BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an oleh beberapa sarjana ditempatkan sebagai sebuah karya asli Arab.[1] Senada dengan itu, Fazlur Rahman mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan firman Tuhan, dan dalam arti yang biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad.[2] Asumsi di atas dapat diterima sejauh dalam diskusi linguistik, bahwa itu semua merupakan ungkapan nalar verbalis dari eksternalisasi wahyu yang ditangkap oleh kesucian qalb Muhammad. Karena bagaimanapun tidak ada tempat baginya untuk ‘berpartisipasi’ dalam validitas materi wahyu.[3]
Al-Qur’an, bagaimanapun merupakan respon Ilahiyah terhadap kondisi umat dalam bentuk medium kebahasaan yang tidak bisa melepaskan diri dari relasi background-nya.[4] Dalam teknik penyampaian al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, ini sesuai dengan fakta yang tidak dapat dibantah lagi, Muhammad secara geografis hidup di jazirah Arab,[5] hanya saja perlu dicatat di sini pemilihan bahasa lokal tersebut bukan berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam kehilangan nilai-nilai universalistiknya.
Bagi para penganutnya, al-Qur’an merupakan perwujudan kritik dari dalam yang mengambil bentuk kongkrit pada dekonstruksi ‘kungkungan logosentrisme’ Arab jahiliyah yang cenderung materialis, jadi al-Qur’an menggunakan apresiasi kebahasaan dari bahasa Arab untuk memperbaharui kesadaran keagamaan.[6] Al-Qur’an sendiri tidak mengambil langkah yang berarti terhadap penggantian daftar kosa kata pra-Islam tetapi sebaliknya tetap mempertahankan kosa kata populer tersebut, sebagai contoh sebut saja kata tija>rah, bay‘u, mi>za>n, qard}}, dan sebagainya.[7] Melalui penilaian proses diakronik dalam skala kecil, hampir keseluruhan kata yang digunakan tidak meninggalkan wacana yang hidup baik pada masa pra-Islam maupun Islam, tetapi dengan sangat menarik, kata-kata itu mengalami pergeseran arti sebagai akibat diadakannya perubahan muatan definisi yang diselaraskan dengan visi monotheistik. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis ketika ada pergantian pandangan dunia, dan ini dibenarkan oleh definisi fungsional bahasa karena bahasa merupakan alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan sebagai hasil dari kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya.[8]
Melihat dari aktivitas kebahasaan di atas, amat beralasan apabila analisis kebahasaan menempati posisi yang sangat penting dalam dunia tafsir, ini terbukti ketika sejarah menceritakan nabi melakukan kegiatan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan kajian bahasa, tradisi ini terus dihidupkan pada masa sahabat, terutama oleh ibn ‘Abba>s, sampai pada masa para mufassir-mufassir besar.[9] Dan untuk zaman modern ini perhatian terhadap kajian bahasa memperoleh porsi yang sangat besar.[10]
Dengan kerangka pemikiran di atas pula penulis ingin mengangkat kembali diskusi tentang kata hijrah, dan untuk itulah tulisan ini sebenarnya didedikasikan. Hijrah memiliki berbagai latar untuk dijadikan sebagai salah satu kata kunci di dalam kosa kata al-Qur’an. Dapat dijelaskan secara pasti, peristiwa hijrah dijadikan patokan penanggalan kalender Islam.[11]Lebih penting dari itu, oleh beberapa pemikir diyakini bahwa hijrah adalah sebagai loncatan besar bagi pergerakan penyebaran risalah Ilahi yang ditempuh oleh beberapa rasul.[12] Hijrah sendiri membangun medan semantiknya sedemikian rupa sehingga dengan bantuan jaringan asosiasi semantik ia mampu membentuk pandangan dunianya yang khas.
Pemunculan kata hijrah dalam al-Qur’an dibarengi dengan istilah-istilah yang hampir memiliki kesamaan makna dengannya, seperti bara’a, taraka, kharaja[13]. Hanya saja istilah-istilah tersebut dipandang terserap oleh akar kata hajara, sebab akar kata tersebut mengandung semua makna dari akar kata lainnya. Mengikuti penanggalan kronologi wahyu dalam berbagai versi, kata hijrah sendiri sudah dikenal pada bagian awal penurunan wahyu yang hampir keseluruhannya menegaskan makna dasar, kemudian secara sistemik mengalami perubahan diakronik makna terutama pada masa Madinah.
Merujuk pada kekayaan semantikal hijrah yang terbentuk, amat disayangkan kemudian ketika perjalanan sejarah mereduksi makna hijrah sebatas dimaknai sebuah peristiwa masa lalu dengan sedikit kemungkinan akan terulang kembali. Hal ini banyak terlihat pada kesimpulan yang membingungkan dari sabda-sabda nabi yang seolah-olah hanya membatasi hijrah sebatas pada peristiwa yang ada pada zaman nabi belaka.[14] Hal serupa terjadi pula pada dunia tafsir, sebagai studi kasus ada asumsi ayat-ayat yang berkenaan dengan qita>l, atau yang dikenal pula dengan ayat al-Sayf, menurut beberapa mufassir seperti ibn ‘Abba>s[15] dan al-T{abari>[16] telah menghapuskan ayat ‘hajran jami>lan’, tetapi menurut al-T{aba>t}aba>’i[17] ayat qita>l tidak menghapuskan ayat ‘hajran jami>lan’, karena bagaimanapun keduanya harus tetap dijalankan, bahkan Sayyid Qut}b[18] berpendapat, pengambilan sikap hajran jami>lan apabila ditambah dengan sikap sabar merupakan perwujudan jihad dalam makna aslinya. Semua pendapat di atas melandaskan argumen pada dasar yang sama, al-Qur’an dan hadis, hanya saja masalah yang muncul mengindikasikan akan problem penafsiran baik metodologis maupun kecenderungan pra-konsepsi, jadi wajarlah ketika pandangan dunia hijrah belum terbentuk secara lengkap.
H-j-r dan derivasinya telah mengalami metamorfosis. Eksplorasi posisi hijrah pra-Islam patut dilakukan setidaknya sebagai modal awal guna pembahasan menyeluruh tentang istilah ini.[19] Dengan kata lain, ketika wahyu Islam dimulai, orang-orang Arab pagan di Mekah dan juga masyarakat kitab yang sudah memiliki fundamental values tidak mungkin memahami kata hijrah selain mengkaitkannya dengan semua unsur semantik yang ada pada pandangan dunia mereka yang notabene materialisme. Setelah kata hijrah dipergunakan oleh al-Qur’an secara otomatis merubah unsur semantik yang membentuknya sesuai dengan kosa kata al-Qur’an yang dipadukan ke dalam interpretasi sistemik yang sama sekali baru dalam sistem tersebut. Namun demikian, tanpa ‘disadari’ segala macam nuansa fenomena kesejarahan telah melahirkan paradoks yang mengaburkan eksistensi hijrah, semua itu berakibat keterasingan dan sikap penuh kecurigaan tatkala hijrah didengungkan kembali.
Kurang dari satu abad setelah nabi hijrah ke Madinah (622 M), istilah hijrah muncul kembali sesaat setelah selesainya arbitrasi antara ‘Ali dan Mu’awiyyah. Khawarij sebagai pihak yang tidak puas menggunakan konsep hijrah untuk menggalang komunitas sebagai sikap teologis politis dari situasi saat itu. Mereka beranggapan bahwa kedua pimpinan alternatif di atas sudah berstatus zalim dan patut ditinggalkan bahkan patut diperangi.[20] Setelah sekian kurun konsep hijrah tenggelam, pada abad XX di Mesir muncul sebuah gerakan yang mendeklarasikan sebagai oposisi terhadap rezim setempat, mereka dikenal dengan nama al-Takfi>r wa al-Hijrah. Kelompok ini merupakan bagian Ikhwanul Muslimin yang berhaluan keras disebabkan menganut paham bahwa seluruh komunitas muslim di luar mereka saat ini adalah jahiliyah. Sesuai dengan namanya, grup ini memakai strategi hijrah.[21] Di Indonesia, beberapa dekade lebih awal dari al-Takfi>r wa al-Hijrah, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) menjalankan strategi hijrah sebagai jalur politik guna menarik garis furqa>n antara mereka dengan lawan politiknya. Dalam perjalanannya, ada konflik intern tentang dilanjutkan atau tidaknya konsep hijrah ini.[22] Tetapi informasi sejarah mengatakan bahwa pemberlakuan konsep hijrah tetap berlanjut sampai pada titik kulminasi pendirian NII (Negara Islam Indonesia) oleh S.M. Kartosoewirjo.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, setidaknya terdapat persoalan yang terangkat ke permukaan dan ini dianggap penting serta menarik oleh penulis untuk dikaji lebih jauh, yaitu:
1. Bagaimana para pemerhati al-Qur’an baik secara individu maupun kelompok memahami konsep hijrah ?
2. Bagaimana struktur pandangan dunia hijrah dalam al-Qur’an seutuhnya ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini penulis paparkan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan konsep hijrah menurut para pemerhati al-Qur‘an, baik mufassir individu maupun secara kelompok.
2. Mendeskripsikan struktur pandangan dunia hijrah dengan harapan akan diperoleh perimbangan antara nilai teoritis dan aplikasinya.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari kajian ini sebagai berikut :
1. Memberikan kontribusi pengkayaan perspektif dalam memahami ajaran hijrah secara teoritis.
2. Menselaraskan antara pemahaman teoritis dengan keakuratan dalam mengaplikasikan ajaran hijrah.
E. Telaah Pustaka
Untuk menganalisa pandangan dunia hijrah, penulis berupaya memanfaatkan rujukan-rujukan yang ada relevansinya dengan tema yang diangkat.
Buku yang telah membahas secara khusus tema hijrah, tentunya sesuai dengan pengetahuan penulis, Hamid Naseem Rafiabadi dengan judul Hijrah a Turning Point in Islamic Movement.[23] Buku ini berdasarkan penelitian kesejarahan yang dikonfrontasikan dengan keadaan zaman sekarang. Rafiabadi memandang hijrah sebagai kewajiban bagi muslim yang terus berjalan sampai tercipta kebebasan pelaksanaan syari’ah. Pembahasannya secara umum telah menyentuh berbagai aspek hijrah tetapi dalam bentuk global, seperti makna, filosofi, sejarah dan bahkan ia menyoroti berbagai pendapat orientalis tentang tema ini.
Sedangkan Isma’il R. al-Faruqi dalam bukunya Hakikat Hijrah[24] memandang hijrah membuat Islam menjadi suatu kemaujudan hukum, sosial, ekonomi, politik dan militer suatu negara, bahkan membentuk negara dunia yang potensial. Karenanya, al-Faruqi mencanangkan ’iqa>mah al-hijrah dengan melalui berbagai pendidikan dan dakwah. Uraian rinci Qur’ani belum terkuak karena ia menyoroti melalui kaca mata sosial-politis. Kajian yang sama dilakukan oleh Ali Syariati dalam Rasulullah Saw Sejak Hijrah hingga Wafatnya[25] yang menghasilkan kesimpulan bahwa hijrah membuka kungkungan domestik sehingga terbentuklah peradaban besar, sebagai contoh ia menyebut kejadian-kejadian kesejarahan yang menggambarkan peristiwa “hijrah”. Syari’ati berkeyakinan dengan kesatuan iman–hijrah– jihad bukanlah suatu kebetulan tanpa makna. Tetapi dalam bukunya ini, ia tidak menjadikan hijrah sebagai objek kajian tafsir dan ini diakui sendiri olehnya.
Muhammad Abdullah al-Khatib menulis buku Makna Hijrah Dulu dan Sekarang[26] di dalamnya ia berkesimpulan bahwa hijrah secara fisik, yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan kembali sosial-politik pada masanya, ini telah mempercepat pengembangan agama Islam ke berbagai wilayah. Tanpa menafikan makna hijrah secara fisik, hikmah hijrah dalam dimensi metafisik harus lebih banyak digali. Pendapat serupa tergambar pada tulisan Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah,[27] ia mengatakan hijrah adalah peristiwa historis-sosiologis yang mengikuti sunatullah yang tak berubah, juga hijrah sebagai peristiwa supranatural, peristiwa metafisis, yang dari berbagai segi termasuk mu’jizat nabi dan tindakan supranatural beliau. Dalam semangat spiritual ini, berhijrah ialah bertekad meninggalkan kepalsuan, pindah sepenuhnya kepada kebenaran, dengan kesediaan untuk berkurban dan menderita, karena keyakinan kemenangan terakhir akan dianugerahkan Allah kepada pejuang kebenaran itu.
Dalam buku Sikap Hidjrah PSII[28] Kartosoewirjo berupaya memahami hijrah yang dikemas ke dalam sebuah konsep interpretatif-aplikatif. Hasil dari identifikasi terhadap bangsa Indonesia, ia berkeyakinan untuk membuat komunitas Islam dengan mempertimbangkan anasir politik dan sosial keagamaan. Kartosoewirjo menggunakan istilah "Madinah–Indonesia" dan “Makkah–Indonesia” sebagai konsekuensi keberpihakan ideologis, bahkan lebih jauh dari itu, ia berusaha membuat kategorisasi hijrah sesuai dengan kadar perjuangan.
Banyak lagi buku yang membahas tentang hijrah, namun kesemuanya tidak menjadikan sebagai tema tunggal dan kurang menggunakan pendekatan tafsir al-Qur’an, seperti M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat[29] dan buku-buku yang berkenaan dengan sirah rasul.
Sedang untuk penerapan semantik terhadap al-Qur’an, penulis tidak mendapati buku yang membahas hijrah. Buku-buku yang menggunakan semantik sebagai alat pendekatan seperti Toshihiko Izutsu dalam Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur’an[30] dan Relasi Tuhan dan Manusia[31], di dalamnya ia membahas tentang konsep kufr sebagai tema sentralnya, dan di dalam buku yang kedua, ia membahas secara dominan konsep Allah. Buku lainnya adalah karya Syinya Makino dengan judul Creation and Termination a Semantic Study of the Structure of the Qur’anic World View[32] yang membahas tentang penciptaan alam dan hari akhir.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini dibatasi hanya pada library research.[33] Dalam teknik penggarapan berupaya mengeksplorasi sumber-sumber pustaka yang terkait. Sedangkan karakter penulisan akan dicirikan dengan pemanfaatan metode semantik[34] serta didukung oleh kajian historis. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa metode semantik mampu menguraikan secara sekaligus hubungan-hubungan antara ekspresi sebuah bahasa dengan obyek yang berkaitan dengan ekspresi tersebut. Semantik pun dinilai mampu mengilustrasikan gerakan dari cakupan definisi.[35] Analisa obyek penelitian dipertajam dengan bantuan kajian historis. Penggalan sejarah yang akan dikaji meliputi fase Arab pra-Islam, fase nabi yang dibagi secara global menjadi periode Makkiyyah dan Madaniyyah dan terakhir adalah fase pasca nabi.
Pemilihan tema sentral mengharuskan penulis untuk menjadikan al-Qur’an dan terjemahannya sebagai data primer. Selain itu, dalam aplikasi semantik penulis merujuk pada karya Toshihiko Izutsu. Sedangkan data pendukung meliputi karya-karya dari disiplin keilmuan lainnya selama masih memiliki keterkaitan dengan tema penelitian. Misalnya, penulis merujuk ’Isfaha@ni@ untuk memperoleh makna kata yang luas berikut penerapannya dalam al-Qur’an. Kamus-kamus bahasa Arab, seperti Lisa>n al-‘Arab dan Ta>j al-‘Ars, mendapatkan tempat pula dalam penelitian ini, semata untuk melihat perubahan makna dari derivasi akar kata.
G. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi ini dibuka dengan bab pertama berupa pendahuluan untuk mengantarkan menuju argumen, cakupan dan perihal mekanisme penelitian. Sementara gambaran umum mengenai konsep hijrah dalam penelitian ini muncul mula pertama pada bab kedua yang mengilustrasikan sebagian produk tafsir baik klasik atau modern yang berkaitan dengan tema hijrah, ini disusun sebagai peta awal guna memudahkan penelitian selanjutnya. Juga sebagai landasan alasan adanya celah untuk meneliti ulang tema hijrah ini.
Diteruskan dengan bab ketiga sebagai titik tekan pada penulisan ini memaparkan analisa struktur pandangan dunia hijrah melalui pelacakan makna dasar dan relasional, diawali dengan pencarian makna leksikal, makna pra-Islam dan perjalanan makna baik sinkronik maupun diakronik disambung dengan pembentukan struktur dalam (deep structure) dan bidang semantik hijrah. Mengenai urgensi pelacakan makna pra-Islam, dikarenakan keniscayaan mendeteksi pergeseran makna dalam pandangan dunia yang berbeda antara Arab pra-Islam dan Islam.
Karena ruang kerja semantik mencakup pula kajian perkembangan makna pada masa pasca wacana, maka pada bab keempat ini mencoba menghimpun data-data di mana hijrah dipahami setelah masa nabi oleh para pemerhati kajian-kajian Islam baik kelompok maupun individu. Observasi ini meliputi aliran Khawarij, al-Takfi>r wa al-Hijrah dan PSII. Penelitian skripsi ini ditutup dengan bab kelima yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.
[1] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 39. Sedangkan Bint al- Sya>t}i' memberikan nama Kita>b al-‘Ara>biyyah al-Akbar terhadap al-Qur’an ketika dihadapkan dengan berbagai karya sastra Arab. ‘Aisyah ‘Abd ar-Rah}ma>n, Tafsir Bintusy Syat}i, terj. Muzakkir Abdussalam, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 30.
[2] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 33.
[3] Q.S. al-Najm (53): 3-4. Mengenai pembahasan lebih jauh lihat Malik bin Nabi, Fenomena Al-Qur’an, terj. Saleh Mahfoed, (Bandung: al-Ma’arif, 1983), hlm. 192-198.
[4] Taufik Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: Sebuah Kerangka Konseptual, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 42.
[5] Tentang penggunaan bahasa Arab ada beberapa pendapat bahwa al-Qur’an mengadopsi berbagai bahasa ke dalamnya, tetapi semua itu tidak meruntuhkan bahwa al-Qur’an hadir dalam bahasa Arab. Lihat Manna>’ Khali>l al-Qat{t}a>n, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj. Muzakkir, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), hlm. 468-469. Lihat juga Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 37-42. Al-Qur’an sendiri memberikan informasi ini secara jelas, lihat Q.S. Yu@suf [12]: 2; Tha@ha@ [20]: 113; al-Fus{s{ilat [41]: 3 dan lain-lain.
[6] Mohammad Arkoun, Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin (Yogyakarta: LPMI & Pustaka Pelajar, 1996) pada bab I terutama hlm. 7.
[7] Untuk lebih jauh lihat W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Qur’an, terj. Lillian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 5-6.
[8] Tentang subyektivitas bahasa, lihat Jalaluddin Rakhmat, “Komunikasi dan Perubahan Politik di Indonesia” dalam Yudi Latif & Idi Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 49. Sedangkan berkaitan dengan definisi bahasa, lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 268-269.
[9] Untuk lebih jauh lihat, J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1980), hlm. 57 dan 64.
[10] Fenomena ini sebagai hasil dari penerapan ilmu bahasa modern dalam kajian-kajian tafsir, Lihat Mohammad Arkoun, Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, terj. Machasin (Jakarta: INIS, 1996) sebagai contoh semiotik dan Toshihiku Izutsu, Relasi Tuhan… sebagai penerapan semantik.
[11] Hamid Naseem Rafiabadi, Hijrah: A Turning Point in Islamic Movement (Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1995), hlm. 50-60.
[12] Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiawati al-Khattab (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 67. Ali Syari’ati, Rasulullah Saw. Sejak Hijrah hingga Wafatnya: Tinjauan Kritis Sejarah Nabi Periode Madinah, terj. Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 20.
[13] Penulis setuju dengan Bint al-Sya>t}i' bahwa tidak ada sinonimitas dalam bahasa Arab. Lihat ‘Aisyah ‘Abdurrahman, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arif, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), hlm. 7.
[14] Akram Diya’ al-Umari, Madinah Society at The Time of The Prophet, terj. Huda Khattab, (Virginia: IIIT, 1995), hlm. 58.
[15] ’Abi> T{a>hir Muh{ammad bin Ya‘qu>b al-Fayru>zabadi@, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r ibn ‘Abba>s, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mat}ba‘ah Mus{t{afa> al-Ba>bi> al-Hala>bi> wa Awla>duh, 1951), hlm. 372-373.
[16] Ibn Jari>r al-T{abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n fi@ Ta’wi>l al-Qur’a>n, jilid 12 (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah,1992), hlm. 287.
[17] Al-T{aba>t}aba>’i, Al-Mi>za>n fi>@ Tafsi>r al-Qur’a>n, jilid 20, (Beirut: Mu’assasah al-‘A<lami> al-Mat}bu>‘ah, 1991), hlm. 73.
[18] Sayyid Qut}}b, Fi> Zi{la>l al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r ’Ih{ya>’ Tu>ra>s|| al-‘Arabi>, 1967), hlm. 348-349.
[19] Taufik Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual…, hlm. 63.
[20] Nurcholish Madjid (ed), Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 12.
[21] R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution: Fundamentalism in the Arab World (New York: Syiracuse University Press, 1985), hlm. 90-97.
[22] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 159
[23] Hamid Naseem Rafiabadi, Hijrah: A Turning…
[24] Ismail R. al-Faruqi, Hakikat Hijrah, terj. Badri Saleh, (Bandung: Mizan, 1996)
[25] Ali Syariati, Rasulullah Saw Sejak…
[26] Muhammad Abdullah al-Khatib, Makna Hijrah Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Mu’in, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
[27] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2000)
[28] S.M. Kartosoewirjo, Sikap Hidjrah PSII, jilid II (Jakarta: Lajnah Tanfidziyah, 1936).
[29] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Bandung : Mizan, 1992).
[30] Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam Qur‘an, terj. Agus Fahri Husen, dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993)
[31] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan….
[32] Syinya Makino, Creation and Termination A Semantic Study of the Structure of the Qur’anic World View (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1970).
[33] Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rakae Sarasin, 1992), hlm. 51.
[34] Semantik berasal dari bahasa Yunani semantikos dari semainein dari sema yang berarti ‘tanda’, lambang dan identitas. Lihat tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 297.
[35] Pembahasan lebih lanjut, lihat A. Tarski, “The Semantic Conception of Truth and the Foundations of Semantics” dalam Robert M. Harnish (ed.), Basic Topics in the Philosophy of Language (New York: Harvester Wheatsheaf, 1994), hlm. 540. Lihat juga, A.R. Meetham & R.A. Hudson (ed.), Encyclopaedia of Linguistics, Information and Control, (Tokyo: Pargama & Toppan Company, 1969), hlm. 499-512 ; J.D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 1991).