BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan sangatlah penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan, manusia sebagai makhluk yang berkehormatan, pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan penuh rasa kasih sayang antara suami dan isteri.1
Dalam hubungan perkawinan banyak menimbulkan berbagai konsekwensi sebagai dampak adanya perikatan (Aqad) baru yang terjalin, antara lain terjalinnya ikatan kekeluargaan di antara keduanya, di samping itu hubungan perkawinan juga membuahkan adanya hak-hak baru yang sebelumnya tidak ada, kewajiban-kewajiban baru antara pihak yang satu terhadap yang lainnya, di antara kewajiban–kewajiban itu, termasuk kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya.2
Jika seorang isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya dan suami itu telah bersenang-senang kepadanya, sedangkan suami isteri tersebut termasuk orang yang ahlu al-istimta>’ dalam perkawinan yang sah maka wajib kepada suami untuk memberikan nafkah dan diserahkan dengan sepantasnya,3 dan hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw:
فاتّقوا الله في النساء فإنّكم أخذ تموهنّ بأمانة الله واستحللتم فروجهنّ بكلمة الله ولكم عليهنّ إلا يوطئن فراشكم أحدا تكرهونه فإنّ فعلن ذلك فاضربوهنّ ضربا غير مبرح ولهنّ عليكم رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف4
Apabila seorang isteri taat kepada suaminya maka wajib bagi suami memberikan nafkah, sedangkan jika suami tidak memberikannya hingga lewat suatu masa maka nafkah tersebut menjadi hutang suami (nafkah qada>’) karena tanggungannya, dan tidaklah gugur hutang tersebut dengan melewati suatu masa.5
Ibnu Hazm seperti dikutip oleh as-Sayyid Sabiq berkata: “suami berhak menafkahi isterinya sejak terjalinnya akad nikah baik suami mengajak hidup serumah atau tidak, baik isteri masih di buaian atau isteri berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau fakir, masih punya orang tua atau yatim piatu, gadis atau janda, merdeka atau budak, semua itu disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan suami”.6
Tanggung jawab suami, tidak hanya ketika seorang wanita itu masih menjadi isterinya yang sah, akan tetapi kewajiban untuk memberikan nafkah juga pada saat perceraian,7 karena pada hakekatnya ucapan cerai itu baru berlaku setelah habis masa ‘iddahnya.8 Berkaitan dengan nafkah Allah SWT berfirman:
وعلي المولود له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف9
Terputusnya perkawinan dalam Islam membawa akibat-akibat tertentu baik kepada mantan suami atau kepada mantan isteri.10 Akibat hukum terputusnya perkawinan karena talak adalah:
Bahwa bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau benda, kecuali qabla ad dukhu>l; memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa iddah (menunggu), kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyu>z; melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo apabila qabla ad-dukhu>l; memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.11 dan memberikan nafkah iddahnya kepada bekas isterinya, kecuali isterinya nusyuz.12
Kewajiban-kewajiban tersebut melekat pada diri suami dan harus dipenuhi oleh suami karena merupakan hak-hak isteri sebagai akibat hukum dari cerai talak, dan tanggung jawab nafkah dalam kasus perceraian itu sesuai dengan firman Allah SWT:
أسكنوهنّ من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضارّوهنّّ لتضيّقوا عليهنّ وإن كنّ أولات حمل فأنفقوا عليهنّ حتّي يضعن حملهنّ فإن أرضعن لكم فأتوهنّ أجورهنّ وأتمروا بينكم بمعروف وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى.13
Menurut mazhab Abu Hani>fah, mantan suaminya wajib memberikan nafkah kepada mereka (mantan isteri) secara komplit dan utuh baik makanan, pakaian, dan tempat tinggal selama masa ‘iddah,14 menurut ulama Mujtahiddin, bahwa wajib kepada seseorang untuk menafkahi orang-orang yang wajib diberikan nafkah seperti isterinya, ayahnya serta anaknya yang masih kecil (belum sampai umur).15 Sedangkan menurut para ulama Maliki suami berkewajiban untuk menyediakan akomodasi bagi isteri yang dicerainya, bila dia telah bercampur dengannya, meskipun demikian, sang suami tak wajib memberikan nafkah kepada isteri yang dicerai talak tiga, tetapi wanita yang hamil tetap mendapatkan nafkahnya baik talak satu maupun talak tiga.16
Sedangkan berkaitan dengan ‘iddah bagi mantan isteri yang dicerai suaminya yang masih hidup (cerai Hidup), adalah : a. Jika perempuan itu masih haid, ‘iddahnya 3 kali sucian; b. Jika perempuan yang ditalak belum/ tidak haid karena belum saatnya (misalnya: usianya masih sedikit atau tidak haid lagi karena sudah tua maka ‘iddahnya 3 bulan).17
Berkaitan dengan persoalan di atas kemudian muncul seorang tokoh feminis muslim asal India, yaitu Asghar Ali Engineer18, yang dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1949 di Bombay, yang mempunyai pendapat berbeda dengan fuqaha yang lain mengenai pemberian nafkah bagi isteri yang telah dicerai. Dia adalah seorang Direktur Institut of Islamic Studies, Bombay, India, di samping itu dia juga seorang teolog Islam dengan reputasi Internasional. Dia sudah menulis banyak buku, paper penelitian dan artikel tentang teologi, yurisprudensi, sejarah dan filsafat Islam serta memberi kuliah di berbagai Negara, dia juga adalah seorang feminis muslim yang gigih dalam penegakan kesetaraan gender dan perjuangan untuk menetapkan relasi gender yang berkeadilan dalam Islam. Penulis memilih Asghar disebabkan karena Asghar di mata para tokoh feminis mempunyai kedudukan yang istimewa. Pertama, karena ia menempatkan masalah-masalah pandangan yang berkembang dalam dunia Islam tentang perempuan dari sudut/metode pendekatan yang tidak hanya terbatas pada masalah fiqh akan tetapi juga mencakup aspek filsafat, antropologi, sosiologis dan sejarah. Kedua, dia menyajikan tulisannya dalam prespektif tantangan sosio kultural yang dihadapi dunia Islam zaman modern ini. Di samping pandangannya yang cukup revolusioner dalam bidang teologi yaitu perlunya dikembangkan “teologi pembebasan Islam” namun Asghar juga memiliki pandangan yang cukup liberal dalam menginterpretasikan suatu teks yang dianggap bias gender. Salah satunya adalah mengenai pemberian nafkah bagi mantan isteri yang dicerai.
Menurut Asghar pemberian nafkah bagi mantan isteri yang telah diceraikan tidak hanya selama masa ‘iddah saja, akan tetapi sampai menikah lagi atau mati,19 sebagian pemimpin Islam menganggap bahwa hukum Islam itu suci dan tidak bisa diubah, para pemimpin ini mempropagandakan, dalam Islam mantan isteri yang diceraikan itu hanya dapat jatah nafkah pada periode ‘iddah, bahkan ada diantara pemimpin itu berpendapat bahwa memberikan nafkah di luar periode tersebut adalah dosa.20
Menurut Asghar adalah jauh dari rasa keadilan bila isteri yang dicerai harus dipelihara oleh orang tua atau kerabatnya setelah periode ‘iddah, adalah benar bahwa dalam hukum Islam seorang yang telah dicerai berhak mendapatkan nafkah hanya selama masa ‘iddah, setelah itu dia bebas untuk kawin lagi atau kembali kepada orang tuanya atau jika sudah tidak punya orang tua atau kepada kerabatnya.21
Hal senada juga diungkapkan oleh Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam, berkaitan dengan QS. al-Baqarah: 241, yang menegaskan bahwa perempuan yang ditalak berhak atas mata' dengan ma'ru>f, sebagai hak atas orang-orang yang bertaqwa. Mata' dengan ma'ru>f biasanya diartikan sebagai hiburan yang pantas, berupa sejumlah harta yang diberikan kepada isteri yang ditalak, untuk memperluas arti mata' sebagaimana disebutkan dalam al-Quran yang dikaitkan pula dengan ma'ru>f (yang pantas), tidak ada halangan apabila pengadilan dalam kasus-kasus perceraian tertentu memutuskan ujud dari mata' itu berupa sejumlah uang yang dapat menjadi biaya hidup mantan isteri sehabis masa ‘iddah, untuk waktu tertentu.22
Sedangkan dasar filosofis yang dikemukakan Asghar adalah bahwa semua manusia adalah sama, merdeka dan makhluk berakal yang memberi kecenderungan kepada persamaan dan keadilan. Oleh karena itu secara natural akan selalu melawan segala bentuk penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan dalam segala hal. Dengan menggali nilai-nilai revolusioner dalam kitab suci dan semangat perjuangan para nabi, khusunya Nabi Muhammad dalam menegakkan nilai-nilai keislaman sebagai sumber inspirasi dalam mengkritisi realitas praksis sejarah, Asghar berpendapat bahwa Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita sehingga tidak ada subordinasi atas wanita. Yang ada hanya kesetaraan gender dalam Islam.23
Berangkat dari pendapat Asghar Ali Engineer yang kontroversi dengan pendapat jumhur ulama dan Kompilasi Hukum Islam, maka menjadi sangat penting kiranya masalah ini diteliti lebih mendalam melalui skripsi ini, sebagai kontribusi dan kajian ulang pemikiran dalam pengembangan kajian kontemporer.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kriteria bagi wanita yang berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya menurut Asghar? dan bagaimanakah Asghar memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri?
2. Bagaimana relevansinya dengan konteks sekarang?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan bagaimana pandangan Ashgar Ali Engineer kriteri-kriteria bagi mantan isteri yang berhak untuk mendapatkan nafkah, dan untuk menjelaskan pandangan-pandangan Asghar dalam memahami tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan nafkah bagi mantan isteri.
b. Untuk menjelaskan bagaimana relevansi pendapat Asghar dengan konteks sekarang.
2. Kegunaan Penelitian
a. Hasil studi ini setidaknya dapat ikut andil dalam memperkaya kajian keislaman tentang perceraian, khususnya pemberian nafkah bagi mantan isteri.
b. Sebagai bahan kajian ulang bagi pemerhati hukum Islam terutama berkaitan dengan reaktualisasi hukum perkawinan Islam di Indonesia serta kajian ulang terhadap pemikiran Asghar Ali Engineer.
Telaah Pustaka
Asghar Ali Engineer adalah seorang pemikir sekaligus da'i yang memimpin salah satu kelompok Syi'ah Ismai'liyah, Daudi Bohras di Bombay India. Sosok seorang Engineer memang tidak terkenal sebagaimana para pemikir muslim lainnya seperti Ali Syaria'ti, Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, maupun Mohammad Arkoun. Namun demikian bukan berarti ia tidak mempunyai reputasi. Reputasinya ditunjukkan melalui berbagai karya yang sudah beredar di komunitas akademis muslim di Malaysia, Philipina, Pakistan, dan anak benua India sendiri. Di Indonesia sendiri karya-karya tulisnya sudah banyak beredar, baik dalam bentuk berbahasa Inggris maupun yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya Hak-hak Perempuan dalam Islam, diterbitkan oleh LSPPA, Islam dan Teologi Pembebasan, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Islam dan Pembebasan oleh LKis, dan lain-lainya.
Walaupun demikian, sepanjang pengamatan penyusun sangat minim sekali tulisan yang membahas dan mencermati pola pemikiran Ashgar Ali Engineer dalam bentuk karya ilmiah. Ada beberapa tulisan yang membahas tentang Asghar Ali Engineer, di antaranya adalah tesis Nasihun Amin, Teologi Pembebasan sebagai Alternatif (Telaah terhadap Pemikiran Ashgar Ali Engineer).24 Dalam tesis ini Nasihun Amin berusaha mencermati pola konstruksi teologi pembebasan Islam yang dibangun oleh Asghar Ali Engineer sebagai bentuk alternatif teologis dalam Islam.
Adapun karya lainnya adalah skripsi Ade Ismail Fahmi, Peran Perempuan dalam Nafkah Keluarga Menurut Pemikiran Syekh Nawawi dan Asghar Ali Engineer.25 Dalam skripsi ini penulisnya berusaha melakukan studi komparatif antara pemikiraan Syekh Nawawi dan Asghar Ali Engineer tentang peran serta perempuan dalam mencari nafkah. Di mana selama ini beban mencari nafkah adalah semata--mata menjadi tanggung jawab suami sedangkan peran perempuan hanya sebatas menjadi ibu rumah tangga. Di samping itu, ada karya tulis M. Agus Nuryatno dalam bukunya yang berjudul Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender (Studi atas Pemikiran Asghar Ali Engineer).26 Dalam buku ini penulisnya hanya membahas konstruksi pemikiran Asghar Ali Engineer secara umum dengan mencoba mengaitkan bagaimana semangat teologi pembebasan mempengaruhi pemikiran Asghar tentang status wanita dalam Islam.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa belum ditemukan penelitian yang berusaha mengkaji pandangan Asghar mengenai nafkah bagi mantan isteri setelah ‘iddah. Bertitik tolak dari sinilah penyusun berusaha ikut andil dalam menutupi kekosongan tersebut melalui penelitian ini dengan meneliti pemikiran Asghar Ali Engineer tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri.
E. Kerangka Teoretik
Karena penelitian ini mengenai masalah perkawinan (pemberian nafkah), maka penelitian ini masuk dalam wilayah al-Akhwal asy-Syakhshiyyah, yaitu hukum yang yang berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentukannya yang bertujuan mengatur hubungan suami isteri dan keluarga satu dengan yang lainnya,
Hukum Islam adalah sebuah hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan sunah Nabi, ia diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal, hukum Islam tersebut juga memiliki sifat yang elastis dengan beberapa penggerak atau dasar-dasar pokok yang terus berlaku seiring perkembangan dan perubahan zaman.27
Berkaitan dengan pemberian nafkah bagi mantan isteri, Allah SWT berfirman:
ياأيها الذين ءامنوا إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها فمتعوهن وسرحوهن سراحا جميلا28
Zahir dari firman Allah SWT: فمتٌعوهنٌ (berikanlah mereka mut'ah) menunjukkan kepada wajibnya memberikan nafkah kepada isteri yang diceraikan sebelum dicampuri baik maharnya sudah atau belum ditetapkan baginya.29 Pendapat yang didasarkan pada zahir firman Allah SWT tersebut diatas diperkuat oleh firman Allah:
وللمطلّقت متع بالمعروف حقّا علي المتّقين30
Ayat tersebut mewajibkan pemberian nafkah terhadap setiap wanita yang diceraikan, tidak membatasi masa pemberian nafkah bagi mantan isteri yang diceraikan, demikian juga tidak disebutkan berapa besar nafkah dan jangka waktu pemberiannya. Demikian juga pada surat at-Talaq (65): 6-7, dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa kewajiban nafkah terhadap isteri baik yang ditalak maupun isteri yang sdang menyusui. 31 kewajiban nafkah berupa tempat tinggal dan nafkah terhadap isteri yang hamil dan telah ditalak sampai sang isteri itu melahirkan.32 Rasulullah SAW pada waktu melaksanakan haji wada>’ bersabda:
فاتّقوا الله في النساء فإنّكم أخذ تموهنّ بأمانة الله واستحللتم فروجهنّ بكلمة الله ولكم عليهنّ إلا يوطئن فراشكم أحدا تكرهونه فاءنّ فعلن ذلك فاضربوهنّ ضربا غير مبرح ولهنّ عليكم رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف33
Menurut hukum positif yang berlaku di Pengadilan termuat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang perkawinan pasal 41 c, yang berbunyi: Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban kepada mantan isteri. Berdasarkan undang-undang tersebut pengadilan dapat menentukan suatu kewajiban kepada mantan suami yang yang harus dilakukannya setelah perceraian.
Sedangkan dalam hukum Islam terputusnya perkawinan disebabkan oleh diantaranya: 1.kematian, kematian suami atau isteri menyebabkan terputusnya perkawinan sejak terjadinya kematian. Apabila tidak terdapat halangan syara', isteri atau suami yang ditinggal mati berhak mendapatkan peninggalan.34 2.talak (melepaskan ikatan pernikahan), hukum Islam menentukan bahwa hak menjatuhkan talak ada pada suami.35 3. khulu>' (tebus talak) yaitu perceraian yang terjadi atas tuntutan isteri disertai tebusan atau ‘iwa>d atas persetujuan kedua belah pihak, karena cacat misalnya atau karena sebab lainnya. Bisa juga tebusan itu merupakan pengembalian mahar dari isteri.36 4. li'an, yaitu perceraian karena tuduhan berzina dari seorang suami atau isteri, tetapi tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, dan adanya pengingkaran dari sumi terhadap anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya.37 5.Terjadinya perselisihan atau percekokan antara suami dan istri, yang dalam al-qur'an disebut syiqaq,38 dan ini dapat mengakibatkan terputusnya perkawinan dengan melalui perantaraan pengadilan (dengan perantaraan hakim).
Pada garis besarnya perceraian dalam Islam, ada dua macam yaitu talak dan fasakh, dengan pengertian bahwa setiap perceraian yang sebab-sebab dari pihak suami disebut talak, sedangkan jika terjadi perceraian timbul dari sebab-sebab isteri disebut fasakh. Seperti diketahui dalam hukum perkawinan di Indonesia, perceraian yang dapat diajukan ke pengadilan agama ada dua, yakni cerai talak yang merupakan perkara perceraian yang mana yang mengajukan permohonan datang dari pihak suami, sedang yang kedua cerai gugat yang mana kehendak perceraian tersebut berasal dari isteri.39
Berkaitan dengan hak-hak mantan isteri, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149 menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena talak, maka suaminya wajib:
a. Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut Qabla ad dukhu>>l.
b. Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa ‘iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih tehutang seluruhnya, atau separo bila qabla ad dukhu>>l.
d. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Agama Islam memberikan ketentuan sebagai berikut: a) Perempuan dalam masa ‘iddah raj'iyyah berhak menerima dari mantan suaminya berupa tempat tinggal, pakaian dan nafkah, kecuali isteri yang durhaka tidak berhak mendapatkan apa-apa. 40 Sesuai hadis Nabi SAW:
لها إنّما النفقة والسّكنى للمرأة إذا كان لزوجهاعليهاالرجعة41
b). Perempuan dalam ‘iddah ba'in kalau mengandung maka ia berhak mengambil kediaman, nafkah dan pakaian. Namun jika tidak mengandung, ia hanya berhak mendapatkan tempat tinggal. Sesuai dengan Firman Allah SWT dalam surat at-Talaq (65): 6. c). Wanita yang diceraikan sebelum dikumpuli maka ia berhak mendapatkan mut'ah (pemberian) sesuai dengan kemampuan suami untuk menyenangkan dirinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, dalam Surat al-Ahzab (33): 49.
Dalam hal ini putusnya perkawinan yang dapat menimbulkan kewajiban pemberian nafkah bagi mantan isteri adalah perceraian yang timbul atas kehendak suami, terjadinya nusyuz dari pihak suami, dan perceraian yang timbul atas wewenang keputusan pengadilan, yang dapat menentukan suatu kewajiban yang harus ditaati oleh mantan suami. Akan tetapi dalam keadaan tertentu mantan isteri tidak dapat nafkah seperti: wanita yang menjalani ‘iddah kematian; wanita yang menjalani ‘iddah karena suatu perceraian yang wajib dilaksanakan menurut ketentuan syara' seperti terjadi fasakh (akad nikah tidak memenuhi syarat-syarat sahnya); wanita yang menjalani ‘iddah karena perceraian yang disebabkan oleh isteri yang melakukan hal-hal yang dilarang syara'.42
Ketetapan hukum syari’at itu datang semata-mata untuk membuat kemaslahatan, semua ini selayaknya dipelihara ketika menafsirkan nas-nas dan menerapkan ketetapan-ketetapan hukum. Seorang faqih hendaknya tidak terpaku kepada prinsip tunggal yang abadi dalam berfatwa tanpa memperhatikan perubahan zaman, tempat, ‘Urf dan keadaan, bahkan tujuan-tujuan syara’ (maqa>sidu asy-syari>’at ) yang universal dan sasaran yang umumnya harus pula dipelihara ketika menetapkan hukum mengenai persoalan-persoalan yang juz’i (particulars) dan khususnya.43
Ijtihad adalah penggerak yang merupakan faktor penting dalam rangka pengembangan hukum Islam untuk menjawab persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam upaya tersebut ijtihad tidak hanya berarti memunculkan ide-ide baru akan tetapi bidang garapanya juga termasuk upaya meninjau kembali dalil-dalil secara kritis.44 Hal itu dimaksudkan agar ketetapan hukum yang dihasilkan semakin kontekstual.
Seorang mujtahid dalam berijtihad bertujuan agar terciptanya kemaslahatan bagi umat manusia baik secara individu maupun sebagian masyarakat, dengan demikan untuk melihat pemberian nafkah bagi mantan isteri maka peneliti menggunakan kemaslahatan sebagai tujuan pensyari’atan hukum Islam.
Berkaitan dengan maslahah bila dilihat dari segi keberadaannya menurut syara’ maka terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’ maksudnya adanya dalil khusus yang menjadi dasar untuk jenis kemaslahatan tersebut.
b. Maslahah al-Mulgah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’ karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
c. Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci.45
Adapun dalam dalam menyusun skripsi ini, penyusun akan menggunakan maslahah, yang akan di bantu dengan qaedah-qaedah fiqh yang relevan dengan pembahasan ini, qaedah fiqh merupakan sebuah pisau analisis yang dapat digunakan dalam membahas permasalahan agama. Qaedah-qaedah fiqh yang digunakan yaitu:
الحكم يتبّع المصلحة الراجحة46
Penelitian ini juga menggunakan teori kesetaraan gender. Secara normatif, Islam dengan tegas mengakui konsep kesetaraan antara laki-laki dan wanita di mana keduanya adalah sama-sama manusia sebagai makhluk Tuhan.47 Masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama serta merupakan partner kerja yang satu sama lain saling membutuhkan sehingga yang satu tidak menganggap dirinya lebih mulia dari yang lain. Di samping keduanya mempunyai tujuan dan maksud yang sama yang hendak dicapai yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat.48
Dalam suatu tugas, baik laki-laki maupun wanita adalah sama dalam memikul tanggung jawab. Artinya, di hadapan hukum kedua insan yang berlainan jenis kelamin tersebut tidak berbeda. Siapa yang bersalah harus dihukum sedangkan yang berbuat baik harus mendapatkan balasan setimpal sesuai dengan perbuatannya.49 Dalam hal ini metodologi yang kemudian ditawarkan Asghar Ali Engineer dalam menginterpretasikan al-Qur’an adalah perlu adanya pembedaan antara pernyataan normatif dan pernyataan kontekstual dalam al-Qur’an.50
Adapun yang dimaksud dengan pernyataan normatif merujuk kepada sistem nilai dan prinsip-prinsip dasar dalam al-Qur’an, seperti prinsip persamaan, kesetaraan dan keadilan. Prinsip-prinsip ini bersifat eternal dan universal serta dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks ruang dan waktu. Sedangkan pernyataan kontekstual dalam al-Qur’an berkaitan dengan ayat-ayat yang diturunkan untuk merespon problem-problem sosial tertentu pada masa itu. Maka seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, ayat-ayat ini dapat diabrogasi, dengan demikian ketentuan tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qayyim:
تغير الفتوى و اختلافها بحسب تغير الأزمنة و الأمكنة والأحوال والنيات و العوائد 51
Di samping itu, suatu ketentuan hukum itu sendiri dianggap kurang bahkan tidak efektif apabila terdapat disparitas antara idealitas dan realitas.52 Oleh karena itu, diperlukan reinterpretasi terhadap kitab suci agar nilai-nilai kesetaraan dan keadilan yang menjadi prinsip dasar al-Qur’an dapat lebih dikedepankan daripada ha-hal yang bersifat legal-formalnya.
Tujuan pembedaan di atas menurut Asghar adalah untuk mengetahui perbedaan antara apa yang sebenarnya diinginkan oleh Allah dan apa yang dibentuk oleh realitas empiris masyarakat pada waktu itu. Karena kitab suci ini tidak hanya concern terhadap masyarakat ideal, atau “apa yang seharusnya”, akan tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris, atau “apa yang terjadi”. Dialektika antara das sollen dan das sein membuat al-Qur’an dapat diterima oleh masyarakat dalam konteks sosial tertentu di mana ayat tersebut diturunkan dan dapat dijadikan rujukan sebagi norma-norma dan prinsip-prinsip universal yang dapat diberlakukan di masa depan ketika realitas masyarakat lebih kondusif yang pada akhirnya tidak ada lagi subordinasi atas wanita di depan hukum.
Al-Qur'an sebagai salah satu sumber penetapan hukum Islam, secara normatif-doktrinal mengandung kebenaran mutlak karena datang dari yang absolut dan mutlak (Allah) namun pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur'an tersebut tidaklah bersifat absolut tetapi bersifat relatif sesuai dengan sifat relativitas konstruksi pemikiran manusia itu sendiri,53 artinya teks al-Qur'an itu sendiri tentunya tidaklah mengalami perubahan akan tetapi pemahaman dan penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena proses kemasyarakataan yang berjalan terus-menerus, maka perubahan penerapan pemahaman ajaran Islam juga harus bersifat kontinyu sepanjang zaman.54
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah data yang berasal dari sumber-sumber kepustakaan, baik berupa buku, makalah, majalah, jurnal dan lain-lainnya yang berkaitan dengan pemikiran Asghar Ali Engineer serta literatur-literatur tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri yang dapat membantu penelitian ini sehingga akan diperoleh data yang jelas.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu berusaha memaparkan pandangan Asghar Ali Engineer melalui data yang telah ada kemudian hasil deskripsi tersebut dianalisis agar diperoleh suatu kejelasan bagaimana pandangan Ashgar Ali Engineer tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri
3. Pendekatan Penelitian
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ada dua. Pertama, pendekatan historis, digunakan untuk mengetahui dan memperoleh kejelasan tentang bagaimana sejarah latar belakang sosial-kultural baik eksternal maupun internal yang turut berperan mempengaruhi konstruksi pemikiran Asghar Ali Engineer. Kedua, pendekatan Filosofis, digunakan untuk menganalis landasan dan pemikiran Asghar Ali Engineer tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri kemudian dikaitkan dengan relevansinya dengan kesetaraan gender bagi wanita, khususnya dalam hukum Islam.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk memperoleh data yang valid dan akurat, maka penelitian ini menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Menggunakan buku primer yang ditulis langsung oleh Asghar Ali Engineer tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri yaitu The Rights of Women in Islam yang diterjemahkan oleh Farid Wajidi dan Cici Farkha Asseqaf, dan juga E-mail dari Asghar Ali Engineer.
b. Menggunakan buku-buku sekunder yang membahas tentang pemikiran Asghar maupun buku literatur lain yang berkaitan dengan topik yang dibahas sebagai penunjang terhadap penelitian ini.
Sedangkan tekniknya dengan mengumpulkan data yang telah ada, agar dapat menjawab pemasalahan di atas.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pola-pola berpikir yang digunakan untuk memperoleh kesimpulan dalam mengolah dan menganalisis data tersebut adalah:
a. Berpikir induktif, yaitu proses mengorganisasikan fakta-fakta atau hasil pengamatan yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian hubungan atau suatu generalisasi.55 Metode ini digunakan untuk menganalisis data yang berkaitan dengan sosok Asghar Ali Engineer dan landasan pemikirannya.
b. Berpikir deduktif, yaitu menyimpulkan hubungan yang tadinya tidak nampak berdasarkan generalisasi yang sudah ada.56 Metode ini digunakan untuk menganalisis pemikiran yang disajikan Asghar Ali Engineer tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri serta implikasinya terhadap hukum perkawinan di Indonesia.
Sistematika Pembahasan
Untuk melihat kriteria-kriteria bagi mantan isteri yang berhak mendapatkan nafkah, maka sistematika pembahasannya yang kiranya dapat membantu dalam mempermudah penulisan penelitian ini, penyusun menguraikan ke dalam lima bab pembahasan yang saling terkait satu dengan yang lainnya.
Bab pertama adalah pendahuluan dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang mengapa masalah ini ditulis, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisaan, telaah pustaka dengan menelusuri literature-literatur sebelumnya untuk memastikan bahwa kajian ini belum ada yang meneliti, kerangka teoritik yang digunakan sebagai kerangka berpikir dalam menganalisis masalah yang ada dalam penelitian ini, kemudian penjelasan metode yang digunakan dalam penelitian ini, serta terakhir adalah sistematika pembahasan.
Bab kedua mengupas gambaran umum tentang nafkah bagi mantan isteri dalam Islam dan ini masuk dalam bab dua karena untuk melihat nafkah itu sendiri, yang meliputi : pengertian nafkah, ayat-ayat yang berkaitan dengan pemberian nafkah bagi mantan isteri, hukum pemberian nafkah, hak-hak mantan isteri, ukuran nafkah dalam perceraian.
Bab ketiga membahas sejarah latar belakang kehidupan Asghar Ali Engineer dan pemikirannya tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri, dan ini masuk dalam bab tiga karena untuk melihat latar belakang pemikirannya, yang meliputi: biografi dan aktivitas keilmuannya, kondisi sosial dan politik di India, metodologi pemikiran Asghar Ali Engineer dan pemikirannya tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri.
Bab keempat berisi analisis terhadap pemikiran Asghar Ali Engineer tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri. Dalam bab ini penyusun bagi ke dalam dua bagian, yaitu : kriteria-kriteria bagi wanita yang berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya, relevansi pendapat Asghar Ali Engineer dengan konteks sekarang.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang menjawab pokok permasalahan, sedangkan saran-saran dapat menjadi semacam agenda pembahasan lebih lanjut mengenai pemberian nafkah bagi mantan isteri.
1 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm 1.
2 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawianan, cet. 1, (Jakarta: Bulan Bintang,1974), hlm. 128. lihat juga, Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, di terj. Ida Mursida (Bandung: al-Bayan, 1995), hlm.128.
3 Asy-Syaikh al-Imam az-Za>hid al-Muwa>fiq Abi Ishaq Ibra>him Bin Ali Bin Yusuf Ali Fairuzzaabadi Asy-Syairazi, al-Muhazzab (Surabaya: Ahmad Bin Said Bin Nabhah, t.t.), II: 159.
4 An-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarkh al- Imam an-Nawa>wy, “Kita>b al-Ha>jj, Bab Hajja>ti an-Nabiyyi” (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), VIII:183-184, HR. Muslim dari Jabir ibn '’Abdillah
5 Asy-Syaikh al-Imam az-Za>hid al-Muwa>fiq Abi Ishaq Ibra>him Bin Ali Bin Yusuf Ali Fairuzzaabadi Asy-Syairazi, al-Muhazzab, II: 161.
6 As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah,cet. 2 (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, 1973), II: 173.
7 Abdur Rahman I. Shari’ah The Islamic Law, alih bahasa, Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, cet.1 (Jakarata: Rineka Cipta, 1992), hlm. 124.
8 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata sosial, cet.1 (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hlm. 83.
9 al-Baqarah (2) : 233.
10 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, cet. 1 (Bandung: Al-bayan, 1994), hlm. 109.
11 Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991, pasal 149.
12 Ibid., pasal 152.
13 at-Tala>q (65) : 6.
14 Dahlan Idhamy, Asas-asas Fiqh munakahat Hukum Keluarga Islam (Surabaya: al-Ikhlas,t.t.), hlm.57.
15 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), hlm. 286.
16 Abdur Rahman I., Shari’ah The Islamic Law, hlm. 126-127.
17 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, hlm. 104-105.
18 Adapun yang mengklasifikasikan Asghar Ali Engineer sebagai salah seorang feminis yang lantang menyuarakan kesetaraan gender dalam Islam dapat ditemukan dalam bukunya Yuhayar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-qur’an Klasik dan Kontemporer, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 54.
19 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam , alih bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Asseqaf, cet.2 (Yogyakarta: LSPPA, 2000) hlm. 199-200, dan E-mail dari Asghar (csss@vsnl.com) diakses tanggal 28 Desember 2003.
20 M. Agus Nuryatno, Islam Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 60.
21 Asghar Ali Engineer, Hak-hak., hlm. 200.
22 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 98-99.
23 M. Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender, hlm. 29-34.
24 Nasihun Amin, Teologi Pembebasan sebagai Alternatif Telaah terhadap Pemikiran Ashgar Ali Engineer (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999) tesis tidak diterbitkan.
25 Ade Ismail Fahmi, Peran Perempuan dalam Nafkah Keluarga Menurut Pemikiran Syekh Nawawi dan Asghar Ali Engineer (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah, 1997) Skripsi tidak diterbitkan.
26 M. Agus Nuryatno, Islam Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender (Yogyakarta: UII Press, 2001)
27 M. Hasbi ash-Shiddieqy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang,1986), hlm. 31.
28 al-Ahza>b (33) : 49.
29 M. Ali ash-Shabuni, Tafsir ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an, di terj. Saleh Mahfoed, cet. 1 (Bandung: al-Ma’a>rif, 1994), II: 501.
30 al-Baqarah (2): 241.
31 M.‘Ali as-Sa>buni, Rawa>’i al-Baya>n, Tafsi>r al-ayat al-Ahkam (Beitrut: Da>>r al-Fikr, t.t), II: 610.
32 Ibid., II: 617.
33 An-Nawawy, Sahih Muslim bi Syarkh al-Imam an-Nawawy, VIII:183-184, HR. Muslim dari Jabir ibn 'Abdillah.
34 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 69.
35 Ibid., hlm. 72.
36 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, hlm 95.
37 Ibid., hlm. 95-96.
38 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 4 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Prsada, 2000) hlm. 272.
39 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan Menuju Keluarga Bahagia ( Bandung: al-Bayan, 1994), hlm. 93.
40 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum., hlm.109.
41 Abdurrahman ibn Su’aib an-Nasa’i, Sunan an-Nasa>’i (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby wa Auladuhu, 1964),VI: 117. Hadis riwayat, Ahmad dan Nasa’i dari Ahmad ibn Yahya.
42 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 98.
43 Yusuf al-Qardawy, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam, alih bahasa H.S. Husin al-Munawwar (Semarang: CV.Toha Putra,1985), hlm. 56.
44 Wahbah al-Zuhaili, ”Pembaharuan Ijtihad” dalam Mun’in A. Sirri, Sejarah Fiqh Islam (Surabaya: Risalah Gusti,1996), hlm. 117
45 Nasrun Haroen, Ushu>l Fiqh,cet. 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm. 117-119.
46 Asmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 192.
47 an-Nisā (4) : 1
48 Nashruddin Baidan, Tafsir bi Ra'yi : Upaya Penggaliaan Konsep Wanita dalam Al-qur'an, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 28-29.
49 Az-Zalzalah (99) : 7-8.
50 Asghar Ali Engineer, Hak-hak., hlm. 18.
51 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwa>qi’in (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), .III: 11.
52 Soeryono Soekanto dkk, Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum (Jakarta: Bina Aksara, 1998), hlm. 28.
53 Akh. Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh”, dalam al-jami’ah Journal of Islamic Studies, No 63, Vol. VI (1999), hlm. 16.
54 Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Aliran Neomodernisme Islam Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 59.
55 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Cet. 3 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 4
56 Ibid.