitas konflik kelas bergantung pada adanya kepastian politik dan kondisi sosial.”
Sementara, Dahrendorf dalam Johnson (1986) menjelaskan bahwa:
1. Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan; perubahan sosial
ada di mana - mana,
2. Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik; konflik sosial ada di mana- mana,
3. Setiap elemen dalam masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan,
4. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.
Dengan mendasarkan pada pemikiran Dahrendorf, Ian Craib (1980) mengurai pemikiran konflik dalam memandang fenomena sosial sebagai berikut:
1. Kepentingan adalah unsur dari kehidupan sosial,
2. Kehidupan sosial perlu terbagi,
3. Kehidupan sosial melahirkan oposisi,
4. Kehidupan sosial melahirkan konflik struktural,
5. Kehidupan sosial melahirkan kepentingan bagian- bagian,
6. Diferensiasi sosial melibatkan kekuasaan,
7. Sistem sosial tidak terintegrasi dan ditimpa oleh kontradiksi- kontradiksi, dan
8. Sistem- sistem sosial cenderung untuk berubah.
Dilihat dari asal usul terjadinya konflik, Soekanto (1986) menyatakan bahwa konflik mencakup suatu proses di mana bermula dari pertentangan hak atau kekayaan, kekuasaan, kedudukan, dan seterusnya di mana salah satu pihak berusaha menghancurkan pihak yang lain. Sementara K. Sanderson (1995) lebih menekankan pada bentuk- bentuk konflik: “konflik adalah pertentangan kepentingan antara individu dan kalangan berbagai individu dan kelompok sosial, baik yang mungkin terlihat secara gamblang ataupun tidak, baik yang mungkin pecah menjadi pertentangan terbuka atau kekerasan fisik ataupun tidak”.
Senada dengan penjelasan di atas, Dahrendorf (1986) berkesimpulan bahwa: 1) hubungan wewenang adalah suatu bentuk hubungan antara supra- dan subordinasi, hubungan: atas- bawah, 2) di mana terdapat hubungan wewenang, di situ unsur atas (superordinat) secara sosial diperkirakan- dengan perintah dan komando, peringatan dan larangan- larangan- mengendalikan perilaku unsur bawah (subordinat), 3) perkiraan demikian secara relatif lebih dilekatkan kepada posisi sosial daripada kepribadian individual, 4) berdasarkan pada kenyataan ini, hubungan wewenang selalu meliputi spesifikasi orang- orang yang harus tunduk kepada pengendalian dan spesifikasi dalam bidang mana saja pengendalian itu diperbolehkan, 5) wewenang adalah sebuah hubungan yang sah; tidak tunduk kepada perintah orang yang berwenang dapat dikenai sangsi tertentu.
Baik Smelser (Muchtar, Usman dan Trijono, 2001) maupun Dahrendorf (Johnson, 1986) menyatakan bahwa konflik sosial terjadi antara dua kelompok yang berbeda kepentingan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik yang ada. Satu kelompok berusaha untuk mengendalikan kelompok yang lainnya. Ketika satu kelompok berusaha mengendalikan kelompok lain dengan berbagai cara, selalu melibatkan kekuasaan dan wewenang, maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Kelompok yang menguasai disebut sebagai superdinat dan kelompok yang dikuasai sebagai subordinat.
1.5.1. Teori Dominasi Kekuasaan
Mosca dalam karyanya The Rulling Class yang dikutip oleh Sastroatmodjo dalam Perilaku Politik (1995) menyatakan: “Dalam setiap masyarakat, …terdapat dua kelas penduduk. Satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang dikuasai. Kelas pertama yang jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua, yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama”.
Pandangan ini menekankan, bahwa dalam masyarakat terdapat dua kelas yang menonjol, yaitu kelas yang memerintah dan yang diperintah. Kelas pertama yang menguasai fungsi politik, yakni monopoli kekuasaan sekaligus menguasai hasilhasilnya. Kelas kedua sebaliknya, mereka yang jumlahnya besar tetapi tidak mempunyai kekuasaan atau fungsi politik, mereka diarahkan dan dikendalikan oleh kelas pertama dengan cara- cara tertentu (Sastroatmodjo, 1995).
Mengenai konflik sosial, para ahli ilmu sosial memiliki pandangan dan penekanan yang berbeda. Setiap konflik yang terjadi antara kelas atau kelompok yang ada di masyarakat memiliki sebab dan akibat yang beragam. Ada yang dikarenakan oleh status, kekuasaan, kekayaan, usia, peran menurut ge nder, dan keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Hal ini dapat berakibat pada hancurnya suatu tatanan atau struktur sosial, terjadinya kekerasan, penindasan, dan bahkan peperangan.
Marx mendefinisikan kelas sebagai kelompok individu atau kelompok ke satuan sosial yang pada dasarnya bukan ditentukan semata - mata oleh tempatnya dalam proses produksi. Tetapi dari kedudukan ekonomi dapat juga ditentukan kelas sosialnya. Marx menyatakan bahwa penyebab penguasaan kelas tertentu terhadap kelas lainnya dikarenakan oleh hubungan produksi yang tidak seimbang (surplus value) dalam suatu hubungan produksi yang kapitalistik. Ekonomi politik merupakan penekanan khusus yang dibicarakan Marx dalam pertentangan ini. Marx menganggap perbincangan mengenai modal dan kerja, dan antara modal dan tanah perlu dijelaskan secara rinci, yang belum pernah disinggung dalam setiap perbincangan mengenai ekonomi dan politik (Giddens dan Held, ed., 1987).
Marx menjelaskan, bahwa semakin miskin keadaan pekerja atau tenaga kerja, semakin banyak kekayaan yang diproduksikannya. Semakin banyak kekayaan yang diproduksikan, semakin besar pula kekuasaan yang terbentuk dan semakin luas pula pengaruh kekuasaan tersebut. Pekerja menjadi komoditi murah. Semakin murah harga komoditi itu semakin banyak barang yang dihasilkannya. Devaluasi dunia manusia semakin membesar, hal mana berhubungan langsung dengan peningkatan nilai benda. Kerja tidak hanya menciptakan benda- benda, tetapi juga menciptakan kerja itu sendiri dan pekerja sebagai komoditi dalam proposisi yang sama dengan produksi barangbarang (Giddens dan Held, ed., 1987).
Lain halnya dengan Marx, para pengikut Marx (dikenal dengan kaum Marxis), menyatakan bahwa faktor ekonomi jelas mempunyai peranan yang menentukan terhadap cara produksi atau terhadap susunan sosial. Tetapi faktor yang bersifat politis dan idiologis (super struktur) juga mempunyai peranan yang penting. Kelas social ditentukan oleh tempatnya dalam kesatuan praktek- praktek sosial dalam arti menurut tempatnya dalam kesatuan pembagian kerja yang mencakup hubungan- hubungan politik dan idiologi. Tempat ini berhubungan dengan determinasi kultural dari kelas, yakni cara yang ditentukan oleh struktur (hubungan produksi, dominasi, politikidiologi) yang berpengaruh terhadap praktek- praktek kelas (Giddens dan Held, ed., 1987).
Dalam The Communist Manifesto , Marx (Johnson, 1981) menyatakan: “Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang bebas dan budak, bangsawan dan rakyat biasa, tuan dan hamba, pemimpin perusahaan dan orang luntang- lantang, dalam satu kata, penindas dan yang ditindas, selalu bertentangan satu sama lain, yang berlangsung tak putus - putusnya dalam suatu pertarungan yang kadang- kadang tersembunyi, kadang- kadang terbuka, suatu pertarungan yang setiap kali berakhir, baik dalam suatu rekonstitusi masyarakat pada umumnya secara revolusioner, maupun dalam keruntuhan umumnya dari kelas- kelas yang bercekcok tersebut”.
Pemilikan atau kontrol terhadap alat produksi merupakan dasar utama bagi kelas- kelas sosial dalam semua tipe masyarakat, dari masyarakat yang dibedakan menurut kelas yang paling awal sampai ke kapitalisme modern. Walaupun demikian, karakteristik dari kelas yang berbeda- beda dan sifat hubungan sosial diantara kelaskelas tersebut akan berbeda dalam masyarakat yang berbeda dan tahap yang berbeda pula.
Kelas penguasa adalah kelas yang mengeksploitasi dalam sistem hubungan produksi yang diajukan (terutama jika ada hubungan- hubungan produksi lain dalam masyarakat itu) melalui totalitas kadar dan bentuk intervensi negara dalam jangka waktu tertentu. Kelas penguasa tidak harus merupakan kelas dominan secara ekonomi dalam arti kelas yang mengeksploitasi menurut cara produksi yang dominan, di mana terdapat berbagai cara produksi, seperti: pertanian, subsistensi, feodalisme, kapitalisme, dan lain sebagainya (Giddens dan Held, ed., 1987).
Mengenai kelas atau kelompok yang berkuasa dan dikuasai. Mosca (1939) menjelaskan, seperti yang dikutip dalam Soekanto (1984). Kelas pertama (berkuasa) biasanya terdiri dari orang- orang yang sedikit jumlahnya, menerapkan semua fungsifungsi politik, memonopoli kekuasaan dengan menikmati segala keuntungan dari kedudukan sebagai pemegang kekuasaan. Kelas yang kedua (dikuasai), terdiri dari lebih banyak orang, diarahkan dan dikendalikan oleh kelas pertama, dengan cara- cara kurang lebih legal, sewenang- wenang atau dengan kekerasan. Kelas kedua tersebut menyediakan sarana untuk dapat hidup dan bertahan, serta hal- hal lainnya yang sangat penting bagi organisme politik.
Sementara Weber (Johnson, 1986), mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai dasar yang fundamental untuk kelas, selain prestise dan kekuasan politik. Kelas sosial terdiri dari semua mereka yang memiliki kesempatan hidup yang sama dalam bidang ekonomi. Weber menyatakan bahwa, jika ingin berbicara tentang suatu kelas, tidak mungkin terlepas dari pembicaraan tentang: 1) sejumlah orang yang sama – sama memilliki suatu komponen tertentu yang merupakan sumber dalam kesempatan hidup mereka, 2) komponen ini secara eksklusif tercermin dalam kepentingan ekonomi berupa pemilikan benda - benda dan kesempatan- kesempatan untuk memperoleh pendapatan, 3) hal itu terlihat dalam kondisi- kondisi komoditi atau pasar tenaga kerja.
Tidak seperti ke las ekonomi, kelompok (kelas) status berlandaskan pada ikatan subyektif antara para anggotanya, yang terikat menjadi satu karena gaya hidup yang sama, nilai serta kebiasaan yang sama, dan sering pula oleh perkawinan di dalam kelompok itu sendiri, serta ole h perasaan- perasaan akan jarak sosial dari kelompokkelompok status lainnya. Mereka saling mengenal dan menyebut masing- masing sebagai “orang kita” dan berjuang mempertahankan perasaan superioritas terhadap mereka yang tidak termasuk dalam lingkaran (Johnson, 1986).
Selain posisi ekonomis dan kehormatan kelompok status, dasar yang lain untuk stratifikasi sosial adalah kekuasaan politik. Bagi Weber kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak seseorang meskipun mendapat tantangan dari orang lain. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuan- tujuan seseorang, khususnya dalam mempengaruhi perilaku. Kekuasaan tersebut digunakan terus- menerus untuk menanamkan suatu kepercayaan akan haknya untuk berbuat demikian, berusaha untuk menegakkan legitimasi kekuasaan sebagai batu loncatan bagi peningkatan posisi ekonomi atau status (Johnson, 1986).
Menurut kaum Marxis, kelas penguasa ketika berkuasa tidak mutlak membuat semua keputusan bagi masyarakat sebagai suatu unit yang kompak. Kekuasaan kelas penguasa dilaksanakan melalui seperangkat mekanisme yang secara obyektif saling berkaitan tetapi tidak harus menyatu secara pribadi. Melalui cara ini, teknik eksploitasi yang ada direproduksi. Kelas penguasa bukanlah suatu subyek kekuasaan yang bersatu. Kekuasaan diwujudkan dalam suatu proses sosial yang obyektif, yang memelihara dan memperluas cara produksi tertentu serta dijamin oleh pemerintah atau negara (Giddens dan Held, ed., 1987).
Negara, menurut Offe dan Range, tidak memajukan kepentingan tertentu dan tidak beraliansi dengan kelas tertentu. Sebaliknya, yang dilindungi dan dimajukan oleh negara adalah seperangkat peraturan dan hubungan sosial yang dianggap tercakup dalam kekuasaan kelas kapitalis. Negara tidak membela kepentingan satu kelas tertentu, tetapi kepentingan bersama semua anggota masyarakat kelas kapitalis, yang disebut sebagai alat kekuasaan (Suhelmi, 2001; Johnson, 1986; Giddens dan Held, ed., 1987).
Marx membagi fungi negara atas tiga bagian (Patria dan Arief, 2003). Pertama, negara adalah alat untuk menjamin kedudukan kelas atas, yang fungsinya secara politik meredam usaha- usaha kelas bawah untuk membebaskan diri dari penghisapan kelas atas. Sedangkan pandangan moral, filsafat, hukum, agama, estetika, berfungsi untuk memberikan legitimasi pada hubungan kekuasaan itu (Magnis - Suseno, 1992). Kedua, negara merupakan ekspresi politik dari suatu struktur kelas yang melekat dalam produksi. Artinya, sebagai masyarakat yang terdiri dari kelas, negara adalah ekspresi politik dari kelas dominan itu, yang dikenal dengan istilah borjuis. Ketiga, negara dalam masyarakat borjuis merupakan senjata represif dari kaum borjuis, negara adalah aparatus kekerasan dari kelas dominan untuk menjaga pertentangan kelas. Lain halnya Gramsci (Patria dan Arief, 2003), ia menyatakan bahwa kelas social akan memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara, yaitu: melalui cara dominasi1 (dominio ) atau paksaan (coercion) dan melalui kepemimpinan intelektual dan moral, yang disebut dengan hegemoni2.
Hegemoni merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perseorangan, pengaruh dari jiwa ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip- prinsip politik, dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual dan hal- hal yang menunjukkan pada moral. Upaya untuk menggiring individu agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang telah ditentukan, sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus dengan mekanisme institusi yang ada di masyarakat. Perlu untuk diingat, bahwa Gramsci (Patria dan Arief, 2003) beranggapan hegemoni bukan hanya kepemimpinan intelektual dan moral saja tanpa diikuti praktek dominasi atau paksaan. Akan tetapi dapat terjadi sebagai kepemimpinan intelektual dan moral sekaligus diiringi dengan praktek dominasi atau paksaan.
1. Dominasi diartikan sebagai penguasaan, penempatan posisi bagus dan kuat; pengaruh besar (Pius A. Partant o dan M. Dahlan Al- barry, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya).
2. Berasal dari bahasa Yunani kuno disebut eugemonia, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi negara- negara kota secara individual, minsalnya yang dilakukan oleh negara kota Athena terhadap negara kota lainnya (Franz Magnis- Suseno, 2003, dalam bayangan Lenin, Enam Pemikir Marxisme dari Lenin Sampai Tan Malaka, Gramedia, Jakarta).
Dalam upaya memisahkan negara (political society) dan masyarakat sipil (civil society), Gramsci (Patria dan arief, 2003) memulai dengan tiga batas konseptualisasi dalam membicarakan hegemoni. Kesemuanya itu menunjuk pada identifikasi hubungan antar formasi sosial yang membentuk garis dasar konseptualisasi hegemoni. Ketiga batasan tersebut adalah: ekonomi, negara (political society), dan masyarakat sipil (civil society).
Ekonomi sebagai konseptualisasi yang pertama, merupakan sebuah batasan yang digunakan untuk mengartikan mode of production yang paling dominan dalam sebuah masyarakat. Cara produksi tersebut terdiri dari teknik produksi dan hubungan social produksi yang ditumbuhkan atas munculnya perbedaan kelas- kelas sosial dalam arti kepemilikan produksi. Kedua, batasan negara, merupakan batas yang berarti tempat munculnya praktek- praktek kekerasan (polisi dan aparat lainnya) dan tempat terjadinya pendirian birokrasi negara 3.
Batasan ketiga, yaitu masyarakat sipil, batasan yang merujuk pada organisasi lain di luar negara dalam sebuah formasi sosial di luar bagian sistem produksi material dan ekonomi, yang didukung dan dilaksanakan oleh orang atau komponen di luar batasan di atas. Bagi Gramsci (Patria dan Arief, 2003) ketiganya harus memiliki demarkasi yang jelas. Meskipun demikian, ditingkat analisis dan empiris sering terjadi beberapa bagian organisasi dan institusi mungkin berada dalam sebuah batas, dua batas, bahkan tiga batas.
3. Gramsci mengidentifikasikan birokrasi sebagai pelayanan sipil, kesejahteraan, dan institusi pendidikan (Patria dan arief, Antonio Gramsci, 2003, Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta).
Dalam pemahaman sempit, negara identik dengan pemerintahan, aparat kediktatoran kelas dengan pemaksaan dan fungsi- fungsi ekonomi. Kelas dominasi melaksanakan aparat negara, dalam pemahaman klasik, seperti pasukan, polisi, adminstrasi, dan birokrasi. Tetapi pemaksaan fungsi ini tidak dapat dipisahkan dari peraturan adaptasi dan edukasi negara, salah satunya berupaya untuk mencapai kelayakan yang memadai antara aparat produksi dan moralitas umum dari massa rakyat (Patria dan Arief, 2003).
Berkaitan dengan kekuasaan, Lord Acton (I. Marsana Windhu, 1992) melihat kekuasaan cenderung busuk dan menjadi kekuasaan mutlak. Sedangkan Galtung (Windhu, 1992) menyatakan bahwa kekuasaan dibangun dalam relasi yang tidak seimbang, di mana perbedaan antara otoritas atau wewenang dengan kekuasaan penting: kekuasaan cenderung menaruh kepercayaan pada kekuatan, sedangkan otoritas adalah kekuasaan yang dilegitimasikan, dan sering diartikan sebagai dominasi.
Mengenai kekuasaan, Tawney (Soekanto, 1984), berpendapat bahwa: “power may defined as the capacity of an individual, or group of individuals, to modify the conduct of other individuals or groups in the manner in which he desires, and to prevent his conduct being modified in the manner in which he does not”. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan individu atau kelompok individu untuk membatasi keinginan kelompok lain, dan mencegah keinginannya dikuasai oleh kelompok lain tersebut.
Kekuasaan selalu ambigu, mempesona sekaligus menakutkan (Windhu, 1992). Mempesona kerena berhadapan dengan seorang penguasa (raja, presiden, perdana menteri) yang berkharisma besar, berpenampilan memikat, dan dengan kharismanya itu, ia dapat mengatur dan mengendalikan chaos. Di lain pihak, menakutkan karena kekuasaan cenderung busuk, disalahgunakan untuk menindas rakyat, merampas kebebasan dan kehidupan mereka. Kekuasaan ini sudah mutlak menjadi tujuan pada dirinya sendiri, tidak lagi menjadi sarana untuk mencapai tujuan- tujuan bersama.
Dalam kehidupan sehari- hari, bentuk- bentuk kekuasaan tampak dalam pengaruh, kharisma, kepemimpinan atau wewenang, kekuasan merupakan bagian setiap orang, entah sebagai orang tua, guru, buruh, warga negara, tetangga, rakyat, ataupun Presiden. Kekuasaan selalu ada di mana - mana, kekuasaan hadir disaat manusia melakukan interaksi sosial dengan sesama (Windhu, 1992).
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, Poerwadarminta (1986), mengartikan kuasa sebagai kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu; kewenangan atas sesuatu atau untuk menentukan sesuatu; kemudian kekuasaan berarti kuasa untuk mengurus atau memerintah; kemampuan; kesanggupan dan kekuatan.
Dalam bahasa Inggris, istilah power bersinonim dengan force, energy, strength , yang artinya secara umum adalah kemampuan untuk mengerahkan segala usaha guna mencapai tujuan. Power merupakan istilah yang paling umum dan sering diterjemahkan sebagai kekuasaan atau kekuatan. Dan dalam konteks pembicaraan ini, power diterjemahkan sebagai kekuasaan karena keterkaitannya dengan dunia sosial dan politis.
Menurut David (1981), seperti yang dikutip oleh Windhu (1992), kekuasaan adalah kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang lain, memaksa, dan mengendalikan mereka sampai mereka patuh, mencampuri kebebasan dan memaksakan tindakan dengan cara- cara khusus. Sementara Dahrendorf (Wallace dan Wolf, 1986), mendefinisikan kekuasaan sebagai: “the probability that one actor with in a social relationship will be in a position to carry out his own will despite resistance, regard less of the basis on which this probability rests”. Kekuasaan yang didapat oleh seseorang atau kelompok yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan bersama, tetapi kenyataannya kekuasaan tersebut malah digunakan untuk memuaskan tujuan sendiri.
Menurut Galtung, kekuasaan merupakan konsep yang paling dasar yang mendasari relasi- relasi sosial. Kekuasaan terjadi dalam pola - pola relasi antar manusia atau negara. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang, yang eksploitatif dan represif (Windhu, 1992). Konsep yang dipersoalkan oleh Galtung bukanlah segala macam kekuasaan, bukan pula kekuasaan politik dengan otoritasnya, tetapi kekuasaan yang dibangun dalam suatu relasi yang tidak seimbang.
Galtung (Windhu 1992), membagi tiga sumber kekuasaan. Pertama, kekuasaan yang diperoleh karena pembawaan sejak lahir, se perti seorang raja yang kharismatik. Kedua, kekuasaan yang diperoleh karena memiliki sumber - sumber kemakmuran, seperti kekayaan alam yang dimiliki Indonesia. Dan ketiga, kekuasaan yang diperoleh karena kedudukannya dalam suatu struktur, seperti halnya seorang presiden.
Senada dengan Galtung, Soekanto (1984) mengemukakan beberapa hal yang dapat dijadikan sarana untuk menguasai orang atau kelompok lain, yakni:
1. Pengendalian terhadap sarana - sarana finansial.
2. Pengendalian terhadap sarana - sarana pemaksaan.
3. Hak istimewa untuk mendapat pengetahuan dan ilmu.
4. Monopoli penguasaan saluran ke lingkungan kekuasaan tertinggi.
5. Kemampuan di bidang niaga.
6. Penguasaan terhadap sarana- sarana produksi dan distribusi.
The British Council (2001) mengemukakan beberapa sumber kekuasaan, yakni:
1. Otoritas atau posisi, dapat dimiliki oleh individu atau kelompok berdasarkan perannya, seperti suami.
2. Akses ke sumber daya, kekuasaan yang muncul karena adanya kontrol terhadap pasokan sumber daya (seperti bahan baku).
3. Jaringan kerja, koneksi sosial, mengembangkan kontak pribadi.
4. Kemampuan atau keahlian.
5. Informasi, manipulasi informasi.
6. Kepribadian, merupakan sumber kekuasaan yang dipengaruhi oleh kombinasi beberapa sifat (intelegensi, kepercayaan diri, sikap, dan lain- lain).
Sedangkan ciri lain dari kekuasaan adalah menghindari akuntabilitas atau keterbukaan dalam memberikan informasi. The British Council (2001) mengutarakan beberapa cara yang sering digunakan untuk menghindari akuntabilitas:
1. Menahan informasi.
2. Melakukan ancaman tersembunyi.
3. Menolak untuk mengakui atau memiliki kekuasaan yang mereka miliki.
4. Sedikit berkomunikasi atau tidak sama sekali.
Kemudian Galtung (Windhu, 1992), membagi empat aspek yang sering digunakan kekuasaan untuk melakukan dominasi. Pertama, eksploitasi penguasaan atau penarikan keuntungan secara tidak wajar. Terjadi jika totalitas jumlah biaya dan keuntungan kegiatan dari berbagai kelompok berbeda sehingga beberapa kelompok memperoleh keuntungan lebih banyak dari yang lainnya. Eksploitasi tidak hanya terjadi di bidang ekonomi, tetapi bisa terjadi di bidang politik, militer, dan lain - lain.
Sementara Lorwin (Scott, 1981), mendefinisikan eksploitasi sebagai adanya sementara individu, kelompok, atau kelas yang secara tidak adil atau tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas kerugian orang lain. Eksploitasi mempunyai dua ciri utama. Pertama, eksploitasi itu harus dilihat sebagai satu tata- hubungan antara perorangan, kelompok atau lembaga; adanya pihak yang dieksploitasi mengimplikasikan adanya pihak yang mengeksploitasi. Kedua, eksploitasi merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya, dan hal ini selanjutnya memerlukan adanya suatu ukuran tentang keadilan distribusi untuk mengukur tata - hubungan yang ada.
Wright (Widyaningrum, dkk, 2003) me nyebutkan, bahwa ciri dari hubungan yang eksploitatif adalah sebagai berikut:
1. Kesejahteraan sebuah kelompok masyarakat secara material tergantung pada perampasan material dari kelompok lain.
2. Hubungan tersebut melibatkan pula pengucilan atau penutupan (exclusion) akses terhadap sumber daya produktif tertentu secara asimetris terhadap kelompok yang tereksploitasi.
3. Mekanisme yang menghasilkan pengucilan atau penutupan akses terhadap sumber daya produktif tersebut melibatkan pengambilalihan nilai tambah (fruits of labour) kelompok yang tereksploitasi oleh kelompok yang menguasai sumber daya produksi tersebut.
Kedua, penetrasi, dipahami sebagai masuknya pengaruh dari suatu kekuatan yang dominan terhadap kekuatan yang minor. Dalam konteks suatu negara, masuknya pengaruh negara kuat ke dalam negara- negara yang dikuasai. Ketiga, fragmentasi, merupakan suatu cara yang digunakan oleh satu kelompok untuk menguasai kelompok lainnya, satu pemerintah dapat menguasai beberapa negara lainnya dengan cara memecah belah.
Keempat, marginalisasi. Untuk membedakannya dengan fragmentasi, Galtung mencontohkan sebagai cara yang ditempuh dengan membentuk perkumpulan di dalam dan di luar. Di satu pihak, keputusan- keputusan penting mengenai seluruh dunia akan diambil oleh perkumpula n di dalam (masyarakat Eropa), dan di lain pihak terdapat sekelompok kecil negara- negara Eropa yang menngikuti kebijakan non- imperialis, namun mereka tergabung dalam struktur yang sifatnya eksploitatif terhadap perkumpulan di luar, yaitu negara - negara yang dikuasai.
Sedangkan sumber- sumber kekuatan yang sering digunakan oleh kelas penguasa, Widyaningrum, dkk (2003) mengemukakan sebagai berikut:
1. Kekuatan dari kebijakan negara, adanya kebijakan- kebijakan yang memberikan privilege pada sekelompok aktor untuk melakukan monopoli.
2. Kekuatan premanisme, kekuatan politik, terjadinya penyelewengan fungsifungsi institusi yang seharusnya menjaga aturan main dan keamanan dalam masyarakat.
3. Kekuatan informasi dan modal, penguasaan dan penutupan akses terhadap informasi dan modal menjadi salah satu sumber kekuatan pelaku- pelaku eksploitasi.
4. Kekuatan atas sumber daya sosial dan ekonomi.
1.5.2. Teori Perlawanan
Kekuasaan, sebagaimana yang dikemukakan Weber (Ritzer, 2000) merupakan kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya pada pihak lain walaupun ada penolakan melalui perlawanan. Perlawanan akan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah- tengah mereka (Zubir, 2002). Jika situasi ketidakadilan dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan (apa yang disebut sebagai) gerakan sosial atau social movement, yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang berbeda dengan sebelumnya (Tarrow, 1994).
Scott (2000) mendefinisikan perlawanan sebagai segala tindakan yang dilakukan oleh kaum atau kelompok subordinat yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim (minsalnya harga sewa atau pajak) yang dibuat oleh pihak atau kelompok superdinat terhadap mereka. Scott (2000) membagi perlawanan tersebut menjadi dua bagian, yaitu: perlawanan publik atau terbuka (public transcript) dan perlawanan tersembunyi atau tertutup (hidden transcript).
Kedua kategori tersebut, oleh Scott (2000), dibedakan atas artikulasi perlawanan; bentuk, karekteristik, wilayah sosial dan budaya. Perlawanan terbuka dikarakteristikan oleh adanya interaksi terbuka antara kelas - kelas subordinat dengan kelas- kelas superdinat. Sementara perlawanan sembunyi- sembunyi dikarakteristikan oleh adanya interaksi tertutup, tidak langsung antara kelas- kelas subordinat dengan kelas- kelas superdinat.
Untuk melihat pembedaan yang lebih jelas dari dua bentuk perlawanan di atas, Scott (2000) mencirikan perlawanan terbuka sebagai perlawanan yang bersifat: 1) organik, sistematik dan kooperatif, 2) berprinsip atau tidak mementingkan diri sendiri, 3) berkonsekuensi revolusioner, dan / atau 4) mencakup gagasan atau maksud meniadakan basis dominasi. Dengan demikian, aksi demonstrasi atau protes yang diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa, mogok makan (dan lain- lain) merupakan konsekuensi logis dari perlawanan terbuka terhadap pihak superdinat (Tarrow, 1994).
Menurut Fakih (Zubir, 2002), gerakan sosial diakui sebagai gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan terhadap sistem sosial yang ada. Karena memiliki orientasi pada perubahan, dianggap lebih mempunyai kesamaan tujuan, dan bukan kesamaan analisis. Mereka tidak bekerja menurut prosedur baku, melainkan menerapkan struktur yang cair dan operasionalnya lebih diatur oleh standar yang muncul saat itu untuk mencapai tujuan jangka panjang. Mereka juga tidak memiliki kepemimpinan formal, seorang aktivis gerakan sosial tampil menjadi pemimpin gerakan karena keberhasilannya mempengaruhi massa dengan kepiawaiannya dalam memahami dan menjelaskan tujuan dari gerakan serta memiliki rencana yang paling efektif dalam mencapainya (Zubir, 2002).
Soekanto dan Broto Susilo (1987) memberikan empat ciri gerakan sosial, yaitu: 1) tujuannya bukan untuk mendapatkan persamaan kekuasaan, akan tetapi mengganti kekuasaan, 2) adanya penggantian basis legitimasi, 3) perubahan sosial yang terjadi bersifat massif dan pervasive sehingga mempengaruhi seluruh masyarakat, dan 4) koersi dan kekerasan bia sa dipergunakan untuk menghancurkan rezim lama dan mempertahankan pemerintahan yang baru.
J. Smelser (Sihbudi dan Nurhasim, ed., 2001) menyatakan, bahwa gerakan social ditentukan oleh lima faktor. Pertama, daya dukung struktural (structural condusiveness) di mana suatu perlawanan akan mudah terjadi dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu yang berpotensi untuk melakukan suatu gerakan massa secara spontan dan berkesinambungan (seperti lingkungan kampus, buruh, petani, dan sebagainya). Kedua, adanya tekanan- tekanan struktural (structural strain ) akan mempercepat orang untuk melakukan gerakan massa secara spontan karena keinginan mereka untuk melepaskan diri dari situasi yang menyengsarakan.
Ketiga, menyebarkan informasi yang dipercayai oleh masyarakat luas untuk membangun perasaan kebersamaan dan juga dapat menimbulkan kegelisahan kolektif akan situasi yang dapat menguntungkan tersebut. Keempat, faktor yang dapat memancing tindakan massa karena emosi yang tidak terkendali, seperti adanya rumor atau isu- isu yang bisa membangkitkan kesadaran kolektif untuk melakukan perlawanan. Kelima, upaya mobilisasi orang- orang untuk melakukan tindakantindakan yang telah direncanakan.
Sedangkan perlawanan sembunyi- sembunyi dapat dicirikan sebagai perlawanan yang bersifat: 1) tidak teratur, tidak sistematik dan terjadi secara individual, 2) bersifat oportunistik dan mementingkan diri sendiri, 3) tidak berkonsekuensi revolusioner, dan/ atau 4) lebih akomodatif terhadap sistem dominasi. Oleh karena itu, gejala- gejala kejahatan seperti: pencurian kecil- kecilan, hujatan, makian, bahkan pura- pura patuh (tetapi dibelakang membangkang) merupakan perwujudan dari perlawanan sembunyisembunyi (Scott, 2000).
Perlawanan jenis ini bukannya bermaksud atau mengubah sebuah system dominasi, melainkan lebih terarah pada upaya untuk tetap hidup dalam sistem tersebutsekarang, minggu ini, musim ini (Scott, 1993). Percobaan- percobaan untuk menyedot dengan tekun dapat memukul balik, mendapat keringanan marjinal dalam eksploitasi, dapat menghasilkan negosiasi- negosiasi tentang batas- batas pembagian, dapat mengubah perkembangan, dan dalam peristiwa tertentu dapat menjatuhkan sistem.
Tetapi, menurut Scott (1993), semua itu hanya merupakan akibat- akibat yang mungkin terjadi, sebaliknya, tujuan mereka hampir selalu untuk kesempatan hidup dan ketekunan. Bagaimanapun, kebanyakan dari tindakan ini (oleh kelas- kelas lainnya) akan dilihat sebagai keganasan, penipuan, kelalaian, pencurian, kecongkakan- singkat kata semua bentuk tindakan yang dipikirkan untuk mencemarkan orang- orang yang mengadakan perlawanan. Perlawanan ini dilakukan untuk mempertahankan diri dan rumah tangga. Dapat bertahan hidup sebagai produsen komoditi kecil atau pekerja, mungkin dapat memaksa beberapa orang dari kelompok ini menyelamatkan diri dan mengorbankan anggota lainnya (Scott, 1993).
Scott (2000) menambahkan, bahwa perlawanan jenis ini (sembunyi- sembunyi) tidak begitu dramatis, namun terdapat di mana- mana, melawan efek- efek pembangunan kapitalis asuhan negara. Perlawanan ini bersifat perorangan dan seringkali anonim. Terpencar dalam komunitas- komunitas kecil dan pada umumnya tanpa sarana- sarana kelembagaan untuk bertindak kolektif, menggunakan sarana perlawanan yang bersifat lokal dan sedikit memerlukan koordinasi (Scott, 2000).
Koordinasi yang dimaksudkan di sini, bukanlah sebuah konsep koordinasi yang dipahami selama ini, yang berasal dari rakitan formal dan birokratis. Tetapi merupakan suatu koordinasi dengan aksi- aksi yang dilakukan dalam komunitas dengan jaringanjaringan informasi yang padat dan sub kultur - sub kultur perlawanan yang kaya. Tidak terdapat aksi- aksi huru hara, demonstrasi, pembakaran, kejahatan sosial terorganisisr, dan kekerasan terbuka. Perlawanan ini akan terus berlangsung selama struktur social masih eksploitatif dan tidak adil (Scott, 2000).
Menurut Basrowi dan Sukidin (2003), studi yang membahas tentang gerakan dapat dijelaskan dengan menggunakan tiga pendekatan. Pertama, pendekatan moral ekonomi. Pada pendekatan ini, aspek pokok yang memicu gerakan adalah: 1) adanya reaksi terhadap perubahan yang dianggap akan mengancam kelangsungan hidup komunitasnya yang berada dalam kondisi subsistensi, 2) faktor kepemimpinan sebagai faktor kunci gerakan dan umumnya berasal dari kalangan elit desa atau patron. Kedua, pendekatan ekonomi politik yang menyatakan bahwa gerakan pada dasarnya didasari oleh pertimbangan rasional individual terhadap perubahan yang dikalkulasikan merugikan dan mengancam mereka. Keputusan melakukan gerakan terletak pada individu yang menganggapnya sebagai pilihan yang efektif dan efisien. Ketiga, pendekatan historis yang memfokuskan pada keberlangsungan kesejahteraan yang terdapat pada suatu masyarakat. Gerakan dipahami sebagai akibat dari terjadinya penyimpangan dan ancaman terhadap nilai, norma, tradisi, dan kepercayaan yang dimiliki.
Perlawanan merupakan bentuk dari pernyataan sikap yang dilakukan oleh masyarakat. Penyikapan masyarakat tersebut dalam bentuk perlawanan terhadap kelompok atau pihak yang dianggap me ngancam eksistensi mereka selalu mengalami perubahan (Kusuma dan Agustina, ed., 2003). Hal ini tidak terlepas dari pengaruh isu yang diangkat dan mendapat dukungan dari masyarakat. Soekanto (Kusuma dan Fitria, ed., 2003) berpendapat bahwa selama dasawarsa yang mendahului pemberontakan, kondisi- kondisi sosial dan ekonomi telah menimbulkan tekanan- tekanan dan tuntutantuntutan berbeda dari sebelumnya. Kemudian Soekanto menambahkan, tuntutan tersebut disebabkan oleh masalah- masalah yang sifatnya kumulatif dan tidak terungkap yang merupakan sumber frustasi bagi pemicu timbulnya perlawanan.
Zubir (2002) menyatakan bahwa perlawanan yang dilakukan oleh kelompok pinggiran (seperti buruh, pedagang, petani, dan lain- lain) bersifat sporadis. Dalam memperjuangkan keinginannya, gerakan ini tidak memiliki strategi perjuangan yang jelas sehingga lebih mudah untuk dipadamkan oleh pihak- pihak yang berkuasa. Apabila gerakan ini telah dimasuki oleh unsur idiologis, maka gerakan ini akan menjadi suatu gerakan yang radikal. Dalam percaturan politik, massa dari kelompok ini menjadi lahan perebutan yang subur dari berbagai kelompok yang bertikai. Ia memiliki tujuan yang jelas dan dalam gelombang yang besar, gerakan ini memiliki kecenderungan melawan arus zaman, arus dari status quo yang berkuasa. Gerakan seperti ini biasanya dipelopori oleh mahasiswa sebagai aktor intelektual (Zubir, 2002).
Gurr dalam Mas’oed (1998) menyatakan, bahwa adanya empat faktor yang menentukan intensititas perlawanan dan potensi untuk melakukan tindakan politis sebagai jalan keluar. Pertama, seberapa parah tingkat keterbelakangan atau penderitaan kolektif komunal itu dibandingkan dengan kelompok lain. Kedua, kekuatan atau ketegasan identitas kelompok yang merasa terancam. Ketiga, keandalan derajat kohesi dan mobilisasi kelompok. Dan keempat, kontrol represif atau daya paksa tidak adil oleh kelompok- kelompok dominan.
Menurut Alain Touraine seperti yang dikuti oleh Adijtonro (1994) dalam paper yang berjudul “large dam victims and their defendersi: the emergence of an anti- large dam movement in Indonesia”, yang kemudian dikutip oleh Sangaji (2000), terdapat tiga karekteristik gerakan sosial, yakni: identifikasi, oposisi, dan totalitas. Identifikasi berkaitan dengan aktor- aktor gerakan yang dibedakan kedalam dua kelompok, yaitu para korban (peremajaan pasar) dan para pembelanya. Oposisi berhubungan dengan apa (siapa) yang hendak ditentang. Dan prinsip totalitas berhubungan dengan teori- teori yang mendasari gerakan tersebut.
Berkaitan dengan cara- cara pengungkapan atau ekspresi perlawanan, Sangaji (2000) membagi kedalam dua bentuk, yakni: 1) perlawanan yang diungkapkan secara individual, 2) perlawanan yang dilakukan melalui tindakan- tindakan kolektif atau bersama. Kedua bentuk perlawanan tersebut diekspresikan dalam beragam cara, mulai dari aksi protes terbuka, yang diungkap melalui media massa, surat protes, pengiriman delegasi, atau melalui kesempatan dialog, seminar, hingga cara- cara tertutup, seperti aksi tutup mulut dan tidak menghadiri pertemuan dengan rival.
Di samping itu, perlawanan yang dilakukan oleh kelompok pinggiran ini juga mendapat dukungan dari organisasi atau individu yang umumnya berasal dari kalangan terpelajar, seperti mahasiswa, NGO, tokoh intelektual setempat (Sangaji, 2000). Mereka dibedakan atas dua kategori, yaitu: 1) para pendukung spesialis, yakni individu dan organisasi yang secara spesifik membangun keterampilan dan idiologi untuk menentang kebijakan tersebut, 2) para pendukung umum, yakni individu atau organisasi yang menganggap pembelaan tersebut merupakan bagian dari perjuangan menegakkan hak asasi dan keadilan (Sangaji, 2000).
Sangaji (2000) menambahkan, bahwa alasan dilakukannya perlawanan oleh pelaku perlawanan dibagi atas dua. Pertama, alasan yang berdimensi sosio- kultural, berkaitan dengan tanah leluhur, biasanya alasan ini diungkapkan oleh penduduk asli. Kedua, alasan- alasan yang bersifat sosial- ekonomi, biasanya diungkapkan oleh penduduk pendatang yang telah lama bermukim di tempat tersebut. Menurut A.S. Hikam (Prisma, 1990), terjadinya perlawanan terhadap kekuasaan dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, fenomena perlawanan dari sudut pandang otoritas moral sebagai basis hubungan- hubungan sosial dan stabilitas sosial.
Pandangan ini berargumen, bahwa terjadinya gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan merupakan suatu bentuk keberangan moral. Dan hal ini, menurut Moore (Prisma, 1990), dipengaruhi oleh tiga elemen penting dalam sistem sosial: 1) Koordinasi sosial atau kekuasaan, 2) pembagian kerja, dan 3) distribusi barang. Koordinasi sosial dan kekuasaan akan selalu dievaluasi oleh masyarakat (dalam pengertian) tentang kemampuannya memberikan perlindungan dan memelihara kedamaian serta ketertiban, sebaliknya masyarakat bertanggung jawab untuk tunduk dan mentaati kekuasaan yang berlaku. Apabila kewajiban timbal balik ini, menurut Hikam (Prisma, 1990), tidak dapat terpenuhi dengan baik akan menyebabkan terjadinya keberangan moral dan kerusakan sosial.
Sementara itu, tentang pembagian kerja, Hikam (Prisma, 1990) menerangkan bahwa kegagalan dalam menciptakan keadilan dalam pembagian kerja akan mengakibatkan kesenjangan sosial, dan selanjutnya akan mengakibatkan keberangan moral dalam bentuk protes secara terbuka maupun sembunyi. Sedangkan distribusi barang, jika dilihat dari kacamata moral, akan memainkan peranan penting untuk mengurangi kontradiksi kesenjangan moral, demikian Hikam (Prisma, 1990) menjelaskan.
Kedua, perlawanan terjadi karena adanya keharusan struktural yang menentukan tindakan dan perilaku- perilaku individu. Menurut Hikam (Prisma, 1990), pandangan ini berpendapat bahwa perlawanan terhadap kekuasaan terjadi karena adanya dukungan kolektif, bukan muncul dari kehendak individu. Konflik yang timbul dari fenomena kekuasaan yang mendominasi masyarakat, ternyata telah menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang di dominasi. Konflik yang tidak bisa terselesaikan dengan baik akan menimbulkan kerusakan sosial di masyarakat (Prisma, 1990). Oleh karena itu, konflik perlu diselesaikan dengan baik, yang dikenal dengan resolusi konflik (conflict resolution).
1.5.3. Teori Resolusi Konflik
Konflik merupakan faktor yang turut membangun perkembangan masyarakat. Konflik akan bisa membangun solidaritas kelompok dan hubungan antar warga negara maupun antar kelompok. Konflik tidak bisa dihindari oleh setiap aktor, namun yang paling penting adalah cara untuk menyelesaikan konflik agar ancaman (threat) bisa menjadi kesempatan (oppurtunity ) dan bahaya timbulnya konflik terbuka secara meluas dilokalisasi dengan membangun suatu model pencegahan dan penanggulangan dini (Sihbudi dan Nurhasim, ed., 2001).
Suatu kebiasaan khas dalam konflik adalah memberikan prioritas yang tinggi guna mempertahankan kepentingan pihaknya sendiri ( Hugh Miall dkk, 1999). Jika kepentingan si A bertentangan dengan kepentingan B, A cenderung mengabaikan kepentingan B, atau secara aktif menghancurkannya. Menurut Miall (1999), pihak – pihak yang berkonflik biasanya cenderung melihat kepentingan mereka sebagai kepentingan yang bertentangan secara diametrikal, oleh karena itu, Miall (1999), berkesimpulan bahwa hasil yang diperoleh adalah hasil kalah- menang.
Untuk itu, menurut Dahrendorf (1984), perlu diadakan suatu peraturan pertentangan yang mensyaratkan tiga faktor. Pertama, kedua kelompok yang terlibat dalam pertentangan harus mengakui pentingnya dan nyatanya situasi pertentangan dan dalam hal ini, mengakui keadilan fundamental dari maksud pihak lawan. Pengakuan adilnya maksud lawan tentu saja bukan berarti bahwa subtansi kepentingan lawan harus diakui sebagai adil dari awal. Pengakuan di sini berarti bahwa kedua kelompok yang bertentangan menerima untuk apa pertentangan itu, yakni menerimanya sebagai suatu hasil pertumbuhan yang tak terelakkan.
Syarat kedua, adalah organisasi kelompok- kelompok ke pentingan. Selama kekuatan- kekuatan yang bertentangan itu terpencar- pencar dalam kesatuan yang kecil yang masing- masing erat ikatannya, peraturan pertentangan tidak akan efektif. Dan ketiga, adanya keharusan bagi kelompok- kelompok yang berlawanan dalam pertentangan sosial menyetujui aturan formal tertentu yang menyediakan kerangka hubungan bagi mereka.
Berdasarkan buku panduan pengelolaan konflik yang dikeluarkan oleh The British Council (2001), bahwa penyelesaian suatu konflik yang terjadi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1. Negosiasi, suatu proses untuk memungkinkan pihak- pihak yang berkonflik untuk mendiskusikan berbagai kemungkinan pilihan dan mencapai penyelesaian melalui interaksi tatap muka.
2. Mediasi, suatu proses interaksi yang dibantu oleh pihak ketiga sehingga pihakpihak yang berkonflik menemukan penyelesaian yang mereka sepakati sendiri.
3. Arbitrasi atau perwalian dalam sengketa, tindakan oleh pihak ketiga yang diberi wewenang untuk memutuskan dan menjalankan suatu penyelesaian.
Secara tradisional, tugas penyelesaian konflik adalah membantu pihak- pihak yang merasakan situasi yang mereka alami sebagai sebuah situasi zero – sum (keuntungan diri sendiri adalah kerugian pihak lain). Agar melihat konflik sebagai keadaan non- zero- sum (di mana kedua belah pihak dapat memperoleh hasil atau keduanya sama- sama tidak memperoleh hasil) dan kemudian membantu pihak- pihak yang berkonflik berpindah ke arah hasil yang positif (Miall dkk, 1999). Untuk menciptakan hasil non- zero- sum, Miall (1999) mewajibkan akan adanya pihak yang berfungsi menyelesaikan konflik.
Menurut Nurhasim (Prisma, 1997), pola penyelesaian konflik mengacu pada pendekatan manajemen konflik politik dan teori strukturalis semi otonom. Kedua paradigma ini melihat keterlibatan negara (pemerintah) sebagai penengah munculnya konflik yang terjadi dalam masyarakat. Negara memainkan peran dalam mengelola konflik yang terjadi di masyarakat sehingga dapat ditransformasikan menjadi konsensus.
Sementara teori strukturalis semi otonom mempe rsepsikan negara sebagai lembaga politik yang lebih otonom. Negara dianggap lebih berperan sebagai penengah konflik antara berbagai kelompok kepentingan sehingga pembangunan (kebijakan) dipandang sebagai upaya untuk menengahi konflik yang terjadi (Nurhasim, Prisma, 1997).
Negara dalam kedua terminologi tersebut dipersonifikasikan baik secara individual maupun lembaga. Nordlinger, seperti yang dikutip oleh Nurhasim (Prisma, 1997) melihat negara secara subyektif atau dalam perangkat analisis individual, yaitu individu yang menduduki posisi yang memiliki kewenangan membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat semua pihak yang ada di wilayah tertentu. Termasuk dalam kategori ini adalah presiden, menteri, dan para kepala daerah.. Sementara Kresner dan Scotpol (Prisma, 1997) melihat negara dalam arti lembaga dan individu, seperti Mahkamah Agung (MA), militer, kehakiman, dan lain- lain.
Sementara Miall (1999) membedakan pihak ketiga atas dua, yaitu: arbitrasi dan mediasi. Arbitrasi merupakan penyelesaian konflik oleh pihak ketiga yang memiliki sumber kekuasaan, mampu melakukan tekanan, intervensi terhadap pihak- pihak yang berkonflik agar dapat selesai (Miall, 1999). Sedangkan mediasi adalah penyelesaian konflik oleh pihak ketiga yang tidak mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk menindas pihak- pihak yang berkonflik agar konflik selesai (Miall, 1999). Menurut Dahrendorf (1986) kelompok ketiga ini dikenal dengan istilah penengah atau mediasi, dan arbitrasi atau penghakiman. Dahrendorf (1986) membagi beberapa tipe peran kelompok ketiga tersebut sebagai berikut:
Tabel.1.1. POLA- POLA PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL
Tipe | Mengundang Nasihat Kelompok Ketiga | Menerima Nasihat Kelompok Ketiga | Istilah Kerr |
1. A | Tidak | Tidak | Konsiliasi |
2. B | Fakultatif | Fakultatif | Mediasi |
3.C | Fakultatif | Wajib | Arbitrasi(Penindasan) |
4. D | Wajib | Fakultatif | Arbitrasi |
5. E | Wajib | Wajib | Arbitrasi |
Sumber: Ralf Dahrendorf, 1986
Konsiliasi, tidak melibatkan pihak manapun dalam menyelesaikan suatu pertentangan. Konsiliasi lebih cenderung pada upaya damai yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertentangan terhadap pertentangan yang mereka alami. Menurut Dahrendorf (1984), ketiga bentuk penyelesaian pertentangan tersebut, yakni konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi dapat dilaksanakan sebagai peratur an pertentangan secara berurutan atau dapat pula diterapkan secara terpisah- pisah menurut situasi yang dihadapi.
Menurut Dahrendorf (1986), mediasi merupakan bentuk yang paling ringan dari campur tangan pihak luar dalam menyelesaikan pertentangan. Kedua kelompok yang bertentangan sepakat untuk berkonsultasi dengan pihak luar yang diminta memberikan nasihat. Akan tetapi, nasihat tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap kelompok yang bertentangan. Sekilas, hal ini hanya menjanjikan pengaruh sedikit, tetapi dari pengalaman di berbagai bidang kehidupan sosial menunjukkan bahwa mediasi merupakan suatu tipe penyelesaian pertentangan yang berhasil (Dahrendorf, 1986).
Berkaitan dengan keberhasilan mediasi, Kerr dalam Dahrendorf (1986), mengungkapkan lima hal positif dari model ini: 1) mengurangi sikap irrasional, 2) menyinngkirkan sikap non- rasional, 3) menjajaki penyelesaian, 4) membantu pengenduran perlahan, dan 5) meningkatkan biaya pertentangan. Dahrendorf (1986) juga mensyaratkan empat hal sebagai syarat wajib dipenuhi oleh pihak ketiga:
1. Otonom, dibekali hak untuk mengambil keputusan tanpa campur tangan pihak lain.
2. Memegang posisi monopoli, merupakan satu- satunya institusi dalam suatu perserikatan (satu- satunya kelompok di luar dua kelompok yang bertikai).
3. Perannya harus dipatuhi, keputusan- keputusan yang telah dicapai harus mengikat kedua kelompok kepentingan.
4. Demokratis, kedua kelompok yang bertentangan di dengar dan diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat sebelum keputusan diambil.
Berkaitan dengan arbitrasi, Lockwood (Dahrendorf, 1984) mengandung dua konsep, yaitu konsep politik dan pengadilan. Konsep pertama memberikan kesan bahwa adalah menjadi tugas untuk menemukan titik kompromi yang dapat dilaksanakan di antara isu- isu yang bertentangan. Sedangkan konsep kedua melihat pertentangan dari sudut pandangan hukum, yakni memberikan tugas kepada arbitrator untuk menilai kebaikan isu yang dipertentangkan itu menurut ukuran yang pasti, benar atau salah.
1.6. Metode Penelitian
Metode penelitian didefinisikan sebagai ajaran mengenai cara- cara yang digunakan dalam proses penelitian. Metode berguna untuk memberikan ketepatan, kebenaran dan pengetahuan yang mempunyai nilai ilmiah yang tinggi (Kartono, 1996). Untuk itu, penelitian ini akan memaparkan beberapa cara sebagai batasan untuk mencapai kebenaran ilmiah, yakni: jenis penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, pemilihan informan, dan teknik analisa data.
1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan penekanan pada deskriptif dan analitis. Bogdan dan Taylor (Lexy Moleong, 2000) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata- kata (baik tertulis maupun lisan) dan pelaku yang dapat diamati. Metode penelitian kualitatif ini dipilih karena dapat menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden serta lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan pola- pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2000).
Deskriptif – analitis adalah suatu upaya untuk menggambarkan hasil dari datadata yang diperoleh di lapangan, baik secara lisan maupun tulisan untuk kemudian dianalisis sebagai suatu kesimpulan penelitian (Kartono, 1996). Dengan kata lain, penelitian ini berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang diteliti, memahami dan mengerti bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupan sehari –hari. Penelitian ini berusaha menyingkapkan dan menggambarkan bagaimana bentukbentuk dominasi kekuasaan yang terjadi terhadap pedagang, bagaimana perlawanan yang dilakukan oleh pedagang, dan upaya seperti apa yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Untuk konteks Pekanbaru sendiri, penelitian seperti ini masih dianggap sebagai hal “tabu” untuk diangkat, karena bersinggungan langsung dengan kekuasaan. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini peneliti berniat untuk menggambarkannya dalam bentuk penelitian ilmiah, apalagi konflik seperti ini telah terjadi empat kali pada saat Pemerintah Kota melakukan peremajaan pasar – pasar tradisional yang ada di Pekanbaru. Sedangkan pedekatan yang digunakan adalah pendekatan studi kasus (case study) tunggal, yakni suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar (Salim, 2001). Studi kasus yang dibicarakan adalah studi kasus tunggal dengan maksud untuk penyingkapan kasus (K. Yin, 2003). Penelitian ini berupaya untuk menyingkapkan “tabir ketabuan” kasus peremajaan pasar tradisional yang melibatkan pihak pemerintah, yang belum pernah diungkit untuk tingkat kota Pekanbaru.
1.6.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini diadakan di kelurahan Padang Bulan kecamatan Senapelan kota Pekanbaru, propinsi Riau. Dipilihnya lokasi ini karena beberapa pertimbangan, diantaranya: 1) lokasi ini merupakan salah satu wilayah yang memiliki pasar tradisional yang cukup besar dan telah lama berdiri (± 30 tahun) dengan mayoritas pedagang yang memiliki modal ekonomi menengah kebawah, 2) lokasi penelitian berada di tengah kota, ibukota propinsi Riau (sebagai pusat pemerintahan), sangat berpengaruh dan menjadi model bagi daerah- daerah lainnya di propinsi Riau, 3) merupakan pusat ekonomi menengah ke bawah sehingga sangat sesuai bagi terjadinya konflik vertikal, dan 4) lebih mudah dijangkau dan dekat dengan akses informasi lainnya, yang berhubungan denngan penelitian ini.
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara- cara yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini untuk memperoleh informasi atau data yang akurat sehingga dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu penelitian sosial yang ilmiah. Adapun cara- cara tersebut dapat dibagai atas tiga bagian, yakni melalui: wawancara mendalam atau indept interview , observasi atau pengamatan, dan dokumentasi. Wawancara mendalam (in- depth interview ) dan observasi berfungsi sebagai data primer, sedangkan dokumendokumen berfungsi sebagai data sekunder.
1.6.3.1. Wawancara Mendalam (in - depth interview)
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan wawancara tidak terstruktur, sesuai dengan urutan wawancara, dan tidak memakai sistem angket atau kuesioner. Teknik wawancara mendalam berguna untuk memperoleh data dengan jalan mengajukan pertanyaan- pertanyaan tentang segala sesuatu kepada informan untuk mendapatkan penafsiran yang utuh tentang suatu informasi. Dalam teknik ini, yang paling ditekankan adalah komunikasi antara peneliti dengan informan berjalan lancer dan tidak terkesan formal. Untuk memperoleh validitas data, wawancara dilakukan secara berulang terhadap informan yang berbeda dengan item atau masalah yang sama. Dengan demikian, diharapkan data- data yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan kevaliditasannya. Selain itu, untuk mendukung kevalidan data, dalam pengertian yang diungkapkan oleh K. Yin (2003), penelitian ini menggunakan dua tipe wawancara, yaitu: wawancara yang bertipe open - ended dan wawancara terfokus. Wawancara openended dilakukan dengan bertanya secara langsung kepada informan kunci tentang suatu peristiwa tertentu dan opini atau pendapat mereka tentang hal tertentu tersebut. Seperti pendapat pedagang (secara individu) tentang pihak pemerintah, investor, ataupun tentang masyarakat Riau yang beretnis melayu.
Sedangkan wawancara terfokus dilakukan dalam jangka waktu terbatas (satu jam atau dua jam), walaupun masih bersifat open- ended tetapi tidak mengikuti serangkaian daftar pertanyaan tertentu dari protokol wawancara yang telah disiapkan. Tujuan wawancara ini adalah untuk mendapatkan data pendukung terhadap fakta- fakta tertentu (K. Yin, 2003). Dengan teknik ini, peneliti dapat memperoleh komentarkomentar yang segar dari informan tentang sesuatu hal yang mendukung data, seperti perbandingan tipe pemerintahan daerah Riau dengan Sumbar atau antara karekteristik orang Riau asli (etnis melayu) yang selama ini dipahami oleh para pedagang. Selain itu peneliti juga menggunakan teknik ini untuk mendapatkan data yang valid. Dengan berpura- pura tidak me ngerti tentang kondisi pendapat pemerintah tentang pedagang, peneliti mendapatkan data tentang apa yang dirasakan pedagang dan pendapat mereka (pedagang) tentang pemerintah dan investor, minsalnya sulitnya mendapatkan informasi dari pihak pemerintah dan investor. Hal serupa juga dilakukan peneliti terhadap pemerintah dan investor (sebagai subyek) dan pedagang sebagai obyek.
1.6.3.2. Observasi
Observasi adalah teknik atau cara pengumpulan data melalui pengamatan terhadap fenomena - fenomena sosial dan gejala- gejala alam (Kartono, 1996). Menurut Faisal (2001), pengamatan dapat juga dilakukan terhadap benda, keadaan, kondisi, situasi, kegiatan, proses, dan penampilan tingkah laku seseorang.
Observasi yang dilakukan adalah observasi langsung (K. Yin, 2003). Di mana peneliti melakukan kunjungan langsung ke lapangan berkaitan dengan perilaku atau kondisi lingkunngan yang relevan dengan maksud penelitian ini sebagai tambahan dimensi- dimensi baru dalam konteks memahami fenomena yang diteliti tersebut.
Observasi yang dilakukan bisa bersifat formal maupun kurang formal (K. Yin, 2003). Observasi formal dilakukan untuk mengukur peristiwa tipe pelaku tertentu dalam periode waktu tertentu di lapangan. Sedangkan observasi kurang formal dilakukan selama melangsungkan kunjungan lapangan, termasuk kesempatan- kesempatan selama pengumpulan bukti yang lain (wawancara dan dokumentasi).
Dalam hal penelitian ini, observasi formal dilakukan pada saat pedagang sedang melakukan transaksi jual beli di pasar Senapelan. Kebanyakan pengamatan ini dilakukan pada waktu siang hari. Dengan harapan, observasi yang dilakukan akan lebih menyeluruh, karena dapat melihat kondisi pedagang secara holistik ketika melakukan interaksi sosial dengan masyarakat lainnya, dan dengan sesama pedagang dari beragam tingkatan penghasilan dan modal yang mereka miliki. Sedangkan observasi non formal dilakukan pada waktu peneliti melakukan kegiatan wawancara di lapangan dengan pedagang. Dan kebanyakan observasi ini difokuskan pada kondisi sosial yang dihadapi pedagang ketika mereka harus mencari nafkah ditempat yang “tidak memadai”.
Berbeda dengan pedagang, observasi terhadap pemerintah dan investor dilakukan dalam ondisi non formal, yaitu di saat peneliti melakukan wawancara dengan pihak pemerintah dan investor. Walaupun ada observasi formal yang dilakukan, porsinya minim, karena beberapa kendala, diantaranya: lingkungan birokrat yang resmi, tidak memungkinkan peneliti untuk bebas bergerak di kantor - kantor tersebut, ditambah dengan pandangan curiga kalanga n birokrat ketika mendapati orang baru yang masuk begitu saja ke kantor mereka tanpa ada yang dicari (hanya melihat- lihat).
1.6.3.3. Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan dokumendokumen yang dianggap pentin g dan berkaitan dengan penelitian ini. Dokumendokumen dalam penelitian ini berupa teks - teks yang dapat ditafsirkan lebih lanjut. Teks- teks ini berbentuk arsip, statistik, hasil laporan, buku- buku, koran harian, website, ataupun hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap permasalahan (berkaitan) dengan penelitian ini.
Dokumen- dokumen berupa buku berguna untuk mendapatkan data tentang sejarah kota Pekanbaru dan sejarah Senapelan. Untuk mengisi data- data statistik yang diperlukan dalam penelitian ini, digunakan buku- buku yang berasal dari Biro Pusat Statistik sebagai penunjangnya. Selain itu, juga terdapat data dari koran harian dan website yang digunakan sebagai penunjang kekuatan informasi dalam penelitian ini.
1.6.4. Pemilihan Informan
Pemilihan informan yang tepat, akan menjamin validitas data yang didapat dari wawancara. Sebaliknya, pemilihan informan yang salah akan mengakibatkan data yang diperoleh akan samar dan tidak valid. Penelitian ini mengambil beberapa informan tertentu (key informan) sebagai subyek penelitian yang dianggap mampu mewakili stakeholder yang terlibat dalam konflik tersebut. Dan teknik pengambilan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik porpusif.
Peneliti memilih informan yang mewakili pihak Pemkot Pekanbaru dari Tim Sembilan, yakni: Kadis Dispenda, Kadis Pasar, Kadis Tata Kota, Kabag Hukum, dan Kepala UPTD Dinas Pasar serta Kepala Tata Usaha Dinas Pasar. Sedangkan di pihak pedagang, dipilih lima orang informan yang dianggap mewakili suara pedagang pasar Senapelan. Di pihak investor, informan diambil seorang. Selain informan- informan yang telah disebutkan itu, terdapat informan- informan lain yang berada di luar pihak utama yang berkonflik, yakni seorang informan dari pihak mediator, seorang dari pihak pendukung perlawanan pedagang, dan seorang pegawai koran harian lokal setempat.
1.6.5. Teknik Analisa Data
Proses analisa data dimulai dengan menelaah informasi atau data yang telah didapat, baik yang diperoleh dari wawancara, pengamatan, ataupun dari studi terhadap dokumen- dokumen. Keseluruhan data yang di dapat tersebut dirangkum dan dikategorisasikan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Selanjutnya, kategori-kategori yang telah diklasifikasikan tersebut dikontruksikan dengan pendekatan kualitatif ke dalam sebuah deskripsi untuk kemudian dianalisis sehingga memungkinkan diambil kesimpulan yang utuh.
1.7. Batasan Waktu dan Hambatan Penelitian
Penelitian ini dibatasai pada jangka waktu tertentu dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian tentang konflik vertikal yang belum usai sampai sekarang. Dengan begitu, diharapkan tidak terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam memahami permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Dan untuk memberikan peluang kepada peneliti- peneliti selanjutnya melakukan penelitian.
Data- data yang dianalisa dibatasi pada jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi data yang didapat pada waktu itu. Penelitian ini dibatasi pada data- data yang berkaitan dengan dominasi kekuasaan, perlawanan, dan resolusi yang terjadi dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2004. Oleh sebab itu, penelitian hanya mengungkapkan bentuk- bentuk dominasi kekuasaan, bentuk- bentuk perlawanan pedagang, dan upaya resolusi konflik yang terjadi di kota Pekanbaru dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 yang berkaitan dengan peremajaan pasar tradisional menjadi pasar modern.
Sedangkan kendala - kendala yang dihadapi dalam penelitian ini adalah kesulitan dalam mewancarai dan mendapatkan data - data tertulis, baik dari pihak pedagang maupun pemerintah. Akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang masih dialami oleh pedagang pascapembongakaran kios, menjadikan pedagang bersikap dingin terhadap upaya- upaya dari orang- orang baru yang ingin mengorek informasi dari mereka. Para pedagang cenderung untuk bersikap tertutup dan tidak ambil pusing terhadap orang – orang baru tersebut. Pedagang biasanya akan menginterogasi dahulu dengan sedikit sinis, dan memandang penuh kecurigaan terhadap orang- orang baru tersebut.
Hal ini pernah dialami oleh peneliti ketika pertama kali mencoba mencari informasi tentang kondisi pedagang dan permasalahan pembangunan pasar tersebut. Pedagang sempat mempertanyakan tentang etnis peneliti, kuliah di universitas mana, dan berdomisili di mana, bahkan mereka juga mempertanyakan tentang tujuan dan kegunaan informasi yang akan di cari oleh peneliti serta meminta peneliti untuk menunjukkan proposal penelitian tersebut. Peneliti juga diminta untuk menunjukkan sejumlah informasi yang telah diperoleh dari media massa. Setelah pedagang merasa cukup puas, barulah pedagang bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti dan merekomendasikan peneliti kepada sejumlah informan lainnya.
Sedangkan di pihak pemerintah, mereka cenderung menahan informasi yang berhubungan dengan kebijakan pembangunan pasar tersebut dan sedikit melakukan komunikasi dengan peneliti. Kebanyakan dari mereka saling melempar tanggung jawab ketika informasi mengenai pembangunan diungkit. Ada yang mengatakan bahwa tugasnya mengurusi keabsahan sertifikat tanah dan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) saja, ada yang mengatakan bahwa ini adalah wewenang Ketua Tim Sembilan, sedangkan Ketua Tim Sembilan mengatakan bahwa ini adalah kebijaksanaan dari atas, bersifat rahasia tidak untuk konsumsi publik. Dan ada juga yang mengatakan bahwa permasalahan pembangunan pasar Senapelan telah selesai, tidak perlu diungkit lagi karena pembangunan (pondasi telah dipasang) dan pedagang telah dipindahkan.