BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebijakan pemerintah dalam pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 menempatkan kesehatan ibu dan anak sebagai prioritas penting karena anak adalah harapan bangsa di masa yang akan datang. Kemajuan bangsa di masa mendatang akan sangat tergantung dari kondisi kesehatan anak saat ini.
Dalam rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 terdapat beberapa program unggulan yang berhubungan dengan kesehatan anak yaitu program perbaikan gizi, penanggulangan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, peningkatan kesehatan keluarga, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, kesehatan lingkungan pemukiman, air dan udara sehat dan pencegahan kecelakaan. Program-program tersebut dilakukan melalui upaya kesehatan seperti pemeriksaan ibu hamil, imunisasi, pertolongan persalinan, penanggulangan penyakit-penyakit penyebab kematian, deteksi dini dan stimulasi tumbuh kembang anak serta upaya kesehatan sekolah.
|
Angka kematian bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) adalah jumlah kematian bayi di bawah usia 1 tahun per 1000 kelahiran hidup. Angka ini merupakan indikator yang sensistif terhadap ketersediaan, pemanfaatan dan kualitas pelayanan kesehatan terutama pelayanan perinatal. AKB juga berhubungan dengan pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu dan keadaan gizi keluarga.
Angka kematian bayi (AKB) pada tahun 2000 berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) adalah 44 per 1000 kelahiran hidup. Sementara estimasi SUSENAS, angka kematian bayi pada tahun 2001 adalah 50 per 1000 kelahiran hidup. Kematian bayi tersebut disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti yang tercantum pada tabel di bawah ini :
Tabel 1.1
Proporsi Penyakit Penyebab Kematian Bayi di Indonesia Tahun 2001
No. | Jenis Penyakit | % |
1. | Gangguan Perinatal | 34,7 % |
2. | Sistem Pernafasan | 24,6 % |
3. | Diare | 9,4 % |
4. | Sistem Pencernaan | 4,3 % |
5. | Gejala Tidak Jelas | 4,1 % |
6. | Tetanus | 3,4 % |
7. | Syaraf | 3,2 % |
Sumber : SURKESNAS 2001
Indikator selanjutnya adalah angka kematian balita (AKABA). Angka kematian balita adalah jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian balita ini menggambarkan keadaan lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan.
Angka kematian balita pada tahun 2001 menurut SUSENAS adalah 64 per 1000 kelahiran hidup. Penyebab kematian balita menurut SUSENAS 2001 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1.2
Pola Penyakit Penyebab Kematian Balita di Indonesia Tahun 2001
No. | Jenis Penyakit | % |
1. | Sistem Pernafasan | 22,8 % |
2. | Diare | 13,2 % |
3. | Syaraf | 11,8 % |
4. | Tifus | 11,1 % |
5. | Sistem Pencernaan | 5,9 % |
6. | Infeksi Lain | 5,1 % |
Sumber : SURKESNAS 2001
Berdasarkan data di atas maka penyebab terbanyak kematian bayi dan balita adalah gangguan perinatal dan penyakit-penyakit sistem pernafasan. Menurut Yunanto, dkk (2003) upaya menurunkan angka kematian bayi dilakukan dengan mempercepat usaha rujukan agar bayi resiko tinggi dapat segera mendapat pertolongan. Bayi-bayi yang termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi adalah bayi berat lahir rendah (BBLR), asfiksia pada bayi baru lahir, kejang, sesak nafas, perut kembung, kuning pada bayi dan perdarahan pada bayi.
Rujukan pelayanan kesehatan ini terutama ditujukan kepada bayi baru lahir beresiko tinggi yang mengalami kegawatan perinatal atau perinatal distress. Kegawatan perinatal disebabkan oleh berbagai gangguan yang berpotensi meningkatkan kematian atau kesakitan pada neonatus. Akibat gangguan tersebut bayi akan sakit sehingga pertumbuhannya terhambat atau kemampuan adaptasinya terganggu atau bahkan menimbulkan kematian.
Kegawatan perinatal ini bisa terjadi pada bayi aterm maupun preterm, bayi dengan berat lahir cukup maupun dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR yang pretrem berpotensi mengalami kegawatan lebih besar. Berbagai jenis kegawatan yang sering dijumpai di lapangan dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas cukup tinggi serta penanganan segera yaitu trauma kelahiran, asfiksia neonatorum, sindroma gawat nafas neonatus, hiperbilirubinemia, infeksi, kejang dan renjatan atau syok (Yunanto, dkk, 2003).
Kegawatan pernafasan juga dapat terjadi pada bayi dengan penyakit pernafasan dapat menimbulkan dampak yang cukup berat bagi berupa terjadinya henti nafas atau bahkan kematian. Akibat dari gangguan pada sistem pernafasan adalah terjadinya kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh.
bayi akan beradapatasi terhadap kekurangan oksigen dengan mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama, metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat. Dengan memburuknya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain (Yu dan Monintja, 1997). Selanjutnya dapat terjadi depresi pernafasan yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang bahkan dapat menyebabkan kematian.
Depresi nafas yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang hanya dapat diatasi dengan pemberian oksigen dengan tekanan positif, massase jantung eksternal dan koreksi keadaan asidosis. Hanya setelah oksigenasi dan perfusi jaringan diperbaiki maka aktivitas respirasi dimulai (Yu dan Monintja, 1997).
Pendapat tersebut menekankan pentingnya tindakan resusitasi dengan segera. Makin lambat dimulainya tindakan resusitasi yang efektif maka akan makin lambat pula timbulnya usaha nafas dan makin tinggi pula resiko kematian dan kecacatan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Nelson (1999) yang menyatakan bahwa peluang keberhasilan tata laksana penderita dengan henti nafas menitikberatkan pada pentingnya kemampuan tata laksana karena peningkatan hasil akhir pasca henti pernafasan dihubungkan dengan kecepatan dilakukannya resusitasi jantung paru.
Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekwat (Rilantono, 1999). Tindakan ini merupakan tindakan kritis yang dilakukan pada saat terjadi kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat (sekitar 4 – 6 menit).
Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Resusitasi pada anak yang mengalami gawat nafas merupakan tindakan kritis yang harus dilakukan oleh perawat yang kompeten. Perawat harus dapat membuat keputusan yang tepat pada saat kritis. Kemampuan ini memerlukan penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang unik pada situasi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien kritis (Hudak dan Gallo, 1997).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Apabila perilaku didasari pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku bersifat langgeng (Notoatmodjo, 2003). Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang luas. Terbentuknya suatu perilaku baru terutama pada orang dewasa dimulai dari domain kognitif, dalam arti subjek terlebih dahulu mengetahui terhadap stimulus yang berupa materi atau obyek luarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subyek tersebut.
Pengetahuan perawat tentang resusitasi merupakan modal yang sangat penting untuk pelaksanaan tindakan resusitasi pada situasi kritis. Pengetahuan ini menentukan keberhasilan tindakan resusitasi. Pengetahuan tentang resusitasi didapat melalui pendidikan, pelatihan atau pengalaman selama bekerja.
Pengetahuan tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon harus dikuasai dengan baik oleh perawat karena RSUD Gunung Jati Cirebon adalah rumah sakit pendidikan tipe B yang menerima rujukan dari Wilayah III Cirebon yang meliputi Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan.
Tabel 1.3
Data Pasien Rawat Inap Ruang NICU
Bulan Desember 2004 – Februari 2005
No. | Bulan | Jenis Penyakit | Kasus | Kematian | ||
∑ | % | ∑ total | % | |||
1. | Desember 2004 | Prematur RDS Asfiksia Neonatorum Ikterik Neonatorum Hirschprung | 6 7 4 1 | 33.3 38.9 22.2 5.6 | 8 | 44.4 |
Jumlah | 18 | 100 | 8 | 44.4 | ||
2. | Januari 2005 | Prematur RDS Asfiksia Neonatorum Icterik Neonatorum Hirschprung | 8 15 2 2 | 29.6 55.6 7.4 7.4 | 13 | 48.1 |
Jumlah | 27 | 100 | 13 | 48.1 | ||
3. | Februari 2005 | Prematur RDS Asfiksia Neonatorum Omphalokel Kelainan Jantung Kongenital Palatoskizis | 10 8 1 1 1 | 47.6 38.1 4.8 4.8 4.8 | 4 | 19 |
Jumlah | 21 | 100 | 4 | 19 |
Sumber : Sub Bagian Rekam Medik RSUD Gunung Jati Cirebon
Sebagai rumah sakit rujukan, RSUD Gunung Jati Cirebon menerima rujukan pelayanan kesehatan dari beberapa rumah sakit di Wilayah III Cirebon, termasuk masalah-masalah kegawatan pada neonatus, bayi dan anak yang memerlukan perawatan lebih lanjut dan seringkali pasien-pasien yang dirujuk adalah pasien-pasien dalam keadaan kritis dengan prognosa yang buruk.
Data pasien rawat inap di Ruang NICU (tabel 1.3) menunjukkan jumlah pasien dan jenis-jenis penyakit serta kematian neonatus yang terjadi selama Bulan Desember 2004 sampai dengan bulan Februari 2005. Data tersebut menggambarkan prosentase kasus kegawatan pernafasan yaitu RDS dan asfiksia neonatorum sebesar 72,2 % pada bulan Desember 2004, pada bulan Januari 2005 sebesar 81,5 % dan 85,7 % pada bulan Februari 2005.
Begitu pula data pasien rawat inap Ruang Perinatologi (tabel 1.4) menggambarkan bahwa sebagian besar neonatus yang dirawat berpotensi mengalami kegawatan pernafasan. Sementara neonatus yang dirawat di ruang anak sebagian besar juga mengalami gangguan pernafasan dan yang paling sering adalah bronkhopeumoni (BP) dan Ruang Anak juga merupakan ruang perawatan untuk neonatus dengan kegawatan pernafasan apabila Ruang NICU penuh.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar neonatus yang dirawat terutama di Ruang NICU dan Ruang Perinatologi adalah penderita gangguan pernafasan yang berpotensi mengalami kegawatan pernafasan sehingga perawat harus selalu siap melaksanakan tindakan resusitasi terutama pada saat pasien jatuh ke dalam kondisi kritis untuk mencegah kecacatan atau bahkan kematian.
Tabel 1.4
Data Pasien Rawat Inap Ruang Perinatologi
Bulan Desember 2004 – Februari 2005
No. | Bulan | Jenis Penyakit | Kasus | Kematian | ||
∑ | % | ∑ total | % | |||
1. | Desember 2004 | Normal Asfiksia Ringan Asfiksia Sedang Asfiksia Berat BBLR | 23 62 24 29 29 | 13,8 37,2 14,4 17,4 17,4 | 3 | 1,8 |
Jumlah | 167 | 100 | 3 | 1,8 | ||
2. | Januari 2005 | Normal Asfiksia Ringan Asfiksia Sedang Asfiksia Berat BBLR | 23 39 21 33 31 | 15,6 26,5 14,3 22,4 21,2 | 4 | 2,7 |
Jumlah | 147 | 100 | 4 | 2,7 | ||
3. | Februari 2005 | Normal Asfiksia Ringan Asfiksia Sedang Asfiksia Berat BBLR | 23 37 20 18 17 | 20,0 32,2 17,4 15,6 14,8 | 1 | 0,9 |
Jumlah | 115 | 100 | 1 | 0,9 |
Sumber : Sub Bagian Rekam Medik RSUD Gunung Jati Cirebon
Tindakan resusitasi di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak hampir selalu dilakukan oleh perawat karena terbatasnya tenaga dokter terutama pada saat-saat tertentu seperti pada saat sore atau malam. Kewenangan perawat ini telah diatur dalam kebijakan rumah sakit mengenai standar prosedur serta operasional dalam penanganan pasien neonatus, bayi dan anak yang mengalami kondisi kritis. Oleh karena itu perawat harus menguasai pengetahuan dan keterampilan resusitasi dengan baik agar dapat melakukan tindakan resusitasi secara efektif untuk mencegah kecacatan atau kematian.
Data tenaga keperawatan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan perawat sebagian besar DIII yaitu sebanyak 28 orang, SPK sebanyak 8 orang dan bidan sebanyak 1 orang. Perawat yang telah mengikuti pelatihan resusitasi adalah 5 orang dari 37 perawat dari tiga ruangan tersebut. Perawat yang belum mengikuti pelatihan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan melakukan resusitasi dari contoh yang diberikan oleh kepala ruangan atau perawat yang telah mengikuti pelatihan.
Tabel 1.5
Latar Belakang Pendidikan Perawat Pelaksana
Di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak
RSUD Gunung Jati Cirebon Tahun 2005
No. | Ruang | Pendidikan | Jumlah | |||
Bidan | SPK | D3 | S1 | |||
1. | NICU | - | 3 | 9 | - | 12 |
2. | Perinatologi | 1 | 3 | 7 | - | 11 |
3. | Anak | - | 2 | 11 | - | 13 |
Jumlah |
1 |
8 |
27 |
- |
36 |
Sumber : Sub Bagian Kepegawaian RSUD Gunung Jati Cirebon
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Pengetahuan Perawat Tentang Kegawatan Nafas dan Tindakan Resusitasi Pada Neonatus Yang Mengalami Kegawatan Pernafasan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan diatas maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut, bagaimanakah pengetahuan perawat tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus yang mengalami kegawatan pernafasan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran mengenai pengetahuan perawat tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus yang mengalami kegawatan pernafasan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak di RSUD Gunung Jati Cirebon.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus yang mengalami kegawatan pernafasan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon meliputi :
1) Mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang konsep kegawatan pernafasan pada neonatus.
2) Mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang asuhan keperawatan pada neonatus yang mengalami kegawatan pernafasan, meliputi pengkajian, perencanaan dan evaluasi.
3) Mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang konsep resusitasi pada neonatus meliputi pengertian, tujuan, serta teknik resusitasi terdiri dari pengelolaan jalan nafas (airway), bantuan ventilasi (breathing) dan sirkulasi darah dengan cara pemijatan dada (circulation).
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pengelola RSUD Gunung Jati Cirebon mengenai pengetahuan perawat tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus yang mengalami kegawatan pernafasan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak sehingga dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan dalam penatalaksanaan situasi krisis.
Disamping itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penatalaksanaan kegawatan pada neonatus di RSUD Gunung Jati Cirebon.
1.5 Kerangka Pemikiran
Kegawatan pernafasan pada neonatus dapat terjadi karena berbagai sebab penyakit yang mengganggu sistem pernafasan secara langsung atau karena sebab sekunder lainnya. Kegawatan ini menimbulkan dampak negatif bagi tubuh bayi berupa terjadinya kekurangan oksigen pada tubuh (hipoksia). Tubuh bayi akan beradaptasi dengan cara mengaktifkan metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat. Keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan pada otak (Yu dan Monintja, 1997).
Akibat dari hipoksia akan bertambah buruk apabila tidak segera dilakukan penanganan yang sempurna sehingga tujuan tindakan yang dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala lanjut yang mungkin timbul tidak tercapai.
Pada neonatus yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi pernafasan yang cepat dalam periode yang singkat. Apabila hipoksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung mulai menurun dan tonus otot neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur. Pada fase ini akan terjadi apneu primer. Apabila hipoksia berlanjut, denyut jantung terus menurun, tekanan darah akan semakin menurun, bayi akan terlihat lemas (flacid), kadar oksigen dalam darah darah terus menurun, bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukan upaya pernafasan secara spontan. Pada fase ini akan terjadi apneu sekunder dan akan terjadi kematian bila tidak segera dilakukan resusitasi dengan pernafasan buatan (Syaifuddin,2002).
Secara klinis keadaan apneu primer atau apneu sekunder sulit dibedakan. Hal ini berarti bahwa dalam menghadapi bayi dengan kondisi apneu, harus dianggap bahwa bayi mengalami apneu sekunder dan harus segera dilakukan resusitasi.
Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen ke otak, jantung dan alat vital lainnya. Tindakan resusitasi mengikuti tahapan yang dikenal sebagai ABC Resusitasi yaitu:
A : Airway, mempertahankan saluran nafas terbuka meliputi kegiatan meletakan bayi dengan posisi sedikit ekstensi, menghisap mulut dan hidung bayi .
B : Breathing, memberikan pernafasan buatan meliputi kegiatan melakukan rangsang taktil untuk memulai pernafasan, melakukan ventilasi tekanan positif dengan sungkup dan balon.
C : Circulation, mempertahankan sirkulasi (peredaran) darah meliputi kegiatan mempertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada.
Resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Tindakan ini memerlukan penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang unik pada situasi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien kritis (Hudak dan Gallo, 1997). Keterampilan melaksanakan tindakan resusitasi merupakan salah satu kompetensi profesional yang harus dikuasai perawat dalam menghadapi situasi kritis.
|
|
| ||||||||||||||
| |||||||||||||||
: tidak diteliti
Kompetensi keperawatan profesional adalah perilaku yang didasarkan pada keyakinan, sikap dan pengetahuan yang sesuai dengan serangkaian hasil yang diharapkan seperti yang ditetapkan dalam area praktik keperawatan, kebijakan, kode etik, standar, pedoman dan benchmark yang menjamin kinerja yang aman dalam kegiatan profesional.
Pembentukan perilaku sangat ditentukan oleh domain kognitif sehingga apabila perilaku didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (Notoatmodjo, 2003). Dengan demikian maka agar perawat dapat melakukan tindakan resusitasi secara efektif maka perawat harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang tindakan resusitasi itu sendiri.
1.6 Definisi Konseptual dan Operasional
1.6.1 Definisi Konseptual
1) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu (Notoatmodjo, 2003).
2) Perawat
Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 pasal 1 ayat 3 dan pasal 32 ayat 3 dan 4, perawat adalah tenaga kesehatan yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan di bidang kesehatan, khususnya keperawatan sehingga mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan berupa pelaksanaan praktik keperawatan.
3) Resusitasi
Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak (Tjokronegoro, 1998).
4) Neonatus
Neonatus adalah bayi baru lahir sampai berumur 4 minggu (Markum, 1999).
5) Kegawatan Pernafasan
Kegawatan pernafasan adalah keadaan kekurangan oksigen yang terjadi dalam jangka waktu relatif lama sehingga mengaktifkan metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat. Dimana apabila keadaan asidosis memburuk dan terjadi penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain. Selanjutnya dapat terjadi depresi pernafasan yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang dan bahkan dapat menyebabkan kematian (Yu dan Monintja, 1997).
1.6.2 Definisi Operasional
1) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Tingkat pengetahuan yang diukur dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan dari rentang tahu (C1), memahami (C2), aplikasi (C3), analisa (C4), sintesis (C5) dan evaluasi (C6). Hasil penelitian dikategorikan ke dalam 3 kriteria, yaitu responden dikatakan memiliki pengetahuan yang baik apabila mempunyai persentase nilai antara 76 – 100%, cukup apabila 60 – 75% dan responden dikatakan memiliki pengetahuan kurang apabila persentase nilai kurang dari 60%.
Pengetahuan perawat tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus adalah segala sesuatu yang diketahui oleh perawat mengenai resusitasi meliputi pengetahuan tentang konsep dasar kegawatan pernafasan, asuhan keperawatan pada neonatus dengan kegawatan pernafasan dan langkah-langkah pelaksanaan resusitasi yang meliputi: pengelolaan jalan nafas (airway), pemberian ventilasi buatan (breathing), dan pemeliharaan peredaran darah (circulation)
2) Perawat
Perawat adalah tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pelaksanaan praktik keperawatan dan telah ditugaskan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon.
3) Resusitasi
Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak melalui tindakan pembebasan jalan nafas (airway), pemberian bantuan nafas (breathing) dan pemijatan dada untuk menjaga sirkulasi yang adekwat (circulation).
4) Kegawatan Pernafasan
Keadaan dimana terjadi kekurangan oksigen pada tubuh dalam jangka waktu relatif lama yang ditandai dengan kesulitan bernafas serta ditemukan tanda-tanda seperti takhipneu, pernafasan cuping hidung, mendengkur, sianosis, pucat, kelelahan, retraksi dinding dada dan takhikardi.
5) Neonatus
Neonatus adalah pasien dengan gangguan pernafasan yang dirawat di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon dengan usia 0 – 28 hari.