BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya memberikan pengertian bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah, oleh karena kebijakan tersebut menentukan kehidupannya. Dengan kata lain dalam suatu negara demokrasi terdapat kebebasan-kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Agar masyarakat dapat berperan serta dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, maka perlu adanya sarana atau media yang akan digunakan dalam partisipasi tersebut. Salah satu sarana yang dapat digunakan masyarakat dalam partisipasi politik adalah pers.
Dalam proses demokratisasi faktor komunikasi dan media massa mempunyai fungsi penyebaran informasi dan kontrol sosial. Pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga demokrasi dapat terlaksana.
Sebagai lembaga sosial pers adalah sebuah wadah bagi proses input dalam sistem politik. Diantara tugasnya pers berkewajiban membentuk kesamaan kepentingan antara masyarakat dan negara sehingga wajar sekali apabila pers berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan pers untuk secara baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap sasaran yang manapun sejauh hal itu benar-benar berkaitan dengan proses input.
Demokrasi sering kali datang bersamaan dengan semacam gelombang revolusioner dari mobilisasi rakyat, yakni gelombang pasang rakyat yang bersamanya berbagai unsur masyarakat terbawa dalam suatu gelombang massa yang mencari identitasnya dengan berbagai unjuk rasa. Mobilisasi yang demikian bisa saja episodik dan terkendali yang mendesak agar dilakukan negosiasi-negosiasi untuk peralihan kearah demokrasi. Atau mungkin juga berbentuk suatu gelombang massa yang sulit terbendung, seperti yang pernah terjadi di Indonesia dimana terjadinya mobilisasi massa secara besar-besaran yang dipelopori oleh mahasiswa untuk menumbangkan rezim pemerintahan yang otoriter dan menciptakan demokrasi. Mobilisasi massa atau gerakan revolusioner yang terjadi di Indonesia pada bulan Mei 1998, didukung oleh berbagai kalangan tak terlepas juga dukungan dan peranan pers.
Ada banyak peranan yang dilakukan oleh pers dalam suatu negara dan dalam mewujudkan demokrasi. Namun, agar pers mampu menjalankan peranannya terutama dalam menunjang demokratisasi maka perlu adanya kebebasan pers dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara professional. Media masa yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara dan dengan demikian adanya kendali atas negara oleh rakyat, sehingga menjamin hadirnya lembaga-lembaga politik yang demokratis sebagai sarana yang paling efekif untuk menjalankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu. Apabila negara mengendalikan media massa maka terhambatnya cara untuk memberitakan penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara.
Bagi suatu pemerintahan diktator kebenaran merupakan bahaya baginya, sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan tipu dayanya. Berita-berita yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokrartis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi ketidak adilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi. Terkucilnya prospek kebebasan pers jelas merupakan bagian dari redupnya prospek demokratisasi.
Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik dinegara ini. Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari sistem politik yang ada (Harsono Suwardi, 1993 : 23)
Di negara dimana sistem persnya mengikuti sistem politik yang ada maka pers cenderung bersikap dan bertindak sebagai “balancer” antara kekuatan yang ada. Tindakan atau sikap ini bukan tanpa alasan mengingat pers di negara berkembang seperi di Indonesia mempunyai banyak pengalaman bagaimana mereka mencoba mempertahankan keberadaannya sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Banyak pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan sirna manakala mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Diawal kekuasaannya, rezim pemerintahan orde baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian dijadikan formula orde baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidak pastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda.
Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan nasional tersebut. Keterlibatan seluruh sektor maupun segmen masyarakat tersebut agaknya sebanding dengan beban berat warisan Orde Lama yang ditimpakan kepada Orde Baru. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.
Oleh karena pemerintah menitik beratkan pembaruan pada pembangunan nasional, maka sektor demokrasi akhirnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan oleh karena sepeninggalan orde lama tidak satupun kekuatan non negara yang bisa dijadikan acuan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa mengidap kerentanan fungsi termasuk yang melanda pers nasional. Deskripsi-deskripsi yang sering kali ditulis oleh para pemerhati pers menyatakan bahwa kehidupan pers diawal-awal orde baru adalah sarat dengan muatan represif, ketiadaan pers yang bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala penjuru untuk dikuasai negara, wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel sewaktu-waktu.
Dalam sejarah demokratisasi di Indnesia, khususnya pada era orde baru yang mencapai puncaknya pada peristiwa revolusi Mei 1998 yang ditandai dengan berakhirnya rezim orde baru dan pengunduran diri presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, pers mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan tersebut tentunya tidak terlepas dari kedala dan hambatan yang mereka alami karena rezim pemerintahan orde baru dikenal sebagai rezim pemerintahan yang otoriter yang memasung hak masyarakat untuk berbicara.
Diakui bahwa pers Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari gerakan reformasi atau revolusi pada tahun 1998, yang mencapai momen bersejarah dengan pengunduran diri Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun pada 21 Mei 1998. Meskipun pers bukanlah pelopor gerakan revolusi itu, sulit dibayangkan bahwa gerakan revolusi yang dipelopori mahasiswa itu akan terus bergulir tanpa pemberitaan dan dukungan gencar media di Indonesia seperti pers.
Proses revolusi yang didahului oleh krisis ekonomi antara Agustus hingga September 1997 yang menyebabkan kemunduran dalam kehidupan dan kesejahteraan rakyat menjadi faktor pemicu persatuan rakyat dalam kelompok aktifis demokrasi seperti mahasiswa, kelompok intelektual dan bahkan kelompok politik yang terpinggirkan. Kekuasaan presiden Soeharto yang mendekati absolut menyebabkan faktor pemersatu diluar pemerintah bahkan menjadi semakin besar. Kondisi ini dipicu semakin keras oleh peranan pers yang menyiarkan pemberitaan yang semakin kritis terhadap pemerintah maupun penyajian opini publik mengenai kesalahan serta kelemahan kebijakan publik.
Seluruh gejolak yang terjadi dalam masyarakat ketika upaya menuntut pengunduran diri Soeharto merupakan lahan peristiwa dan isu yang sulit untuk tidak diolah oleh pekerja pers sebagai komoditi berita terlebih lagi krisis tersebut telah memperoleh pemberitaan gencar dari media luar negeri.
Pemberitaan seputar krisis ekonomi khususnya yang terjadi di Jakarta dan sejumlah kota besar di pulau Jawa telah menciptakan suatu lingkungan simbolik dimana masyarakat disemua bagian wilayah Indonesia merasa krisis tersebut juga terjadi dilingkungan dekatnya. Oleh karena itu eforia revolusi dengan cepat juga menjalar keberbagai daerah yang ditandai maraknya aksi demo mahasiswa dan aksi protes masyarakat di kota-kota kecil baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Memang rezim penguasa berusaha keras untuk menekan pers agar tidak terlalu membesarkan krisis yang terjadi, khususnya dimasa awal krisis ketika nilai rupiah mulai semakin anjlok. Namun jurnalis seluruh media massa selalu menemukan celah-celah dimana berita serta analisis krisis bisa disajikan. Krisis dalam tataran makro struktur ekonomi-politik Orde Baru secara langsung mempengaruhi struktur hubungan kekuasaan antar pelaku sosial yang terlibat dalam proses memproduksi teks disektor media.
Beberapa waktu sebelum Soeharto lengser pada medio 1998 terjadi semacam power facum, dimana pihak pemilik perusahaan melepaskan diri dari intervensi yang dilakukan dalam memproduksi berita. Dalam kondisi semacam itu inisiatif hampir sepenuhnya ditangan jurnalis profesional. Seandainya para jurnalis sebagai aktor dengan kedudukan profesional yang signifikan disektor industri media tidak menagambil alih inisiatif untuk memproduksi teks pemberitaan seputar krisis dan mengemasnya sebagai teks yang melemahkan legitimasi rezim Orde Baru tentunya akan sulit struktur politik ditanah air bisa berubah dari struktur otoritarian menjadi struktur politik seperti yang ada saat sekarang ini.
Menurut hemat penulis upaya yang dilakukan oleh pers untuk mewujudkan demokrasi di tengah-tengah rezim pemerintah otoritarian yang senantiasa berusaha untuk mempertahankan kekuasaan merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Selain itu pers merupakan lembaga sosial yang secara ideal nya bersifat netral, tidak untuk kepentingan kelompok orang-orang tertentu melainkan untuk semua orang. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana peranan pers dalam proses demokratisasi di Indonesia, maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul “ Pers Dalam Demokratisasi di Indonesia, Kajian Tentang Peranan Pers Dalam Peristiwa Revolusi Mei 1998”
B. Perumusan Maslah
Pertumbuhan dan perkembangan dalam segala aspek kehidupan yang semakin pesat mendorong meningkatnya kebutuhan akan informasi yang secara tidak langsung mendorong peningkatan pertumbuhan media massa. Informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak hanya terbatas pada hal bisnis dan ekonomi bahkan lebih jauh kebutuhan informasi tentang kebijakan pemerintah dan informasi tentang perkembangan politik yang terjadi serta tentang perilaku aparat pemerintahan.
Kebutuhan masyarakat akan informasi tentang kebijakan pemerintah dan situasi politik serta tentang perilaku aparat pemerintahan tersebut secara tidak langsung akan menjadi kontrol politik bagi pemerintah, yang pada akhirnya akan menunjang proses demokratisasi.
Upaya penyajian informasi yang dilakukan oleh insan pers tidak pernah lepas dari hambatan ataupun kendala mengingat sebuah fakta dan berita tentang kebobrokan pemerintah merupakan suatu bumerang yang berbahaya bagi rezim pemerintahan yang berkuasa dan dapat menggerogoti legitimasi rezim.
Dalam peristiwa revolusi Mei yang menjatuhkan suatu rezim pemerintahan Orde Baru di Indonesia, pers ikut ambil bagian dalam proses demokratisasi tersebut.
Dari sekelumit permasalahan yang telah penulis kemukakan sebelumnya maka dapat diidentifikasi permasalahan dari penelitiaan ini adalah peristiwa revolusi Mei 1998 yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari peranan pers walaupun pers mempunyai banyak kendala dan hambatan dalam mewujudkan demokratisasi pada era Orde Baru. Dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini melalui pertanyaan penelitian, yakni : “Bagaimana peranan pers dalam demokratisasi di Indonesia khusunya dalam peristiwa revolusi Mei 1998 ?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
1.1. Untuk mendiskripsikan peranan pers dalam demokratisasi di Indonesia khususnya pada peristiwa revolusi Mei 1998
1.2. Mengetahui faktor penghambat bagi pers dalam upaya mewujudkan demokratisasi di Indonesia, khususnya dalam peristiwa revolusi Mei 1998.
2. Manfaat Penelitian
2.1. Sebagai bahan masukan atau informasi serta bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya dalam hal atau masalah yang sama
2.2. Mengembangkan kemampuan berfikir penulis secara ilmiah dalam menganalisa setiap gejala yang terjadi pada peristiwa revolusi Mei 1998 khususnya mengenai peranaan pers.
2.3. Guna memenuhi dan melengkapi 0salah satu persyaratan akademis untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.
D. Kerangka Teori
Ketentuan tentang penyelenggaraan pers di negara Kita diatur dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 1966. sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan maka Undang-Undang ini diperbarui dengan Undang-Undang nomor 04 tahun 1967 dan terakhir diperbarui dengan Undang-Undang nomor 21 tahun 1982.
Dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers yang dimaksud dengan pers adalah lembaga kemasyarakatan, alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waku terbitnya, diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat cetak lainnya.
Sesuai dengan perubahan Undang-Undang nomor 11 tahun 1966 yang diganti dengan Undang-Undang nomor 21 tahun 1982 maka istilah pers sebagai lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 1966 diganti dengan pers adalah lembaga kemasyarakatan alat perjuangan nasional.
A. Muis menyatakan pers secara etimologis berasal dari bahasa Prancis “preese” berarti tekan atau cetak. dari bahasa Latin “pressare” dari kata “premare “ definisi terminologinya media massa cetak disingkat media cetak. bahasa Belandannya drukpers atau pers yang diartikan sebagai surat kabar atau majalah.
Menurut Totok Djuroto (2002 : 11) Pers merupakan kumpulan berita, head line, tajuk, artikel, cerita, iklan, karikatur dan informasi yang dicetak disuatu kertas yang berukuran plano, yang diterbitkan secara teratur (harian, mingguan, bulanan)
Berbicara tentang peranan pers dalam proses demokratisasi, maka tidak akan terlepas dari berbicara masalah komunikasi politik. Komunikasi politik merupakan segala komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem politik dan antara sistem politik tersebut denagan lingkungannya. Dalam suatu sistem politik komunikasi politik juga sebagai penghubung antara situasi kehidupan yang ada pada supra struktur dan infra struktur politik untuk menciptakan kondisi politik yang stabil. (Harsono Suwardi, 1993 : 45).
Komunikasi politik merupakan suatu fungsi yang amat penting dalam sistem politik yang bertugas menyalurkan dan menyampaikan aspirasi politik maupun kepentingan politik. Melalui komunikasi politik rakyat dapat memberikan in put dan menerima out put.
Banyak batasan mengenai komunikasi politik yang diberikan para ahli, seperti halnya Dan Nimmo yang terlebih dahulu memaknai politik sebagai kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perbuatan mereka dalam kondisi penekanan pada efek yang muncul pada komunikan sebagai akibat penyampaian suatu pesan. Sehingga pada akhirnya Dan Nimmo mendefinisikan komunikasi politik sebagai kegiatan komunikasi yang dianggap politis atas dasar konsekuensi-konsekuensi aktual dan potensial yang mengatur perbuatan atau perilaku manusia dalam kondisi-kondisi konflik. (Dan Nimmo, 2000 : 9).
Richard Fagen mengatakan bahwa komunikasi politik adalah suatu aktivitas komunikasi yang membawa konsekuensi-konsekuensi politik baik yang actual maupun yang potensial didalam suatu sistem politik yang ada. Lebih jauh Arranguren mengatakan bahwa komunikasi politik tidak lain adalah suatu penyampaian pesan-pesan politik (terutama pesan-pesan yang dilambangkan dengan menggunakan bahasa dalam arti luas) dari suatu sumber kepada sejumlah sasaran dengan tujuan yang pasti. Sedangkan Dennis Mc Quail menyatakan, mengingat keaneka ragaman dalam definisi komunikasi politik maka ia tidak memberikan batasan komunikasi politik secara tegas, tetapi Mc Quail menjelaskan bahwa yang terpenting didalam komunikasi politik adalah pesan-pesan politik, yang mana suatu bentuk komunikasi akan mempunyai arti politik apabila informasi yang disampaikan memberikan tekanan pada makna isi pesan politik tersebut (Harsono Suwardi, 1993 : 42-43).
Astrid Suseno memberikan pengertian komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh, sehingga masalah yang dibahas oleh kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warga melalui sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik. Selanjutnya Rusadi Kantaprawira menjelaskan bahwa komunikasi politik adalah untuk menghubungkan fikiran politik yang hidup dalam sector kehidupan masyarakat dengan sektor kehidupan politik pemerintah (Jalaludin Rahmad, 1996 : 4).
Pers dalam rangka komunikasi politik dikaitkan dengan kebebasan pers, independensi pers terhadap kontrol yang berasal dari luar dan integrasi pers paa misi yang diembannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peranan pers.
1. Tempat hidup dan berkembangnya media tersebut. Karena dalam masyarakat peranan itu bukan hanya abstrak tetapi harus konkret.
2. Komitmen pada kepentingan bersama yang harus sanggup mengatasi komitmen akan kepentingan dan pertimbangan kelompok bukan dalam suatu hubungan yang konteradiktif.
3. Visi dan editorial policy, yang akan membedakan media cetak yang satu dengan media cetak yang lain dan juga menjadi pedoman serta kriteria dalam proses menyeleksi kejadian-kejadian dan permasalahan untuk diliput dan dijadikan pemberitaan. (Jacob Oetama, 2001 : 433).
Secara umum didalam Undang-undang nomor 11 tahun 1966 yang kemudian diubah dengan Undang nomor 21 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers, peranan dan fungsi pers adalah sebagai berikut:
1. Melakukan pendidikan kepada masyarakat dalam arti seluas-luasnya terutama mengenai tujuan-tujuan dan urgensi serta jalannya proses pembangunan dalam segala aspek.
2. Melakuakan penerangan dalam arti memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat khususnya yang berhubungan dengan peningkatan pengetahuan rakyat mengenai masalah-masalah pembangunan dalam arti luas.
3. Memberikan hiburan dalam arti penyegaran untuk memulihkan dan mempertinggi gairah hidup (optimisme) masyarakat.
4. Mendorong kegiatan kebudayaan dalam arti luas demi pembinaan kebudayaan bangsa untuk menyongsong tantangan dunia modern dengan tidak melupakan akar-akar kebudayaan asli yang terdapat pada rakyat.
5. Melakukan kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat konstruktif dalam semua bidang kegiatan kehidupan bangsa antara lain dengan menggalakkan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
6. Menjadikan dirinya sebagai sarana perubahan dan modernisasi. (Sumono Mustofa, 1978: 34-35)
Wacana tentang peranan pers dalam peristiwa revolusi Mei 1998 dapat digeneralisasikan bahwa wacana mengenai kontribusi signifikan pers dalam memicu perubahan masyarakat seakan mengikuti teori klasik komunukasi massa yang telah populer sejak lama, yaitu teori serba media. Diasumsikan bahwa media massa (dalam hal ini pers) mempunyai kekuatan yang besar untuk mempengaruhi masyarakat, bukan saja dalam membentuk opini dan sikap tetapi juga dalam memicu terjadinya gerakan sosial. Kekuatan media massa sebagai penggerak masyarakat ini menurut teori media defedency bahkan akan semakin meningkat ketika terjadi suatu krisis, dimana tingkat ketergantungan masyarakat terhadap media massa sebagai sumber informasi juga semakin meningkat. (Dedi N Hidayat, 2000 : 380)
Untuk dapat melakukan peranannya yang tepat, pers harus senantiasa mengikuti dengan peka dan cermat perkembangan masyarakat dan perkembangan lingkungan sekitarnya termasuk perkembangan politik. Sesuai dengan tanggung jawabnta sebagai avant grade bahkan harus sanggup membuat antisipasi terhadap perkembangan keadaan dengan mencoba membaca kecendrungannya.
Sebagai media komunikasi politik, pers dapat berkaitan dengan demokratisasi. Demokratisasi adalah usaha atau proses penerapan kaidah demokrasi dalam setiap kegiatan politik sehingga terciptanya kehidupan politik yang bercirikan demokrasi.
Menurut Riswanda Imawan (AIPI, 2002 : 47) demokratisasi adalah proses perubahan dari struktur dan tatanan pemerintahan yang otoriter kearah struktur dan tatanan pemerintahan yang demokratis. Dimana pada demokratisasi adanya proses diversifikasi kekuasaan untuk meniadakan kesenjangan hak-hak politik warga Negara serta memperluas hak warga Negara untuk bersuara dan berpendapat.
Kaidah atau nilai-nilai demokrasi menurut Henry B. Mayo adalah :
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga.
Dalam setiap masyarakat terdapat perselisihan pendapat serta kepentingan, yang dalam alam demokrasi dianggap wajar untuk diperjuangkan. Perselisihan-perselisihan ini harus dapat diselesaikan melalui perundingan serta dialog terbuka dalam usaha untuk mencapai kompromi, konsensus atau mufakat. Kalau golongan-golongan yang berkepentingan tidak mampu untuk mencapai kompromi, maka ada bahaya bahwa keadaan semacam ini mengundang kekuatan-kekuatan dari luar untuk campur tangan dan memaksakan dengan kekerasan tercapainya kompromi atau mufakat.
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam masyarakat yang sedang berubah.
Dalam setiap masyarakat yang memodernisasikan diri terjadi perubahan sosial yang sebabkan oleh berbagai faktor. Pemerintah harus dapat menyesuaikan kebijakannya kepada perubahan-perubahan ini, dan sedapat mungkin membinanya jangan sampai tidak terkendalikan. Sebab kalau hal ini terjadi, ada kemungkinan sistem demokratis tidak dapat berjalan, sehingga timbul system diktatur.
3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur.
Pergantian atas dasar keturunan, atau dengan jalan mengangkat diri sendiri serta ketiadan pergantian pemimpin dalam jangka waktu tertentu dianggap tidak wajar dalam demokrasi.
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai tingkat minimum.
Golongan-golongan minoritas yang sedikit banyak kena paksaan akan lebih menerimanya kalau diberi kesempatan untuk turut serta dalam diskusi-diskusi yang terbuka dan kreatif,
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman.
Dalam masyarakat yamg tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku. Untuk hal ini perlu terselenggaranya suatu masyarakat terbuka serta kebebasan-kebebasan politik yang memungkinkan timbulnya fleksibilitas dan tersedianya alternatif dalam jumlah yang cukup banyak.
6. Menjamin tegaknya keadilan.
Dalam hal ini semua masyarakat mempunyai hak-hak yang sama serta adanya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan dan perorangan serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa. (Miriam Budiarjdo, 2003 : 62-63)
Selanjutnya Riswanda Imawan (AIPI, 2002 : 47) juga mengatakan bahwa demokratisasi muncul karena terjadinya kesenjangan yang makin melebar antara demokrasi formal dan demokrasi substansial yang dirasakan oleh masyarakat, makin sempitnya ruang partisipasi bagi masyarakat akibat pilihan pola dan strategi pembangunan nasional serta ada perilaku politik yang berinisiatif menyatakan kekuatan demokratik yang terpendam dalam masyarakat.
Masih menurut Riswanda Imawan (AIPI, 2002 : 47-48) bahwa perwujudan demokratisasi terkait pada empat cara. Pertama, dilakukannya rasionalisasi kekuasaaan yang melingkupi ruang lingkup kekuasaan serta waktu berkuasanya seseorang dalam tampuk pemerintahan. Kedua, adanya differensiasi konflik dimana wilayah konflik dibatasi sehingga tidak semua konflik yang muncul dalam masyarakat langsung kepusat sarat politik nasional. Ketiga, peningkatan peranan politik rakyat agar kesadaran elit terpelihara bahwa mereka berkuasa karena diberi kewenangan, dianggap mampu dan mau mengurusi kepentingan rakyat. Keempat, menghapus akar tegaknya rezim otoriter yang bertumpu pada penggunaan represi fisik dan ideologis untuk mendapatkan ketaatan warga Negara, kentalitas ekonomi untuk menguatkan basis legitimasi yang positif dan renumeratif serta kooperatisme Negara untuk menjamin reformasi yang masuk kedalam sistem politik tidak membuat sistem terkontaminasi ole hide-ide pembaharuan.
Ada banyak hal yang mendorong masyarakat Indonesia khususnya mahasiswa dan kaum intelektual menuntut dilaksanakannya demokratisasi pada era Orde Baru.
Kepolitikan Orde Baru ditandai oleh minculnya gejala-gejala kearah krisis partisipasi politik, yaitu sebagaimana yang didefinisikan oleh Myron Weiner sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh dianggap tidak sah dan tidak legalnya tuntutan dan tingkah laku tertentu masyarakat yang ingin berperan serta dalam politik dan pemerintahan. (Eep, 2000 : 51)
Sementara itu menurut Karl D Jackson kepolitikan Orde Baru ditandai oleh dimonopolinya kekuasaan dan partisipasi politik oleh level-level teratas dalam birokrasi sipil dan militer. Hal ini baik dalam supra struktur politik maupun infra struktur politik. Dalam tataran supra struktur politik level-level teratas dalam birokrasi relatif lebih dominan dibanding lembaga legislatif dan yudikatif. Dalam tingkatan infra struktur politik partisipasi politik dikendalikan oleh struktur birokrasi yang ada dalam tiap tingkatan pemerintahan sehingga tampak peran Negara lebih dominan dibanding dengan inisiatif masyarakat. Sedangkan menurut R William Liddle partisipasi masyarakat pada era Orde Baru lebih banyak disebabkan oleh mobilisasi birokrasi Negara, baik birokrasi pusat maupun birokrasi lokal.
(Eep, 2000 : 51)
Apabila dilihat dari pendapat-pendapat diatas terlihat bahwa kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalm proses politik dimasa Orde Baru disebabkan oleh tekanan, monopoli kekuasaan, mobilisasi, besarnya peranan militer dan intervensi Negara yang terlalu besar dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi, sehingga masyarakat mengalami krisis partisipasi politik yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan dianggap tidak sah dan tidak legalnya berbagai tuntutan serta tingkah laku politik masyarakat yang ingin berperan serta dalam proses politik dan pemerintahan.
Akibat partisipasi politik yang dibatasi maka rakyat cenderung memilih unjuk rasa sebagai partisipasi politik. Unjuk rasa yang terjadi pada bulan Mei tahun 1998 yang dilakukan oleh mahasiswa dan didukung oleh masyarakat merupakan suatu bentuk ketidak puasan dan kejenuhan masyarakat terhadap pemerintah yang akhirnya mampu menggantikan kekuasaan yang ada dan menggantikan pula sistem penyelenggaraan Negara. (Sri Bintang Pamungkas, 2001 : 35)
Tiga karakter Orde Baru yang harus ditolak dalam sistem pemerintahan Negara adalah absolutisme kekuasaan eksekutif, sentralisme kekuasaan pada pemerintahan pusat dan militerisme. Penolakan inilah yang mendorong terjadinya gerakan revolusi yang dipelopori oleh mahasiswa dengan dukungan masyarakat. (Sri Bintang Pamungkas, 2001 : 35).
Peristiwa revolusi yang terjadi pada bulan Mei 1998 berawal dari krisis ekonomi yang menyebabkan kemunduran dalam kehidupan dan kesejahteraan rakyat, sehingga menjadi faktor pemicu persatuan rakyat dengan kelompok aktivis reformasi seperti mahasiswa, kelompok intelektual dan bahkan kelompok politik yang terpinggirkan. Selain itu kekuasaan presiden Soeharto yang mendekati absolute juga menjadi faktor pemersatu diluar pemerintah yang semakin besar. Kondisi ini dipicu makin keras oleh peranan media massa yang menampilkan pemberitaan yang makin kritis terhadap pemerintah serta penyajian debat politik mengenai kesalahan dan kelemahan kebijakan publik ( Sri Mulyani Indrawati, 200 : 23).
Masalah-masalah perkembangan, kemacetan dan kemerosotan politik menyangkut arah dari perubahan politik. Perubahan politk yang mantap akan berjalan relatif lambat, tidak radikal dan tidak disertai kekerasan. Hal ini disebut juga dengan reformasi politik atau evolusi politik. Sementara revolusi politik dapat digambarkan sebagai perubahan yang radikal, cepat dan dengan pengguanaan ancaman serta kekerasan dalam suatu sistem politik dan bila perlu juga dalam sektor-sektor lain dari masyarakat.(A Hoogerwerf, 1985 : 261).
Perubahan dalam sistem politik dan penyelenggaraan Negara yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan revolusi apabila tanpa adanya dukungan lima faktor berikut. Pertama, penegakan hukum yang selain menjamin hak warga Negara untuk menentukan warna kehidupan sosial politik yang baru dan juga memastikan tiap warga Negara mematuhi aturan yang berlaku yang disepakati bersama agar hak tiap warga Negara tidak terganggu oleh penggunaan hak yang sama oleh warga Negara lainnya. Kedua, predictability yakni kejelasan pola fikif dan pola tindak agen perubahan sehingga warga Negara dapat berinisiatif mengambil langkah-langkah pembaruan tanpa terlepas dari keseluruhan konteks gerakan dan arah reformasi. Ketiga, Transparancy yakni keterbukaan mekanisme politik sehingga warga Negara paham akan masalah yang dihadapi, alternative untuk mengatasinya serta alasan-alasan mengapa suatu alternative dipilih oleh para tokoh reformasi. Keempat, Accountability, yakni kepercayaan warga Negara bahwa tokoh reformasi benar-benar mengambil keputusan atau inisiatif yang sejalan dengan arah yang dikehendaki bersama. Kelima, Rationality, yakni keharusan bagi seluruh komponen reformis untuk lebih mengutamakan akal sehat dari pada perasaan dalam bertindak. (Riswanda Imawan, 2000 : 262-263).
Menurut Riswanda Imawan, gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada bulan Mei 1998 tampak mengalami anti klimaks. Para tokoh reformis muncul seperti jamur dimusim hujan disertai dengan tuntutan, pernyataan samapai dengan pembentukan kelompok politik yang membuat arah reformasi terasa semakin centang perenang.
Kelima faktor pendukung yang diperlukan seakan sirna dari gerakan reformasi, justru semenjak gerakan itu memperoleh momen untuk mengubah arah perjalanan bangsa kita memasuki millennium baru abad ke-21. Law Environment demikian lemah sebagai akibat keterlibatan terlalu jauh dari aparat penegak hukum yang seharusnya bersikap netral. Aparat penegak hukum justru Nampak terlibat dalam upaya menegakkan dan memelihara status quo rezim politik yang monolitik. Indikasinya dapat dilihat dari rangkaian kerusuhan sosial dimana terjadi perang antar rakyat yang seharusnya dibaca sebagai ketidak percayaan rakyat kepada aparat keamanan yang seharusnya melindungi mereka. Selai itu, dimata rakyat pola fakir dan pola tindak para reformis juga tidak dapat diduga. Semakin lama semakin sulit menemukan tokoh reformis yang secara konsisten berdiri pada posisinya untuk mengahadapi persoalan sosial politik yang semakin komplek. Tiap orang yang mentasbihkan dirinya sebagai tokoh reformis dalam tindakannya seakan-akan membawa agenda terselubung sehingga harapan akan trnsparansi proses politik tidak kunjung terwujud. (Riswanda Imawan, 2000 : 263)
Dari pernyatan-pernyataan diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa reformasi yang terjadi di Indonesia pada bulan Mei 1998 merupakan suatu gerakan revolusi yang tentunya tidak lepas dari peranan pers.
E. Konsep Operasional
Untuk menghindari kesalah pahaman dalam penulisan ini dan memudahkan analisa serta agar didapat suatu pemahaman yang sama maka penulis mengemukakan konsep-konsep operasional yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Peranan Pers
Peranan pers yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku atau tindakan yang diharapkan dilakukan oleh pers sebagai sebuah lembaga atau institusi dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia, khususnya dalam peristiwa revolusi Mei 1998. Secara umum pers mempunyai banyak peranan, namun peranan-peranan pers yang menjadai fokus dalam penelitian ini adalah :
1. Melakukan kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat konstruktif
2. Menjadikan dirinya sebagai sarana perubahan
2. Demokratisasi
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan demokratisasi adalah proses perubahan politik masyarakat dengan penerapan nilai-nilai atau kaidah-kaidah demokrasi dalam setiap kehidupan politik sehingga terbentuknya kehidupan politik yang bercirikan demokrasi.
3. Peristiwa Revolusi Mei
Yang dimaksud dengan peristiwa revolusi Mei dalam penelitian ini adalah perubahan kekuasaan dan sistem penyelengaaraan negara yang dilakukan oleh rakyat Indonesia dan dipelopori oleh mahasiswa serta kaum intelektual yang mencapai puncaknya dengan pengunduran diri presiden Soeharto selaku pemegang kekuasaan pada bulan Mei 1998. Peristiwa ini dimulai dari terjadinya krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis moneter serta krisis multi dimensi yang melanda Indonesia dan penolakan mahasiswa atas pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden melalui berbagai aksi unjuk rasa. Pada hsri-hsri menjelang puncak revolusi Mei pilihan aksi yang dipilih oleh kebanyakan kelompok mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto mengerucut pada aksi pendudukan gedung DPR.
F. Metode Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan ini bersifat deskriptif analitis yaitu suatu usaha mengumpulkan, menyusun, menginterpretasikan data yang ada kemudian menganalisa data tersebut, menggambarkan dan menelaah secara lebih jelas dari berbagai faktor yang berkaitan dengan keadaan situasi dan fenomena yang diselidiki. Dalam hal penelitian ini penulis menggambarkan dan menjelaskan peranan pers dalam peristiwa revolusi Mei 1998.
1. Sumber Data
Untuk melakukan sebuah penelitian terdapat tiga jenis data, yaitu data survei, data agregat dan data dokumenter yang masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Dari tiga jenis data tersebut, dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis data yaitu, data agregat dan data dokumenter sesuai dengan data yang ingin dicari.
Data agregat adalah data yang telah diolah oleh orang lain terutama peneliti yang penelitiannya telah dipublikasikan dalam bentuk buku, artikel, jurnal-jurnal ilmiah dan sebagainya. Sedangkan data dokumenter adalah data dan bukti otentik dari sejarah yang berasal dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang telah teruji keabsahannya.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan penulis gunakan adalah teknik telaah kepustakaan atau studi pustaka. Penulis akan mengumpulkan data dari buku, jurnal artikel dan hasil penelitian ilmiah yang berhubungan dengan peranan pers dalam demokratisasi di Indonesia khususnya peranan pers dalam peristiwa revolusi Mei 1998.
3. Analisa Data
Metode analisa yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Salah satu ciri penelitian dengan metode kualitatif adalah seringnya berubah-ubah desain penelitian tergantung perkembangan data yang akan dikumpulkan.
Dalam penelitian kualitatif para peneliti tidak mencari kebenaran (dalam arti teleologis) dan moralitas tetapi mencari pemahaman. Untuk itu dalam penelitian ini, data sekunder yang penulis dapat diinterpretasikan sesuai dengan penelitian ini dan data tersebut kemudian diolah dipilih serta diuji keobjektifitasannya melalui perbandingan data yang ada.