BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, merupakan salah satu dari permasalahan pendidikan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, baik dengan pengembangan kurikulum, peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, sarana pendidikan serta perbaikan manajemen sekolah. Dengan berbagai usaha ini ternyata belum juga menunjukan peningkatan yang signifikan.
|
Kegiatan pembelajaran di sekolah biasanya hanya menenkankan pada transformasi informasi faktual dan pengembangan penalaran yaitu pemikiran logis menuju pencapaian satu jawaban benar atau salah. Menurut Gagne “Belajar merupakan kegiatan yang kompleks, hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai”[1] dengan demikian dalam kegiatan pembelajaran memerlukan banyak pengetahuan dalam mengarahkan dan menyampaikan informasi agar tidak menimbulkan suatu kesalahan antara orang tua, guru dan siswa.
Tujuan pembelajaran matematika kepada siswa akan tercapai bila faktor-faktor pendukungnya dioptimalkan dengan faktor penghambatnya diminimalisir. Hambatan-hambatan tersebut seyogyanya bisa diatasi sendiri oleh siswa. Salah satu cara untuk mengatasi hambatan-hambatan fisiologis menurut hasil penyelidikan dan Ziger, Paw Lazarsfeld, Netschareffe, Else Liefmann, S. Holingworth, Baldwin yang dikutip oleh Ch. Buhler bahwa “Nutrisi harus cukup karena kekurangan kadar makanan ini akan mengakibatkan kurangnya tonus jasmani yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan, lekas mengantuk, lekas lelah dan sebagainya”.[2]
Pekerjaan mendidik dan melatih harus dimulai pada masa bayi, oleh karena pada saat itu pikirannya paling mudah diajar dan pelajaran-pelajaran yang diberikan akan diingat, oleh karena itu di atas bahu semua orang tua terdapat tanggung jawab untuk memberikan pendidikan jasmani, mental, dan rohani. Orang tua harus mengetahui bahwa rumah tangga adalah sebuah sekolah latihan. Tempat mendapat pendidikan yang pertama yang harus diterima anak-anak pada tahun-tahun permulaan pada kehidupan mereka, mengajar mereka untuk menjadi baik hati, sabar dan untuk memikirkan kepentingan orang lain.
“Janganlah pendidikan rumah tangga dianggap sebagai soal yang remeh. Ini menempati tempat yang utama di dalam segala pendidikan yang benar. Para ibu dan bapak telah dipercayakan satu tugas untuk membentuk pikiran anak-anak mereka”.[3]
Pekerjaan orang tua mendahului pekerjaan guru mereka mempunyai sekolah rumah tangga kelas pertama, untuk mempersiapkan anak-anak untuk memasuki kelas dua, yaitu untuk menerima petunjuk-petunjuk dari guru. Oleh karena itu guru dan orang tua memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan program-program sekolah dan menjamin mutu semua aspek penyelenggaraan dan hasil pendidikan.
Setelah anak mulai duduk dibangku sekolah, peran orang tua tidak dapat dilepaskan. Sikap orang tua corak hubungan yang terjadi antara orang tua dan anak serta bagaimana perhatian orang tua terhadap sekolah, maka semua ini akan berpengaruh terhadap hasil belajar anak. Menurut Piaget bahwa : “Anak-anak dalam rentang usia 7-11 tahun baru mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkrit”.[4]
Perhatian kepada anak bukan hanya pemberian makanan, minuman, pakaian tetapi juga yang lebih penting lagi adalah pemberian kasih sayang orang tua yang penuh dan sabar dalam mendampingi anaknya sehari-hari.
Keberhasilan belajar anak sangat ditentukan oleh dorongan atau bimbingan belajar dari orang tua. Karena dorongan ini dapat mempengaruhi anak secara langsung. Dengan demikian apabila orang tua memberikan dorongan kepada anaknya, sekalipun keluarga tersebut dari keluarga miskin akan tetapi menghasilkan efek yang positif terhadap anak dalam pendidikannya.
Anak selalu berkembang baik fisik maupun mentalnya jika pertumbuhan fisik anak dapat dilihat dari besar tubuh dan tinggi tubuh anak, namun dilihat dari perkembangan anak (jiwa) anak terlihat dari keinginan serta kemampuan anak dalam bersikap sesuatu. Apalagi diera modernisasi ini pengaruh yang masuk atau yang dialami anak sangat besar ditambah dengan kemajuan dunia media baik media cetak atau media elektronik begitu cepatnya mengelilingi kehidupan anak, sehingga jika orang tua lengah dalam menyingkapi keadaan ini maka anaknya akan begitu saja cepat menerima sesuatu budaya atau ajaran dari luar. Tidak semua ajaran dari luar itu buruk dan tidak semua ajaran dari luar itu baik. Sebagai bangsa yang terkenal dengan budi pekerti yang luhur sebaiknya orang tua jangan bosan-bosan untuk selalu mengibarkan dan selalu mencontohkan budi pekerti yang sesuai dengan kehidupan bangsa kita.
Matematika mencakup beberapa operasi hitungan secara pecahan, penjumlahan, pengurangan, serta pembagian.
Maka sering kali kita mendengar bahwa matematika itu sulit, padahal kesulitan itu bisa diatasi apabila didukung dengan banyaknya latihan dirumah, mungkin bukan hanya matematika saja yang perlu latihan di rumah pada pelajaran lain pun sama.
Segala problem atau masalah anak yang merasa ada kesulitan terhadap penyelesaian pada pelajaran matematika dapat diatasi dengan bimbingan dan perhatian dari orang tua. Orang tua harus selalu menyediakan waktu untuk menyelesaikan masalah anak, sehingga anak terbimbing dalam menyelesaikan permasalahan yang dialami dalam pelajaran.
Menurut Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf, membuat satu konsep bahwa “Kecerdasan emosional” dianggap akan dapat membantu siswa dalam mengatasi hambatan-hambatan psikologis yang ditemuinya dalam belajar. Menurutnya kecerdasan emosional adalah “Kemampuan merasakan, memahami dan secara eefktif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh manusiawi”.[5]
Kecerdasan emosional yang dimiliki siswa sangat berpengaruh terhadap hasil belajar, karena emosi memancing tindakan seorang terhadap apa yang dihadapinya.
Pembelajaran matematika merupakan pengembangan pikiran yang rasional bagaimana kita dapat mereflesikan dalam kehidupan sehari-hari. Dari alasan tersebut penulis tertarik untuk meneliti tentang pengaruh kecerdasan emosional siswa terhadap prestasi hasil belajar matematik.
B. Identifikasi Masalah
Memahami latar belakang tersebut dapat diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Apakah siswa yang memiliki kecerdasan emosional stabil dapat mempengaruhi hasil belajar matematika ?
2. Apakah siswa yang memiliki kecerdasan emosional labil dapat mepengaruhi prestasi belajar matematika ?
3. Apakah lingkungan siswa di sekolah dapat mempengaruhi prestasi belajar matematika ?
4. Apakah siswa yang memiliki keinginan untuk berprestasi dapat mempengaruhi prestasi belajar matematika ?
5. Apakah ada hubungan motivasi terhadap siswa yang memiliki kecerdasan emosional labil dapat mempengaruhi prestasi belajar matematika ?
6. Apakah ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional yang dimiliki siswa dengan hasil belajar matematika ?
7. Apakah ada pengaruh kecerdasan emosional siswa terhadap hasil belajar matematika ?
C. Pembatasan Masalah
Dari permasalahan yang ada, maka kami membatasi pengkajian pada pengaruh kecerdasan emosional siswa terhadap hasil belajar matematika kelas VII SLTP Advent VII Jakarta.
Hasil yang dimaksud adalah nilai yang diperoleh dari evaluasi siswa dalam pelajaran matematika setelah dilaksanakan kegiatan pembelajaran selama satu semester.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapatlah dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
“Apakah ada pengaruh kecerdasan emosional siswa terhadap hasil belajar matematika” ?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat menjelaskan bahwa tujuan penelitian ini adalah :
1. Menerapkan konsep ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti perkuliahan di STKIP “Kusuma Negara” Jakarta, khususnya tentang ilmu matematika.
2. Untuk mengetahui sampai sejauh manakah pengaruh kecerdasan emosional siswa terhadap hasil belajar matematika dalam kaitannya dalam peningkatan mutu pendidikan di SMP Advent VII Jakarta.
F. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan teori di bidang pendidikan khususnya mata pelajaran matematika di SMP.
Secara praktis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan bagi para guru matematika khususnya di SMP Advent VII Jakarta dalam upaya pengembangan dan peningkatan kualitas pengajaran dengan senantiasa memperhatikan kecerdasan emosional siswa guna meningkatkan prestasi belajar.
[1] Depdikbud, Dirjen, Dikdasmen 1998. Belajar dan pembelajaran 1, Jakarta hal 10.
[2] Psikologi Pendidikan, Sumadi Suryabrata. hal 251.
[3] Ellen G. White, mendidik dan membimbing anak. hal 18.
[4] Muhidin Syah. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. hal 33.
[5] Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf, 2001. Executif Eq ; Kecerdasan emosional. Terjemahan Alex Tri Kantjono. Jakarta, Gramedia. Pustaka Utama. hal. xv.