BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hasil pemikiran, cipta dan karya manusia merupakan kebudayaan yang berkembang pada masyarakat, pikiran dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus pada akhirnya menjadi sebuah tradisi.[1] Tradisi merupakan proses situasi kemasyarakatan yang di dalamnya unsur-unsur dari warisan kebudayaan dan dipindahkan dari generasi ke generasi.[2]
Dalam sejarahnya, perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda. Kebudayaan sebagai cara merasa dan cara berpikir yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. Salah satu unsur budaya Jawa yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen.[3]
Simbol yang juga merupakan salah satu ciri masyarakat Jawa, dalam wujud kebudayaannya ternyata digunakan dengan penuh kesadaran, pemahaman, penghayatan tertinggi, dan dianut secara tradisional dari satu generasi ke generasi berikutnya.[4] Hal ini disebabkan orang Jawa pada masa itu belum terbiasa berfikir abstrak, maka segala ide diungkapkan dalam bentuk simbol yang konkrit. Dengan demikian segalanya menjadi teka-teki. Simbol dapat ditafsirkan secara berganda. Juga berkaitan dengan ajaran mistik yang memang sangat sulit untuk diterangkan secara lugas, maka diungkapkan secara simbolis atau ungkapan yang miring (bermakna ganda).[5]
Di kalangan masyarakat Jawa terdapat kepercayaan adanya hubungan yang sangat baik antara manusia dan yang gaib. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai ritual sakral. Geertz menuturkan bahwa hubungan manusia dengan yang gaib dalam dimensi kehidupan termasuk cabang kebudayaan.[6] Salah satunya adalah Tradisi Ngijing pada Upacara Selametan Nyewu di Cangkringan Sleman. Tradisi ini merupakan implementasi kepercayaan mereka akan adanya hubungan yang baik antara manusia dengan yang gaib.
Tradisi ini tidak diketahui secara pasti asal-usulnya. Para pelaku tradisi hanya bisa mengatakan bahwa tradisi ini mereka warisi dari nenek moyang mereka kurang lebih tiga atau empat generasi yang lalu.[7]
Ngijing merupakan bentuk kata kerja dari kijing yang artinya nisan, dengan demikian arti ngijing adalah meletakkan nisan diatas makam. Makna upacara dalam tema ini lebih mengarah pada kronologisasi ritual selametan nyewu. Selametan berasal dari kata selamat, masyarakat Jawa memaknainya sebagai sebuah media untuk memanjatkan doa memohon keselamatan bagi yang meninggal dan yang ditinggal.
Selametan nyewu atau selamatan seribu hari adalah prosesi ritual paling penting, karena selametan nyewu merupakan upacara penutup dari rangkaian upacara selamatan orang meninggal. Pada masyarakat Jawa, apabila salah seorang keluarganya meninggal maka ada serangkaian upacara yang dilaksanakan, antara lain upacara pada saat kematian (selametan surtanah atau geblag), hari ketiga (selametan nelung dina), hari ketujuh (selametan mitung dina), hari keempat puluh (selametan patang puluh dina), hari keseratus (selametan nyatus), peringatan satu tahun (mendak sepisan), peringatan kedua tahun (mendak pindo) dan hari keseribu (nyewu) sesudah kematian.[8] Dan ada juga yang melakukan peringatan saat kematian seseorang untuk terakhir kalinya (selametan nguwis-uwisi).[9] Pada setiap upacara yang dilakukan selalu diadakan tahlilan dan doa untuk memohon ampunan kepada Tuhan atas kesalahan dan dosa arwah yang meninggal. Prosesi selametan nyewu pada masyarakat Jawa umumnya sama. Lain halnya dengan selametan nyewu yang ada di Dusun Mudal, nyewu bukan hanya sekedar selametan dengan tahlil dan doa, melainkan disertai dengan upacara ngijing yang terkesan sekedar simbolis. Makam hanya dibongkar untuk diambil pasaknya (kayu penutup jenazah) kemudian jenazah yang telah menjadi tulang belulang didoakan layaknya mendoakan jenazah yang baru diletakkan di liang kubur, kemudian liang kubur tersebut ditimbun dengan tanah dan dipasang batu nisan (kijing).
Setidaknya ada dua fungsi yang terkandung di dalam tradisi ini. Pertama hanya sebagai syarat sebelum dipasangi batu nisan (kijing), pasak yang umumnya terbuat dari kayu harus dicabut karena khawatir keropos sehingga tidak mampu menahan beban berat batu nisan yang terbuat dari batu tatahan.
Fungsi yang kedua, tradisi ini juga merupakan implementasi kepercayaan mereka akan adanya siksa kubur dengan melihat posisi tulang-belulang yang terlihat berantakan seperti tengkorak kepala ada di kaki, hal itu merupakan siksa kubur yang diterimanya sebagai imbas dari perbuatan buruknya selagi hidup di dunia. Begitupun sebaliknya ketika mereka mendapati tulang- belulang dalam keadaan utuh seperti saat raga dikebumikan, mereka percaya bahwa semasa hidupnya almarhum orang yang baik. Kepercayaan mereka tentang adanya siksa kubur versi tulang-belulang seringkali terbukti, karena durasi seribu hari adalah waktu yang singkat untuk membuktikannya. Tentunya kepercayaan ini akan lebih mengingatkan manusia bahwa suatu saat manusia pasti akan mengalami hal seperti itu, sehingga seseorang tersugesti untuk merefleksikan jalan hidupnya menjadi lebih baik.[10]
Pemaknaan tersebut yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian, adanya korelasi antara agama dan tradisi yang kemudian keduanya saling mempengaruhi dan menyentuh berbagai aspek kehidupan.
Sebelum tradisi Ngijing dilaksanakan, ada beberapa tahapan yang dilakukan. Tahap pertama yaitu tiga hari sebelum prosesi, pada malam harinya mengadakan tahlilan. Tahap kedua yaitu dua hari sebelum prosesi, pada malam hari mengadakan yasinan. Tahap ketiga yaitu satu hari sebelum prosesi, pada malam harinya orang yang berhajat mengadakan khataman al Qur’an. Semua proses ini melibatkan para kerabat terdekat dan warga sekitar dengan dipimpin oleh seorang modin.[11] Kaum lelaki ikut serta dalam proses tersebut, sedangkan para perempuan membantu urusan dapur.
Rangkaian prosesi ini jelas mencerminkan nilai-nilai ke Islaman yang terdiri dari nilai aqidah, nilai syari'ah dan nilai akhlaq. Nlai-nilai fundamental dalam Islam ini kemudian oleh penulis dijadikan kajian pokok dalam kajian budaya ini. Penulis berusaha mengungkapkan nilai-nilai tersebut dengan berlandaskan pada Naqal (Al-Qur'an dan Hadits).
Di antara semua kewajiban sosial, menurut Niels Mulder, kewajiban untuk turut ambil bagian dalam upacara kematian dianggap paling penting. Tidak ambil bagian dalam peristiwa penuh duka yang merupakan puncak dalam lingkaran kehidupan dianggap sebagai bukti penghinaan terhadap tata tertib yang baik. Akibatnya ia dapat dikucilkan dari kehidupan sosial, orang enggan datang bila dia mengadakan slametan dan juga tidak mau membantu berbagai keperluannya. Ia hidup diluar partisipasi ritual dan sosial, di luar kehormatan dan secara sosial ia mati. Penolakan serupa itu adalah sarana sosial guna menandaskan batas-batas di dalam mana kerukunan dan keadaan slamet harus diutamakan.[12]
Penelitian ini penting dilakukan mengingat Tradisi Ngijing Pada Upacara Selametan Nyewu merupakan rangkaian sejarah masa lalu yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan melihat realitas sekarang ini, yakni masuknya budaya luar yang dapat berdampak positif maupun negatif, maka diperlukan usaha penanaman kembali nilai-nilai moral melalui tradisi yang ada. Selain itu juga untuk mendokumentasikannya agar tradisi ini tidak hilang ditelan jaman.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Fokus penelitian ini adalah Tradisi Ngijing Pada Upacara Selamatan Nyewu di dusun Mudal, Argomulyo, kecamatan Cangkringan, kabupaten Sleman. Dengan menitik beratkan pada analisa nilai-nilai Islam. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang melatar belakangi dilakukannya Tradisi Ngijing pada Upacara Selametan Nyewu di dusun Mudal, Argomulyo, cangkringan, Sleman?
2. Nilai-nilai Islam apa yang terkandung dalam Tradisi Ngijing?
3. Apa pengaruh nilai-nilai Islam dalam tradisi Ngijing terhadap prilaku keagamaan masyarakat dusun Mudal?
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan latar belakang dilakukannya Tradisi Ngijing Pada Upacara Selametan Nyewu.
2. Untuk menjelaskan nilai-nilai Islam dalam tradisi Ngijing pada upacara selametan nyewu.
3. Untuk menjelaskan nilai-nilai Islam dalam tradisi Ngijing yang mempengaruhi prilaku keagamaan masyarakat dusun Mudal.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat berguna:
1. Sebagai acuan atau pembanding dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam realitas kehidupan.
2. Untuk memperkaya khazanah kebudayaan Islam.
3. Untuk menambah wawasan khususnya wawasan tentang nilai-nilai Islam dalam Tradisi Ngijing Pada Upacara Selametan Nyewu.
4. Memperluas khasanah kebudayaan lokal yang ada di Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Dari pengamatan peneliti selama ini, belum ditemukan buku ataupun tulisan yang berkaitan dengan Nilai-nilai Islam dalam Tradisi Ngijing Pada Upacara Selametan Nyewu. Hal ini tidak menyurutkan semangat penulis untuk melanjutkan penelitian yang kemudian merujuk pada perbandingan pustaka. Dengan kata lain penulis mencari tema-tema yang relevan dengan tema yang diangkat antara lain:
Drs. Moh. Rofangi dalam penelitiannya tentang Sedekahan di Yogyakarta (Suatu study tentang pola interaksi sosial), sedekah atau shodakoh dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat Tuhan sebab adanya kelahiran dan perkawinan dengan membagikan besek. Pada ritual upacara kematian, sedekahan dilakukan dengan niat pahala shodakohnya di limpahkan kepada almarhum agar almarhum dijauhkan dari siksa kubur. Masyarakat Cangkringan pun demikian, sedekahan mewarnai norma kesusilaan mereka. Sedekahan bukan hanya sekedar makna ritual saja, toleransi dan kerukunan beragama adalah hal terpenting dalam menilai arti sebuah tradisi[13].
Drs. H. Zarkasyi A. Salam dalam hasil penelitiannya[14] tentang ritual kematian yang mempunyai makna toleransi dan kerukunan beragama yang tinggi.
Seperti penelitian yang penulis lakukan, ritual seputar kematian mempunyai fungsi dan pengaruh yang sarat dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat.
Muhamad Hisyam dalam skripsinya[15] membahas beberapa aspek akulturasi Islam di Jawa. Di antaranya tentang rangkaian selametan yang diadakan bertepatan dengan saat-saat penting di dalam kehidupan (dari masa kehamilan sampai keseribu sesudah kematian).
Adanya penggunaan simbol dalam bentuk sesajen[16] yang menyertai doa-doa berbahasa Arab menjadi bukti adanya akulturasi Islam di Jawa. Relevansinya dengan tema yang diangkat terletak pada akulturasi Islam di Jawa. Penggunaan sesajen sebagai sebuah simbol, dengan pemaknaan yang mendalam dan penuh kesadaran ataupun hanya sekedar mengikuti kebiasaan, selalu diikutsertakan dalam melangsungkan tahlilan dan doa yang tentunya bernafaskan Islami.
Koentjaraningrat dalam bukunya,[17] memaparkan secara komprehensip tentang kebudayaan orang Jawa dari akar budayanya sampai dengan ritual dalam lingkaran kehidupan dari kelahiran sampai dengan kematian. Karya etnografi tersebut merupakan sumber primer dalam penelitian ini, karena tema yang diusung oleh penulis juga merupakan bagian dari bahasannya.
Penelitian ini memfokuskan pada Nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Tradisi Ngijing Pada upacara Selametan Nyewu.
E. Landasan Teori
Kebudayaan cenderung di ikuti oleh masyarakat pendukungnya secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, meskipun sering terjadi anggota masyarakat itu datang silih berganti disebabkan munculnya bermacam-macam faktor, seperti kematian dan kelahiran.[18]
Menurut Malinowski dalam Magic, Science and Religion, (Boston, 1984), hlm. 33-35, kematian merupakan krisis yang paling atas dan paling akhir, serta krisis yang paling penting. Kematian menimbulkan dalam diri orang yang berduka-cita suatu tanggapan ganda cinta dan segan, sebuah ambivalensi emosional yang sangat mendalam dari pesona dan ketakutan yang mengancam baik dasar-dasar psikologis maupun sosial eksistensi manusia. Orang-orang yang berduka-cita ditarik ke arah almarhum oleh rasa kasih sayang kepadanya, disentakkan belakang darinya oleh perubahan yang ditimbulkan oleh kematian. Ritus-ritus pemakaman, dan praktik-praktik duka-cita yang menyertainya, berpusat di sekitar hasrat paradoksal ini baik untuk memelihara ikatan berhadapan dengan kematian maupun dengan segera dan sama sekali memutuskan ikatan itu, dan menjamin dominasi kehendak untuk hidup atas kecendrungan untuk berputus-asa. Ritus-ritus kematian menjaga kelangsungan kehidupan manusia dengan mencegah orang-orang yang berduka-cita dari penghentian entah dorongan untuk lari terpukul-panik dari keadaan itu atau sebaliknya, dorongan untuk mengikuti almarhum ke kubur[19].
Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis, yaitu pendekatan yang menggunakan nilai-nilai yang mendasari perilaku tokoh sejarah, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup dan sebagainya.[20] Dengan pendekatan ini, penulis mencoba memaparkan situasi dan kondisi masyarakat yang meliputi kondisi sosial budaya dan kondisi keagamaannya. Antropologi memberi bahan prehistoris sebagai pangkal bagi tiap penulis sejarah. Kecuali itu, konsep-konsep tentang kehidupan masyarakat dikembangkan oleh antropologi, akan memberi pengertian untuk mengisi latar belakang dari peristiwa sejarah yang menjadi pokok penelitian.[21] Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.[22]
Teori adalah kreasi intelektual, penjelasan beberapa fakta yang telah diteliti dan diambil prinsip umumnya.[23] Dalam Poerwadarminta teori adalah asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar sesuatu kesenian atau ilmu pengetahuan.[24] Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Hermeneutik oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filsuf Jerman yang menaruh perhatiannya pada sejarah dan lebih banyak dikenal dengan riset-riset historisnya. Dilthey memandang sebuah peristiwa sejarah sebagaimana ia memandang dunia yaitu dalam dua wajah, wajah luar (eksterior) dan wajah dalam (interior). Secara eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau tertentu; secara interior peristiwa itu dilihat atas dasar kesadaran atau keadaan sadar. Kedua dimensi dari peristiwa sejarah ini tidak bernilai sama. Bahkan dapat dikatakan bahwa kedua dimensi itu saling bergantung satu sama lain.[25] Eksterior sebagai sesuatu yang riil pastinya mengandung nilai yang abstrak atau interior, Hermeneutik sebagai sebuah teori interpretasi digunakan untuk mengungkapkan interioritas eksterior. Dalam kebebasanya yang inheren manusia membayangkan sebuah tema di dalam angan-angan dan mengevaluasi tema tersebut menurut kebebasannya. Bila seorang sejarawan berdiri ditengah-tengah reruntuhan dan memandangnya sebagai peninggalan masa lampau, sejarawan tersebut mengetahui person-person dan segala perbuatannya seakan-akan bermunculan dalam benaknya dengan segala corak dan warnanya sendiri yang khas. Sejarawan itu kemudian "mengaktifkan kembali" segala peristiwa yang ada dengan bantuan data yang terdapat dalam reruntuhan tersebut. karya semacam itulah yang disebut hermeneutik atau interpretasi.
Dengan teori hermeneutik ini, penulis mencoba menganalisa data yang telah terhimpun untuk menjelaskan nilai aqidah, syari'ah dan akhlak sacara sendiri-sendiri. Selain itu penulis mencoba memaparkan latar belakang dilakukannya tradisi Ngijing. Dengan pendekatan antropologi penulis menganalisa dapatkah nilai-nilai diatas mendasari perilaku keagamaan penganut tradisi tersebut.
F. Metode penelitian
Dalam penelitian ini, penulis memerlukan sebuah metode penelitian yang berguna untuk memperoleh data yang akan dikaji. Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian mempunyai tujuan mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti. Tujuan untuk mengetahui (goal of knowing) haruslah dicapai dengan menggunakan metode atau cara-cara yang akurat.[26]
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yaitu sebuah proses yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala, peristiwa ataupun gagasan yang timbul di masa lampau, untuk menemukan generalisasi yang berguna dalam usaha untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang.[27]
Metode sejarah meliputi empat tahapan sebagai berikut:
1. Pengumpulan Sumber atau Heuristik
Heuristik sebagai tahap pertama dalam metode sejarah digunakan untuk mengumpulkan informasi-informasi yang terkait dengan penelitian yang akan dibahas. Untuk itu, pada tahap ini dilakukan cara-cara pengumpulan sumber sebagai berikut:
a. Metode observasi atau pengamatan dilakukan agar dapat memberikan informasi atas suatu kejadian yang tidak dapat diungkapkan dan telah menjadi kebiasaan masyarakat setempat. Di samping itu, metode observasi juga digunakan sebagai langkah awal yang baik untuk menjalin interaksi sosial dengan tokoh masyarakat dan siapa saja yang terlibat dalam penelitian ini.
b. Metode Interview atau wawancara dilakukan dengan bertatap muka dan mendengarkan secara langsung informasi-informasi dan keterangan-keterangan. Penulis melakukan tanya jawab secara langsung kepada pelaku tradisi, orang yang mengetahui tentang tradisi Ngijing pada Upacara Selametan Nyewu. Menurut prosedurnya penulis melakukan wawancara bebas terpimpin yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan terpimpin dengan menyusun pokok-pokok permasalahan, selanjutnya dalam proses wawancara berlangsung mengikuti situasi.[28]
2. Verifikasi atau kritik sumber
Penelitian ini menggunakan kritik historis yaitu cara-cara untuk meneliti otentisitas dan kredibilitas sumber yang diperoleh.[29] Kritik dilakukan dengan kritik ekstern dan intern.
a. Kritik Ekstern
Kritik ekstern dilakukan untuk mengetahui tingkat keaslian sumber data guna memperoleh keyakinan bahwa penelitian telah dilakukan dengan mempergunakan sumber data yang tepat.[30] Dengan kritik ekstern ini penulis berusaha mendapatkan kebenaran sumber data dengan mengkaji berbagai faktor seperti adanya kesesuaian hasil wawancara dengan observasi dan penelitian yang penulis lakukan.
b. Kritik Intern
Kritik Intern adalah kelanjutan kritik ekstern bertujuan untuk meneliti kebenaran isi (data) sumber data itu.[31] Adapun terhadap sumber lisan, penulis melakukan kritik ini dengan melihat integritas pribadi informan, usia informan, jabatan informan, dan keterlibatan informan dalam pelaksanaan tradisi Ngijing.
3. Interpretasi
Dalam tahap ketiga ini, penulis melakukan analisis terhadap sumber data yang telah diverifikasi dengan cara mengklasifikasikan sumber data di bawah tema-tema tertentu. Apabila terdapat data yang berbeda dalam suatu permasalahan yang sama maka peneliti membanding-bandingkan satu dengan yang lainnya untuk menentukan yang lebih mendekati kebenaran. Berdasarkan teori yang dipakai, penulis mencoba mengorganisasikan data berdasarkan tema-tema yang dibuat dan kemudian ditarik kesimpulan. [32]
4. Historiografi
Sabagai tahap terakhir dalam metode sejarah, historiografi disini merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan sehingga menjadi sebuah karangan sistematis yang dapat dibaca orang lain dan di dalamnya mengandung pelukisan tentang kehidupan suatu masyarakat dan kebudayaan di suatu daerah.[33]
G. Sistematika Pembahasan
Rangkaian pembahasan penelitian harus selalu sistematis dan saling berkaitan satu dengan yang lain agar menggambarkan dan menghasilkan hasil penelitian yang maksimal. Sistematika pembahasan ini adalah deskripsi urutan-urutan penelitian yang digambarkan secara sekilas dalam bentuk bab-bab.
Garis besarnya, penelitian ini memuat tiga bagian yaitu pendahuluan pada bab pertama, isi atau hasil penelitian terdapat di dalam bab dua, bab tiga dan bab empat, sementara kesimpulan ada pada bab lima.
Bab Pertama, adalah pendahuluan yang merupakan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini adalah kerangka pemikiran penelitian yang dimaksudkan untuk lebih memfokuskan proses penelitian yang dilakukan.
Bab Kedua, membahas situasi dan kondisi masyarakat dusun Mudal kecamatan Cangkringan, meliputi kondisi geografis, kondisi sosial budaya dan kondisi keagamaan. Bab ini dimaksudkan memberikan gambaran tentang masyarakat dan lingkungannya yang menjadi latar belakang tradisi Ngijing pada Upacara Selametan Nyewu. Bab ini sebagai aplikasi bab pertama dan sebagai pengantar atas bab selanjutnya.
Bab Ketiga, membahas deskripsi Tradisi Ngijing pada Upacara Selametan Nyewu, yang ditekankan pada latar belakang dilakukannya tradisi Ngijing. Pemaparan rangkaian ritual pra-prosesi tradisi Ngijing yang meliputi tahlilan, yasinan dan khataman Al-Qur'an. Persiapan dan perlengkapan tradisi Ngijing dan prosesi upacara selengkapnya.
Bab Keempat, membahas nilai-nilai Islam dalam tradisi Ngijing pada Upacara Selametan Nyewu yang mempengaruhi prilaku keagamaan masyarakat dusun Mudal yang terbagi dalam tiga hal yaitu nilai aqidah, nilai syariah dan nilai akhlaq.
Bab Kelima, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan secara keseluruhan dan disertai dengan saran-saran.
[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa ( Jakarta: Balai Pustaka, 1984 ), hlm. 322.
[2] Thomas Dawes Elliot, dalam Henry Pratt Fair Child (ed.), Dictionary of Sociology and Related Sciences (New Jersey: Little Field, Adam & Co., 1975), hlm. 322.
[3] A. Syahri, Implementasi Agama Islam Pada Masyarakat ( Jakarta: Depag, 1985), hlm. 2.
[4] Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita 2001), hlm. 1.
[5] Simuh, Sufisme Jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), hlm. 130.
[6] Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Terj. Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jawa, 1983), hlm. 8.
[7] Wawancara dengan beberapa pelaku tradisi yang kemudian disimpulkan oleh penulis bahwa mereka melaksanakan tradisi ini sebagai wujud penghormatan mereka terhadap leluhur dan untuk melestarikan kebudayaan.
[8] Rudini, dkk., Profil Propinsi Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Penerbit Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992), hlm. 93.
[9] Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa Pra-Islam”, dalam Islam dan Kebudayaan Jawa, editor Darori Amin (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 7.
[10] Wawancara dengan pelaku tradisi, Bapak Pardjono, tanggal 5 september 2003. Cangkringan.
[11] Modin adalah sebutan orang Jawa bagi Lebai atau Ulama di kampung, biasanya dipanggil untuk memimpin dan membacakan do’a. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hal. 231.
[12] Niels Mulder, Jawa – Thailand, Beberapa Perbandingan Sosial Budaya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), hlm. 67.
[13] Drs. Moh. Rofangi, Sedekahan di Yogyakarta "suatu study tentang pola interaksi sosial", (Yogyakarta: P3 M IAIN Sunan Kalijaga, 1980).
[14] Drs. H. Zarkasyi A. Salam, "Ritual Kematian Dalam Toleransi Dan Kerukunan Beragama" Kasus di Desa Sapen, Gondokusuman, Yogyakarta, 1996. (Yogyakarta: P3 M IAIN Sunan Kalijaga, 1996).
[15] Muhamad Hisyam, Beberapa Aspek Akulturasi Islam di Jawa (skripsi S-1 di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 1978).
[16] Sesajen adalah penyerahan sajian pada saat-saat tertentu dalam konteks kepercayaan terhadap mahluk halus yang dilaksanakan di tempat-tempat tertentu seperti di bawah tiang rumah, di pekuburan, di persimpangan jalan, dibawah pohon-pohon besar, di tepi sungai serta di tempat-tempat lain yang dianggap keramat. Lihat Koentjaraningrat, Manusia dan kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbit Djembatan, 1980), hlm. 341.
[17] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994)
[18] Soejono Soekamto, Pengantar Ilmu Sosiologi, (Jakarta: Geramedia, 1969), hlm. 79
[19] Sebagaimana dikutip oleh Cliffor Geertz dalam Kebudayan dan Agama, hlm. 95-96.
[20] Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Pendekatan Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 4.
[21] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990), hlm. 35-36.
[22] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 35.
[23] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 63.
[24] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm. 1054.
[25] E.Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 47.
[26] Saifuddin Azwar M.A, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm 91.
[27] Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode dan Tehnik (Bandung: Tarsito, 1980), hlm. 123.
[28] Cholid Narbuko Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 85.
[29] Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian, hlm. 135.
[30] Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hlm. 80.
[31] Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian, hlm. 135.
[32] Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1992), hlm. 67.
[33] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1989), hlm. 44.