I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setelah terjadinya krisis energi yang mencapai puncak pada dekade 1970, dunia menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak bumi, sebagai salah satu tulang punggung produksi energi terus berkurang. Bahkan beberapa ahli berpendapat, bahwa dengan pola konsumsi seperti sekarang, maka dalam waktu 50 tahun cadangan minyak bumi dunia akan habis (Pinske, 1993 dalam Salim, 2005).
Sebagai konsekwensi logis, tanpa bahan baku (energi), kehidupan ini tidak ada, oleh sebab itu akan merupakan suatu keharusan bagi setiap orang untuk melakukan usaha penyeimbangan antara kebutuhan dengan ketersediaan. Usaha-usaha tersebut bisa berupa pencarian dan pemanfaatan sumber bahan lain (pengganti). Pemanfaatan bio gas merupakan salah satu usaha untuk mengurangi kebergantungan masyarakat terhadap bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbarui (Judoamidjojo dkk., 1992).
Berbagai bentuk energi telah digunakan manusia seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam yang merupakan bahan bakar fosil, dan juga bahan bakar tradisional, yaitu kayu. Walaupun masih digunakan, penggunaan kayu bakar terbatas dengan berkurangnya hutan sebagai sumber kayu. Tapi, dengan meningkatnya jumlah penduduk, terutama yang tinggal di pedesaan, kebutuhan energi rumah tangga masih menjadi persoalan yang harus dicarikan jalan keluarnya.
Bahan utama bio gas adalah metan (CH4) yang mencakup 60-70 persen, sedangkan sisanya berupa CO2, H2S dan gas lainnya (Nitrogen, Hidrogen) (Judoamidjojo dkk., 1992). Teknologi bio gas adalah transformasi dari limbah organik oleh bakteri metanogenik melalui fermentasi anaerobik untuk menghasilkan bio gas, misalnya metan (CH4) (Koottatep dkk., tanpa tahun). Secara alami teknik ini terjadi di dalam lambung ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba).
1.2 Permasalahan
Penelitian yang pernah dilakukan, lebih banyak menggunakan volume digester dan kebutuhan biomassa dalam skala besar yang membutuhkan biaya investasi yang cukup besar pula, namun produksi bio gas yang dihasilkan masih kurang optimal karena kondisi di dalam digester tidak sesuai bagi bakteri metanogenik untuk memproduksi bio gas dalam jumlah besar. Sebagai contoh pada digester model kubus dengan volume 8,5 m3, kapasitas 80 Kg kotoran sapi pada suhu sludge ± 20oC dan pH 4,5 – 5 menghasilkan gas sebanyak 1,4 m3 per hari (Cooney, 1983).
Menurut Wilson (1977), satu keluarga dengan empat orang anggota keluarga membutuhkan 2,8 m3 bio gas untuk masak dan penerangan setiap hari. Jadi untuk memenuhi kebutuhan harian satu keluarga, setiap rumah tangga harus memiliki reaktor bio gas dengan volume minimal 17 m3, sedangkan untuk membuat reaktor bio gas dengan volume digester 17 m3 memerlukan biaya investasi sangat besar dan tidak ekonomis apabila diaplikasikan dalam skala rumah tangga.
Apabila pada digester diberi perlakuan seperti di dalam lambung ruminansia, ada kemungkinan akan meningkatkan produksi bio gas, sehingga dapat diaplikasikan dalam skala rumah tangga dengan kebutuhan bahan baku yang tidak terlalu besar. Selain itu juga diharapkan mampu menekan biaya investasi alat.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka perlu dirancang suatu reaktor yang mampu memproduksi bio gas yang lebih optimal yaitu dengan memberikan perlakuan pada digester seperti pada lambung ruminansia melalui pengaturan temperatur dan pH yang optimal untuk perkembangbiakan bakteri metanogenik di dalam digester.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah merancang prototipe reaktor bio gas dengan pengaturan temperatur pada digester dan pengaturan pH sludge agar menghasilkan output bio gas yang optimal dengan volume digester yang tidak terlalu besar sehingga dapat diaplikasikan di tingkat rumah tangga dan industri kecil.
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan dirancangnya prototipe reaktor bio gas ini diupayakan dapat membantu mengatasi krisis energi dan membantu masyarakat melalui aplikasi di tingkat rumah tangga dan industri kecil.