BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradaban Islam mulai muncul di permukaan ketika terjadi hubungan timbal balik antara peradaban orang-orang Arab dengan non-Arab. Pada mulanya, Islam tidak memerlukan suatu bentuk kesenian; tetapi bersama jalannya sang waktu, kaum muslimin menjadikan karya-karya seni sebagai media untuk mengekspresikan pandangan hidupnya. Mereka membangun bentuk-bentuk seni yang kaya sesuai dengan perspektif kesadaran nilai Islam, dan secara perlahan mengembangkan gaya mereka sendiri serta menambah sumbangan kebudayaan di lapangan kesenian.[1] Salah satu bentuknya adalah seni kaligrafi.[2]
Kaligrafi atau biasa dikenal dengan khath [3] tumbuh dan berkembang dalam budaya Islam menjadi alternatif ekspresi menarik yang mengandung unsur penyatu yang kuat. Kaligrafi berkembang pesat dalam kebudayaan Islam adalah: Pertama, karena perkembangan ajaran agama Islam melalui kitab suci Al-Qur’an. Kedua, karena keunikan dan kelenturan huruf-huruf Arab. Khath sendiri sebagai satu bentuk kesenian yang memiliki aturan yang khas, telah tumbuh secara lepas maupun terpadukan dalam bagian-bagian unsur bangunan yang mempunyai makna keindahan tersendiri. Salah satu fakta yang mempesona dalam sejarah seni dan budaya Islam ialah keberhasilan bangsa Arab, Persia, Turki dan India dalam menciptakan bentuk-bentuk dan gaya tulisan kaligrafis ke berbagai jenis variasi, antara lain: Kufi, Riq’ah, Diwani, Tsuluts, Naskhi dan lain-lain.[4]
Di Indonesia, kaligrafi hadir sejalan dengan masuknya agama Islam melalui jalur perdagangan pada abad ke-7 M, lalu menyebar ke pelosok nusantara sekitar abad ke-12 M. Pusat-pusat kekuasaan Islam seperti di Sumatera, Jawa, Madura, Sulawesi, menjadi kawah candradimuka bagi eksistensi kaligrafi dalam perjalanannya dari pesisir/pantai merambah ke pelosok-pelosok daerah.[5]
Pada masa permulaan Islam di Indonesia, penampilan kaligrafi atau khath dapat dikatakan kurang menonjol. Hal ini disebabkan oleh penerapan kaligrafi (dekorasi) sangat terbatas. Karya-karya arsitektur pada masa permulaan Islam seperti masjid-masjid di Banten, Cirebon, Demak dan Kudus, tidak banyak memberikan peluang yang berarti bagi penerapan kaligrafi (khath). Di samping itu, dalam fungsi dekoratifnya, kaligrafi sering dipadukan dengan motif hias tradisional, dan kadang-kadang juga dipadukan dengan aksara Jawa dalam bentuk candra sangkala (sebagai petunjuk angka tahun berdirinya suatu bangunan), sehingga kaligrafi Islam tidak dapat berdiri sendiri sebagai cabang seni rupa. Pada masa itu, sebagian besar karya kaligrafi lebih mementingkan nilai-nilai fungsional dari pada nilai estetis. Dengan kata lain, nilai-nilai keindahan tulisan itu sendiri sebagai karya seni menjadi terabaikan.[6]
Belakangan ini tampak gejala penggarapan kaligrafi, baik secara kaidah khathiyah maupun yang ‘lebih bebas’ ke dalam lukisan. Kaligrafi murni mengalami bentuk pengungkapan baru ke dalam komposisi huruf yang diramu dengan motif dekorasi. Seperti munculnya kembali penggunaan bahan kaca sebagai medium seni lukis, karya-karya seni kaligrafi dalam berbagai bentuk wayang dan tokoh cerita dalam agama Islam dengan gaya khas Cirebon. Namun manifestasi kaligrafi Islam masih tidak beranjak dari konsepsi masa awal Islam yaitu mengisi bidang gambar yang tersedia, hanya saja keterikatan itu tidak sekuat pada masa awal Islam.[7]
Angin baru ditiupkan oleh A. Sadali, AD. Pirous (Bandung), Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya) yang dengan kemampuan tekniknya melahirkan karya-karya seni lukis kaligrafi yang berkarakteristik. Kaligrafi yang hadir dalam karya pelukis-pelukis tersebut menjadi ekspresi yang larut dalam mediumnya. Unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, dan unsur bentuk lainya, mampu mencuatkan nilai-nilai baru dalam seni lukis kaligrafi di Indonesia sebagai kaligrafi kontemporer.
Kehadiran seni lukis kaligrafi di Yogyakarta sebagai karya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah merupakan kebangkitan kembali pada seni kaigrafi, baik pada seniman maupun penikmatnya. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh para tokoh pembaharu dalam seni lukis kaligrafi untuk menemukan cara-cara baru dalam berekspresi semangat Islami melalui tulisan indah, adalah tanda-tanda yang memberi harapan besar bagi seni Islam yang sangat dihormati ini.
Studi ini memfokuskan pembahasannya mengenai permasalahan seni lukis kaligrafi dalam perkambangannya pada penghujung abad XX, terutama yang berlangsung di Yogyakarta antara tahun 1976 sampai tahun 2000. Pengambilan batas waktu tersebut karena pada tahun 1976 merupakan awal mula munculnya ide kreatif dari seorang seniman lukis batik Indonesia, Amri Yahya, untuk menuangkan seni kaligrafi ke dalam media lukisan batik. Seperti diketahui, Yogyakarta merupakan satu di antara tiga kota yang mempelopori aliran baru dalam seni kaligrafi kontemporer Islam, yaitu seni lukis kaligrafi yang diwujudkan dalam berbagai tema, melalui pengolahan gaya-gaya lama maupun baru, dan dengan media lama maupun baru pula. Oleh karena itu banyak sekali permasalahan dalam seni lukis kaligrafi yang bisa diungkap, dari berbagai aspek dan berbagai sudut pandang, seperti: aliran dan ragam yang muncul di dalamnya, faktor-faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan”[8] terhadap kaidah-kaidah khathiyah [9] dan perbedaan pandangan di kalangan senimam muslim secara umum yang terjun ke bidang seni lukis kaligrafi (tidak hanya pelukis Jogja) terhadap perkembangan seni lukis kaligrafi. Hal ini menarik untuk dikaji lebih seksama, sehingga dapat terungkap permasalahan yang muncul di dalamnya secara lengkap.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Permasalahan pokok yang dibahas dalam skripsi ini, ialah kaligrafi kontemporer di Yogyakarta dalam perkembangannya dari tahun 1976 sampai tahun 2000. Kajian mengenai kaligrafi kontemporer ini difokuskan terhadap permasalahan yang muncul dalam perkembangan seni lukis kaligrafi. Untuk penjabaran permasalahan tersebut, akan dipandu melalui perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan seni lukis kaligrafi dan mengapa disebut kaligrafi kontermporer?
2. Bagaimana perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dan faktor apa yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap rumus-rumus dasar kaligrafi?
3. Siapa tokoh seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dan aliran apa yang mereka kembangkan dalam seni lukis kaligrafi?
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Studi perkembangan di sini bertujuan untuk memberi penjelasan tentang seni lukis kaligrafi dan mengetahui secara pasti munculnya istilah kontemporer dalam perkembangan seni kaligrafi, khususnya di Yogyakarta.
- Mengetehui bagaimana perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dengan berusaha mengungkap secara jelas faktor-faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah khathiyah, sehingga melahirkan sebuah karya yang serba aneh dan unik, serta menghadirkan unsur kaligrafi “secara mandiri” yang dilatari unsur lain dalam kesatuan estetik dengan penampilan sebagai gaya ungkapan, media, dan teknik, seperti lukisan kaligrafi.
- Mengetahui siapa tokoh-tokoh yang mampu mengembangkan aliran dan gaya dalam seni lukis kaligrafi di Yogyakarta.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
- Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang seni rupa Islam, khususnya seni lukis kaligrafi.
- Diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk memperkaya wacana tentang perkembangan seni rupa Islam di Indonesia khususnya Yogyakarta. Atau sekedar untuk kebutuhan apresiasi.
D. Tinjauan Pustaka
Kehadiran kaligrafi sebagai salah satu simbol budaya Islam telah mendorong para pelukis (seniman) muslim untuk mengkaji lebih lanjut, tidak hanya berkenaan dengan tulis-menulis yang indah seperti umumnya buku-buku tentang kaligrafi, akan tetapi mengubahnya ke dalam gaya tulisan bebas. Sehingga lahirlah satu kesatuan bentuk “lukisan” kaligrafi yang sesuai dengan keinginan pelukisnya.
Sepengetahuan penyusun, buku-buku yang mengkaji tentang kaligrafi hanya terpusat pada kaligrafi murni atau tradisional.[10] Sedikit sekali yang membahas kaligrafi kontemporer, terutama seni lukis kaligrafi. Seperti buku-buku yang dapat penyusun jumpai, antara lain: “Kaligrafi Islam” oleh Yasin Hamid Safadi terjemahan Abdul Hadi W.M. Secara jelas memaparkan tentang kaligrafi secara umum dari asal-usul huruf Arab sampai pada perkembangan awal di masa khalifah Usman bin Affan tahun 651 M, dan perkembangan lanjut kaligrafi pada abad ke-13 M. Sampai memasuki awal abad ke-19 M tidak menunjukkan perubahan berarti dari rumus-rumus dasar kaligrafi, yang hingga sekarang masih menjadi standar yang baku.
Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya “Seni Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam” terjemahan Hartono Hadikusumo, membahas tentang kaligrafi kontemporer lebih berifat umum (dalam skala dunia Islam internasional). Pembahasannya pun hanya berkutat pada keberadaan kaligrafi kontemporer dan corak yang digolongkan ke dalam beberapa kategori tanpa kejelasan periodesasinya.[11]
Buku “Seni Kaligrafi Islam” oleh D. Sirojuddin AR., pada bab XI kaligrafi kontemporer yang dijelaskan di dalamnya juga masih bersifat umum. Membahas tentang pengertian sampai pada pengaruh luar terhadap kaligrafi, yang akhirnya muncul istilah kaligrafi kontemporer. Di dalamnya juga membahas seputar keberadaan seni lukis kaligrafi dalam dunia seni rupa Islam di Indonesia.[12]
Dalam buku “Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya” oleh Oloan Situmorang, pada bab IV juga dijelaskan secara singkat tentang penertian dan keberadaan seni lukis kaligrafi.[13] Dari tinjauan buku-buku yang penyusun peroleh tersebut, pembahasan tentang kaligrafi kontemporer (seni lukis kaligrafi) lebih bersifat umum dan terpusat pada definisi, corak serta keberadaannya sebagai sebuah bentuk karya seni yang paling baru. Belum ada yang mengkaji sampai pada permasalahan (perbedaan pandangan) yang ditimbulkan oleh seni lukis kaligrafi. Apalagi studi tentang pekembangannya yang bersifat lokal.
E. Landasan Teori
Kaligrafi kontemporer adalah istilah atau sebutan untuk sebuah karya yang “memberontak” atau “menyimpang” dari rumus-rumus dasar kaligrafi, yang merupakan bentuk manifestasi gagasan dalam wujud visual. Secara estetika kaligrafi kontemporer mengacu kepada kaidah penciptaan seni rupa kontemporer secara umum dan secara etika bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang membawa muatan artistik-apresiatif yang berfungsi sebagai tontonan (media apresiasi), di sisi lain mengandung muatan etik-religius yang berfungsi sebagai tuntunan (media dakwah).
Sering diistilahkan adanya jenis kaligrafi “murni” dan “lukisan” kaligrafi. Pertama, dimaksudkan sebagai kaligrafi yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan dengan ketat, yakni bentuk yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi (khath) yang baku. Penyimpangan, ataupun percampuradukan satu dengan lainnya dipandang sebagai kesalahan, karena dasarnya tidak sesuai dengan rumus-rumus yang sudah ditetapkan. Sedang yang kedua, adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil karya lukis, atau coretan kaligrafi yang “dilukis-lukis” sedemikian rupa –biasanya dengan kombinasi warna beragam, bebas dan (umumnya) tanpa mau terikat dengan rumus-rumus baku yang sudah ditentukan.[14] Model inilah yang digolongkan ke dalam aliran kaligrafi Kontemporer.
Segala aspek yang terkait dengan perkembangan seni kaligrafi, kiranya dapat dipahami dengan pemikiran yang lebih umum tentang kebudayaan Islam. Teori tentang kebudayaan Islam secara umum juga dapat disebut dengan teori evolusi.[15] Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa kebudayaan Islam berkembang dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana menjadi semakin kompleks; dari sebuah aturan lama yang telah dibakukan menuju
pada usaha “pemberontakan” dan akhirnya tercipta sebuah aturan baru.[16] Teori evolusi berlaku dalam bidang tata-aturan hidup masyarakat dalam berkesenian karena tata-aturan ini diturunkan sesuai dengan tingkat perkembangan dan keperluan masyarakat yang senantiasa berevolusi. Dalam banyak segi, membicarakan masalah kebudayaan berarti akan mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia baik sebagai manusia pribadi maupun manusia yang hidup berkelompok. Kita menyadari bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan adalah merupakan kelompok makhluk yang memiliki kemampuan dalam hal berfikir, berkehendak dan berkemauan maupun cita-cita yang tiada batasnya. Ia yang selalu bercita-cita dengan dibarengi usaha untuk mendapatkan apa-apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Dapat disebut bahwa manusia itu adalah makhluk yang mempunyai aktifitas dan kreatifitas tinggi dalam usaha memenuhi segala keperluan dan kebutuhan hidupnya. Semua kemampuan ini adalah merupakan ungkapan yang terjelma dari budi dan daya manusia.[17]
Dalam kajian keislaman, selalu saja kita terbentur pada sebuah jalan buntu ketika memasuki wilayah kajian seni Islam. Kebuntuan tersebut muncul dari ambivalensi[18] sikap kaum muslim sendiri dalam menangani persoalan dunia seni. Di satu sisi, sebagian besar orang Islam, dapat dipastikan, akan mengatan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan, apalagi melarang seni. Dengan penuh semangat mereka akan menunjukkan berbagai “dalil” baik Aqliyah19: bahwa Al-Qur’an sendiri mengandung nilai artistik, historis: bahwa hingga kini tilawah Al-Qur’an dan khath atau kaligrafi tersebar luas, maupun naqliyah20: semacam Hadis yang mengatakan bahwa ‘Allah itu Indah dan menyukai keindahan’.21
Dasar-dasar pemikiran di atas dipandang cukup untuk dijadikan acuan dalam studi ini, sehingga kajiannya dapat mendeskripsikan dan menganalisis perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dalam kurun waktu yang telah ditetapkan. Memang banyak faktor yang menyebabkan perubahan dalam perkembangan seni kaligrafi, baik dari intern maupun ekstern, namun segala permasalahannya perlu didekati secara hitoris. Dengan pendekatan sejarah, diharapkan karya tulis ini dapat menghasilkan sebuah penjelasan yang mampu mengungkapkan gejala-gejala yang relevan dengan waktu dan tempat di mana seni lukis kaligrafi berkembang. Kemudian secara historis dapat pula diungkap kausalitas, pertumbuhan, dan beberapa pandangan yang muncul di dalamnya.
Pengkajian dan penjelasan terhadap kompleksitas gejala sejarah itu, pada gilirannya menghendaki penggunaan konsep-konsep dalam pendekatan ilmu sosial. Dalam konteks studi ini, tentu saja konsep kepribadian, masyarakat dan kebudayaan seperti yang telah dikemukakan di atas, yang menjadi perhatian.
F. Metode Penelitian
Penelitian tentang studi perkembangan ini bertujuan untuk mencapai penulisan sejarah, maka upaya merekontruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu ditempuh melalui metode historis, yaitu suatu metode untuk memproses pengumpulan data, penafsiran gejala, peristiwa dan gagasan di masa lampau, guna menemukan generalisasi yang berguna untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang. 22
Kemudian untuk melaksanakannya diperlukan langkah atau tahap dalam peoses penelitian ini. Sedangkan langkah-langkah yang penyusun ambil adalah sebagai berikut:
- Heuristik, yaitu suatu tahap pengumpulan data baik tetulis maupun lisan. Dalam pengumpulan data ini, penyusun menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara:
- Studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data dari literatur yang penyusun dapatkan dengan cara menelaah isinya melalui buku, katalog, majalah, surat kabar yang di dalamnya memuat penjelasan tentang perkembangan seni lukis kaligrafi, khususnya di Yogyakarta.
- Penelitian lapangan, untuk mendapatkan data yang lebih lengkap. Dalam hal ini penyusun mengadakan obsevasi dan interview, yaitu teknik pengumulan data dengan cara bertanya langsung kepada responden.23 Wawancara yang penyusun lakukan adalah wawancara bebas tanpa menggunakan susunan datar pertanyaan dan jadwal wawancara. Bentuk petanyaan dan jadwal wawancara menyesuaikan dengan kondisi para tokoh seni lukis kaligrafi serta pelukis sebagai responden, yang menggeluti dan penyusun anggap banyak tahu tentang kaligrafi kontemporer, terutama seni lukis kaligrafi dan perkembangannya guna melengkapi data tertulis. Tokoh seni lukis kaligrafi yang akan penyusun wawancarai, antara lain:
1. Amri Yahya, pelukis kelahiran Palembang, mengenyam pendidikan seni rupa di ASRI Yogyakarta, lulus sarjana tahun 1963.
2. Syaiful Adnan, pelukis kelahiran Solok, mengenyam pendidikan seni lukis di ASRI Yogyakarta (1976-1982).
2. Kritik, yaitu menguji dan menganalisis secara kritis terhadap data yang diperoleh melalui kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern dilakukan untuk mencari keautentikan sumber. Adapun kritik intern berusaha mencari kasahihan dari informasi yang ada pada sumber tersebut. Dengan kritik inilah akan diperoleh validitas sumber sejarah.
3. Interpretasi, yaitu menafsirkan fakta yang saling berhubungan dari data yang telah teruji kebenarannya.
4. Selanjutnya memasuki tahap historiografi, yaitu merupakan langkah akhir dalam penelitian dengan menghubungkan permasalahan yang satu dengan yang lainnya sehingga menjadi rangkaian yang berarti. Historiografi ini merupakan penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian yang penyusun lakukan. 24
G. Sistematika Pembahasan
Penyajian penelitian dalam bentuk skripsi ini mempunyai tiga bagian: awal, isi dan akhir. Bagian pertama tediri dari: Halaman sampul luar dan sampul dalam, halaman nota dinas, halaman pengesahan halaman persembahan, halaman matto, kata pengantar, dan daftar isi.
Bagian isi merupakan bagian utama yang berisi: Pendahuluan, penyajian hasil penelitian, dan kesimpulan serta saran. Bagian ini disajikan dalam lima bab. Pendahuluan menempati bab pertama sebagaimana telah dibahas, di dalamnya menguraikan beberapa hal pokok yaitu latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan kini sistematika pembahasan.
Penyajian hasil penelitian dibagi menjadi tiga bab berikutnya (bab dua, bab tiga, dan bab empat), sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Pada bab dua dipaparkan tentang seputar kaligrafi. Permasalahan penting yang dibahas meliputi pengertian dan asal-usul kaligrafi, kaligrafi murni dan lukisan kaligrafi, serta kaligrafi kontemporer yang menjelaskan tentang pembatasan masa kontemporer dan corak kaligrafi kontemporer. Kemudian kaitannya dengan perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta, pada bab tiga dipaparkan tentang pertumbuhan dan perkebangannya, beberapa faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah khathiyah, dan pandangan seniman muslim terhadap seni lukis kaligrafi. Bab keempat membahas tentang tokoh seni lukis kaligrafi berikut biografinya, serta ragam aliran dan gaya seni lukis kaligrafi yang berkembang di Yogyakarta.
Bab berikutnya adalah kesimpulan dan saran. Kesimpulan atas keseluruhan pembahasan skripsi ini, yang diharapkan dapat menarik benang merah dari uraian pada bab-bab sebelumnya menjadi suatu rumusan yang bermakna. Rumusan kesimpulan dan saran tersebut ditulis pada bab kelima, dan sekaligus sebagai bab penutup.
Bagian akhir memuat hal-hal yang penting dan relevan dengan penelitian penyusun lakukan, yang terdiri atas daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat hidup.
[1] M. Abdul Jabbar Beg, Seni di dalam Peradaban Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), hlm. 1.
[2] Lihat Bab II, hlm. 16.
[3] Berarti garis atau tulisan indah. Garis lintang, equator atau khatulistiwa terambil dari kata Arab, khathul istiwa, melintang elok membelah bumi jadi dua bagian yang indah. Lihat D. Sirojuddin AR., Seni Kaligrafi Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. I, edisi II, Mei 2000), hlm. 3.
[4] Lihat Ibid., hlm. 281-355.
[5] Ahmad Suudi, Konsep Kaligrafi Islami Amri Yahya dalam Seni Lukis Batik, (Yogyakarta: FPBS-IKIP, 1995), hlm. 4.
[6] Ibid., hlm. 5.
[7] Ibid., hlm. 6.
[8] Usaha membebaskan diri dari ikatan (kaidah khathiyah) yang dianggap membatasi “ruang” dan “gerak” seorang seniman dalam menuangkan idenya untuk berkarya.
[9] Rumus-rumus dasar kaligrafi yang sudah dibakukan, seperti: Naskhi. Tsuluts, Diwani, Diwani Jali, Kufi, Farisi, Riq’ah dan Rayhan. Lihat D. Sirojuddin AR., Seni Kaligrafi Islam, hlm. 281-355.
[10] Jenis kaligrafi yang masih bepegang teguh pada rumus-rumus dasar kaligrafi (kaidah khathiyah) yang telah dibakukan.
[11] Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, terj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, cet. I, Januari 1999), hlm. 105-118.
[12] D. Sirojuddin AR., Seni Kaligraf Islam, hlm. 165-176.
[13] Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Bandung: Penerbit Aksara, cet. X, 1993), hlm. 99-101.
[14] D. Sirojuddin AR., Seni Kaligraf Islam, hlm. 10-11.
[15] Proses perkembangan/perubahan secara lambat (berangsur-angsur); teori evolusi: suatu interpretasi tentang cara terjadinya perkembangan mahluk-mahluk hidup. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Penerbit ARKOLA, t.t.), hlm. 164.
[16] Dalam seni kaligrafi, golongan penganut setia pada rumus-rumus dasar kaligrafi (kaidah khathiyah) tetap berusaha mempertahankan aturan lama yang diciptakan oleh para khthath (kaligrafer) terdahulu. Sementara golongan yang berusaha membebaskan diri dari kaidah khathiyah ketika menciptakan sebuah karya, mereka itulah yang berusaha membuat aturan baru dalam perkembangan seni kaligrafi sampai muncul istilah kaligrafi kontemporer.
[17] Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya, hlm. 1.
[18] Kebingungan dalam menentukan dua perasaan yang sama-sama muncul; perasaan yang bertentangan. Seperti munculnya gerakan “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah yang sudah baku dalam seni kaligrafi.
19 Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, hlm. 13-17.
20 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, cet. IX. Maret 1999), hlm. 389.
21 Pengantar buku Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, hlm. v.
22 Winarno Surahmad, Dasar dan Teknik Research, Pengantar Methodologi Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1970), hlm. 123.
23 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 100.
24 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wahana Ilmu, cet. II, Oktober 1999), hlm. 67.