BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan amat urgen dalam kehidupan manusia, individu maupun sosial. Dengan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Oleh karena itu, sangat relevan apabila Islam mengatur masalah perkawinan dengan teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan, sesuai kedudukannnya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain.[1]
Hukum perkawinan mempunyai kedudukan yang amat penting dalam Islam. Sebab di dalamnya mengatur tata-cara kehidupan keluarga[2] yang merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia.
Perkawinan merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.[3] Adanya perjanjian di sini menunjukkan kesengajaan dari suatu perkawinan yang dilandasi oleh ketentuan-ketentuan agama. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, mengatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”[4] Di samping itu, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ini sesuai dengan firman Allah:
ومن أياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون [5]
Hak dan kewajiban dalam kehidupan keluarga muncul akibat perkawinan sebagai perjanjian. Seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh hak suami dalam keluarga. Begitupun seorang perempuan yang mengikatkan diri menjadi isteri memperoleh hak sebagai isteri dalam keluarga. Di samping itu, keduanya juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan satu sama lain.
Suami isteri mempunyai kedudukan yang seimbang dan setara. Walaupun disadari ada perbedaan kewajiban satu sama lain dalam keluarga. Suami isteri mempunyai posisi dan peranan masing-masing. Superioritas dan inferioritas adalah tidak ada dalam keluarga. Dominasi dalam keluarga harus dilenyapkan tanpa memandang siapa yang melakukannya. Kerena di dalam dominasi itu ada pengangkangan hak dan pengingkaran esksistensi.[6]
Suami isteri harus memahami hak dan kewajibannya sebagai upaya membangun sebuah keluarga. Kewajiban tersebut harus dimaknai secara timbal balik bahwa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak isteri dan yang menjadi kewajiban isteri menjadi hak suami.[7] Suami isteri harus bertanggung jawab untuk saling memenuhi kebutuhan pasangannya untuk membangun keluarga yang harmonis dan tentram.[8]
Islam mengajarkan prinsip adil dalam membina keluarga. Yang berarti fungsi-fungsi keluarga harus diletakkan secara memadai. Dan fungsi paling utama dalam keluarga yang harus ada adalah meletakkan fungsi keagamaan.[9] Urgensitas fungsi keagamaan untuk diterapkan sebagai upaya membentuk kehidupan keluarga yang sukses dan agamis.
Suatu perkawinan yang tidak diikuti dengan sikap saling memahami hak dan kewajiban masing-masing akan menimbulkan masalah dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Dimungkinkan akan muncul banyak rintangan dalam mencapai tujuan perkawinan yang dicita-citakan. Bahkan peluang retaknya keluarga akan terbuka lebar.
Keluarga merupakan satuan unit terkecil dalam hidup bermasyarakat. Keberadaan suatu rumah tangga tentu akan membawa pengaruh terhadap terbentuknya suatu masyarakat. Oleh karena itu, suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi dasar dari susunan suatu masyarakat.[10]
Keluarga menjadi persoalan yang penting di dalam Islam. Dengan eksistensi keluarga Islam yang bahagia dan sejahtera menjadikan bangunan kekuatan Islam akan kokoh. Untuk itu, diperlukan suatu aturan di dalam membentuk suatu keluarga agar tercipta tujuan perkawinan.
Ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan kehidupan berumah tangga telah diatur dalam Islam demi tercapainya tujuan perkawinan. Agama Islam telah memberikan beberapa ketentuan mengenai kewajiban suami isteri di dalam keluarga. Di antaranya adalah dalam persoalan nafkah. Allah berfirman:
وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف[11]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa nafkah menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) keluarga. Pemenuhan terhadap nafkah merupakan bagian dari upaya mempertahankan keutuhan dan eksistensi sebuah keluarga. Dan nafkah wajib atas suami semenjak akad perkawinan dilakukan.[12]
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mempositifkan hukum Islam[13] di Indonesia,[14] mengatur juga mengenai kewajiban suami memberi nafkah untuk keperluan hidup keluarga.[15] Keberadaan nafkah tentunya sangat penting dalam membangun keluarga. Jika dalam keluarga nafkah tidak terpenuhi, baik itu nafkah untuk isteri maupun anak-anaknya, dapat menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidakberhasilan dalam membina keluarga.
Ketentuan lain yang ada dalam KHI erat kaitannya dengan pelaksanaan kewajiban suami memenuhi nafkah adalah adanya pengaturan harta kekayaan perkawinan. Menurut KHI, pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai secara penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan kekuasaan penuh tetap ada padanya.[16]
Konsep harta bersama diakui dalam KHI. Hal ini menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara suami dan isteri terhadap harta bersama. Dan perbuatan hukum terhadap harta bersama haruslah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak.
Ketentuan mengenai harta bersama dalam KHI maupun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak terlepas dari realita masyarakat Indonesia tentang harta bersama dengan istilah yang beragam. Di Jawa Timur disebut dengan gono gini, di Minangkabau disebut harta suarang, di Banda Aceh disebut hareuta seuhareukat.[17]
Kompilasi Hukum Islam merumuskan harta bersama sebagai harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.[18]
Al-Qur’an dan hadis di satu sisi tidak memberikan ketentuan dengan tegas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama perkawinan berlangsung sepenuhnya menjadi hak suami, dan hak isteri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suami.[19]
Ketentuan kewajiban suami memberi nafkah menimbulkan suatu persoalan apabila dikaitkan dengan ketentuan harta bersama. Suami yang mempunyai kewajiban memberi nafkah harus menerima suatu aturan harta bersama yang mempunyai konsekuensi pembagian harta bersama dengan bagian berimbang dan penggunaan harta bersama harus mendapat persetujuan suami isteri. Persoalan lain yang muncul adalah mengenai pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah termasuk dalam institusi harta bersama atau berdiri sendiri. Sehingga, kedua aturan tersebut dapat menimbulkan celah-celah hukum yang dapat merusak asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat.
B. Pokok Masalah
Bagaimanakah konsekuensi yuridis harta bersama terhadap pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam?.
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui konsekuensi yuridis harta bersama terhadap pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam.
2. Kegunaan
a. Terapan
Skripsi ini diharapkan mampu memperkaya wacana intelektual bagi setiap pribadi muslim dan masyarakat luas dalam memahami hukum Islam, khususnya dalam bidang perkawinan.
b. Ilmiah
Skrispsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mencermati konsekuensi yuridis harta bersama terhadap kewajiban suami memberi nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam.
D. Telaah Pustaka
Sepengetahuan penulis, ada beberapa tulisan yang membahas tentang harta bersama dan nafkah, tetapi dibahas secara terpisah. Pertama, skripsi Dinamika Hukum Islam (Studi Posisi Harta Bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974). Skripsi tersebut membahas tentang posisi harta bersama dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 secara sosiologis, filosofis dan legalitas, pandangan hukum Islam terhadap posisi harta bersama dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan relevansi posisi harta bersama dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dengan dinamisasi hukum Islam.[20]
Hasil yang dicapai dalam tulisan tersebut adalah (1) posisi harta bersama dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai sarana penyatuan istilah yang materinya telah diakui dan ditaati oleh masyarakat sebagai suatu lembaga hukum, sistem pengendalian sosial yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dan sistem pengendalian sosial untuk mencapai ketertiban dan kepastian hukum; (2) dalam hukum Islam, posisi harta bersama dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah sebagai sarana yang wajib adanya untuk mewujudkan kepastian hukum terhadap ketentuan harta bersama; dan (3) dinamisasi hukum Islam sangat relevan dengan posisi harta bersama dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Sebab dinamisasi hukum Islam merupakan upaya agar kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat terealisir dalam dunia nyata dengan memunculkan ketentuan hukum yang dapat menjawab permasalahan yang timbul dalam konteks sosial Indonesia.[21]
Kedua, skripsi Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 di Pengadilan Agama Bangil. Skripsi tersebut membahas tentang maksud harta bersama dan langkah hakim dalam menyelesaikan sengketa harta bersama, proses penyelesaian sengketa harta bersama menurut undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan analisis tentang pemecahan masalah sengketa harta bersama.[22]
Hasil yang diperoleh dari skripsi tersebut adalah (1) pemahaman hakim Pengadilan Agama Bangil tentang ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 khususnya perkara harta bersama, bahwa gugatan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau mengajukan perkara terpisah, mengenai pembagiannya sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam atau atas kehendak para pihak; (2) pedoman hakim Pengadilan Agama Bangil dalam memutus perkara harta bersama tidak menyimpang dari Kompilasi Hukum Islam dan dari Yurisprudensi Pengadilan Agama dan (3) kenyataan penyelesaian harta bersama di Pengadilan Agama Bangil bahwa harta bersama dibagi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau atas kehendak kedua belah pihak dan mengenai harta bawaan dari masing-masing pihak, ditarik kembali sesuai dengan bawaan semula.[23]
Ketiga, skripsi Hak Kebendaan Istri dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam (Studi Komparatif). Skripsi tersebut membahas tentang posisi harta benda seorang isteri yang diperoleh selama dan sesudah terjadinya perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan menurut hukum Islam serta hak kebendaan mutlak isteri dalam hukum Islam.[24]
Hasil yang diperoleh dari skripsi tersebut adalah (1) dalam Undang-undang Perkawinan, hak kebendaan isteri dalam status perkawinan hanya meliputi hak nafkah, tempat tinggal dan hak penguasaan terhadap harta miliknya. Sedangkan dalam hukum Islam, selain isteri mempunyai hak-hak yang tersebut dalam Undang-undang Perkawinan, ada juga hak lain yaitu berupa mahar dari suami; (2) hak kebendaan isteri sesudah terjadinya perceraian, baik dalam Undang-undang Perkawinan maupun dalam hukum Islam meliputi hak nafkah selama masa iddah, hak atas pemeliharaan anak dan hak atas harta bersama dan (3) dalam hal putusnya perkawinan karena kematian suami, Undang-undang Perkawinan tidak menjelaskan apakah janda tersebut mempunyai hak nafkah (biaya hidup) selama masa iddah atau tidak.[25]
Keempat, skripsi Studi tentang Pembebasan Kewajiban Nafkah terhadap Kedudukan Suami Isteri dalam KHI. Skripsi tersebut membahas mengenai pandangan KHI tentang pembebasan nafkah terhadap kedudukan suami isteri sekaligus pandangan ulama tentang masalah tersebut.[26]
Hasil yang diperoleh dari skripsi tersebut adalah (1) secara implisit, KHI membolehkan pembebasan kewajiban nafkah suami terhadap isterinya, jika suaminya tidak mampu memberi nafkah kepada isterinya dengan cara pembebasan dari pihak isteri ke suami (pasal 80 ayat 6). Hal ini diqiyaskan kepada pembebasan dari mengadakan giliran suami terhadap isterinya, atas kerelaan isterinya. Pasal lain yang mendukung yaitu pasal 93, jika harta suami tidak ada maka isteri ikut membantu melunasinya, diperkuat dengan prinsip hubungan suami isteri yang menekankan agar hubungan pernikahan berdasarkan kejiwaan dan antara keduanya harus saling membantu, melengkapi kekurangan masing-masing yang terdapat dalam pasal 77 ayat (2). Dan (2) mengenai akibat hukum terhadap kedudukan suami isteri kalau melihat alasan yang dikemukakan penafsir KHI, bahwasannya suami sebagai kepala keluarga karena alasan fungsional berdasarkan asas kodrati biologis, maka berdasarkan logika terbalik, jika fungsi itu tidak dijalankan suami, kepemimpinan suami akan gugur karena illat suami menjadi kepala keluarga adalah karena faktor nafkah yang ditunaikan suami kepada isteri. Jika alasan kepemimpinan itu tidak ada, maka akan gugur sifat kepemimpinan pada suami dari segi ekonomi, sehingga kepemimpinan berhak berada pada isteri. Sedangkan dalam keunggulan yang lain (fisik dan psikis) tetap dimiliki oleh suami karena KHI mendasarkan pula pada asas kodrati alamiah biologis.[27]
Kelima, skripsi Peranan Wanita Pekerja dalam Meningkatkan Ekonomi Rumah Tangga Ditinjau dari Hukum Islam. Skripsi tersebut membahas mengenai peranan wanita pekerja dalam meningkatkan ekonomi rumah tangga, dampak yang muncul dan pandangan hukum Islam mengenai peranan wanita pekerja.[28]
Hasil yang dicapai dari skripsi tersebut adalah (1) pada hakekatnya peranan wanita pekerja hanya bersifat menambah penghasilan dalam meningkatkan ekonomi rumah tangga; (2) dampak peranan wanita (isteri) pekerja dalam rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keadaan keharmonisan rumah tangga itu sendiri, dengan menyesuaikan kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya; dan (3) pada dasarnya hukum bagi wanita pekerja itu tidak dilarang, asal saja memenuhi ketentuan Islam. Dan selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat dan tidak untuk kepentingan pribadi.[29]
Skripsi Konsekuensi Yuridis Harta Bersama terhadap Kewajiban Suami Memberi Nafkah dalam KHI ini tentu berbeda dengan tulisan-tulisan yang sudah ada. Di sini penulis akan membahas tentang konsekuensi yuridis harta bersama terhadap pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah dalam KHI disertai analisis terhadapnya.
E. Kerangka Teoretik
Bangunan pemikiran dalam skripsi ini adalah menggunakan teori holistik dan teori equal partner. Menurut Fazlur Rahman, teori holistik adalah memahami al-Qur'an sebagai satu kesatuan yang utuh dan menyatu tanpa terpisahkan.[30] Sedangkan menurut Scanzoni dan Scanzoni, teori equal partner mempunyai ciri-ciri yaitu tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah antara suami isteri, suami isteri mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang, keputusan yang diambil berdasarkan kesepakatan bersama dan secara spesifik perkembangan individu sangat diperhatikan.[31]
Jika ditarik ke pokok masalah skripsi, maka kedua teori tersebut digunakan untuk melakukan pemahaman secara menyatu dan terpadu terhadap ketentuan-ketentuan normatif dan yuridis yang berkaitan dengan harta bersama dan pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah diselaraskan dengan prinsip kesejajaran antara suami isteri dalam keluarga.
Titik tekan dalam skripsi ini adalah konsekuensi yuridisnya. Sehingga diperlukan pembacaan secara cermat dan menyeluruh terhadap pandangan fuqaha’ terlebih terhadap pasal-pasal yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dan perundang-undangan lain. Dari pembacaan tersebut diharapkan akan diperoleh jawaban dari pokok masalah.
Berangkat dari suatu pemikiran bahwa perkawinan yang sah akan menimbulkan akibat hukum. Implikasinya suami isteri mempunyai hak dan kewajiban masing-masing dalam keluarga. Dan di antara kewajiban suami adalah memenuhi nafkah keluarga baik bersifat materiil maupun immateriil. Keberadaan nafkah adalah sangat penting dalam keluarga. Tanpa terpenuhinya nafkah keluarga, dimungkinkan sebuah keluarga akan mengalami keretakan dan kehancuran.
Ada sejumlah nas yang berbicara tentang kewajiban suami memberi nafkah. Nas-nas tersebut adalah:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم[32]
وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف [33]
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضاروهن لتضيقوا عليهن وإن كن أولات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن [34]
أن يطعمها إذاطعم ويكسوها اذااكتسي ولايضرب الوجه ولايقبح ولايهجر إلا فى البيت [35]
Dalam Perundang-undangan Indonesia tidak terdapat sub bab khusus yang membahas masalah nafkah dalam kehidupan keluarga. Akan tetapi, ada beberapa pasal yang dapat ditarik sebagai bahasan yang berhubungan dengan nafkah.[36]
Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) menyebutkan, “Suami isteri harus mempunyai tempat tinggal kediaman yang tetap, rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.”
Pasal 34 disebutkan, ayat (1), “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.” Ayat (2), “Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.” Ayat (3), “Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.”
Ketentuan pasal-pasal di atas yang terlihat secara langsung berbicara tentang nafkah adalah pasal 34 ayat (1) yakni dengan menyebut, suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga.[37]
Aturan mengenai nafkah dalam KHI lebih rinci dibandingkan UUP. Pasal 80 ayat (4) KHI menyebutkan, “Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: (a) nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; (c) biaya pendidikan bagi anak.” Dari ketentuan tersebut sangat jelas bahwa KHI menempatkan beban pemenuhan nafkah pada suami.
Pengaturan nafkah dalam KHI menimbulkan suatu persoalan tatkala dikaitkan dengan pengakuan konsep harta bersama. Dengan melihat pasal 1 huruf (f) KHI, harta bersama dirumuskan sebagai harta yang diperoleh baik secara sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun. Dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dan mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.[38]
Ketentuan dua pasal tersebut menunjukkan bahwa kualifikasi yang dipakai dalam merumuskan harta bersama adalah dengan menggunakan masa perkawinan yang sah. Selama harta itu diperoleh dalam perkawinan yang sah, maka otomatis menjadi harta bersama dengan merujuk pada terminologi harta bersama yang ada dalam KHI. Tetapi, KHI memberikan batasan bahwa harta yang diperoleh karena hadiah dan warisan menjadi harta pribadi masing-masing selama dimaksudkan untuk itu.[39]
Sementara itu, di dalam hukum Islam terdapat dua pendapat yang dapat dikemukakan tentang harta bersama, yaitu: (1) Tidak dikenal harta bersama dalam lembaga Islam kecuali dikenal dengan syirkah. Pendapat ini didasarkan bahwa dalam Islam tidak mengenal percampuran harta antara suami dan isteri karena perkawinan. (2) Ada harta bersama antara suami dan isteri menurut hukum Islam. Pendapat ini mengakui bahwa apa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum Islam.[40]
Jika dicermati, ketentuan mengenai harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah dalam KHI terlihat tidak koheren. KHI merumuskan harta bersama sebagai harta yang diperoleh selama perkawinan yang sah tetapi tidak menyebutkan harta jenis apa yang bisa digunakan untuk pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah dan bagaimana posisi suami isteri dalam pemenuhan ekonomi keluarga. Hal ini dapat menimbulkan aturan yang penuh penafsiran dan tidak pasti. Padahal hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan bersendikan keadilan.[41] Jika suatu ketentuan tidak koheren dan pada akhirnya menunjukkan kontradiksi, seharusnya ada pembaharuan hukum demi arti penting hukum itu sendiri.
Untuk itu, teori holistik dan teori equal partner sangat diperlukan untuk memecahkan persoalan yang muncul dari ketentuan mengenai harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah. Dengan melakukan pemahaman yang menyatu dan menyeluruh terhadap ketentuan normatif maupun yuridis sekaligus dikaitkan dengan prinsip kesejajaran suami isteri dan prinsip-prinsip dalam perkawinan diharapkan mampu memperoleh problem solving terhadap persoalan tersebut.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yaitu suatu jenis penelitian yang di dalam memperoleh bahan-bahan penelitian dengan cara menelusuri bahan-bahan pustaka. Penelitian ini cukup ditempuh dengan penelitian pustaka karena data yang diperlukan berasal dari bahan-bahan pustaka baik berupa buku-buku, jurnal, maupun hasil penelitian.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Setelah data terkumpul dideskripsikan terlebih dahulu seputar masalah harta bersama dan nafkah secara umum. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pada pokok masalah tentang konsekuensi yuridis harta bersama terhadap pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah serta dianalisis konsekuensi yuridisnya.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang ditempuh dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan normatif-yuridis. Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui ketentuan mengenai nafkah dan harta bersama dengan melandaskan pada ketentuan nas serta pendapat ulama dan para sarjana dalam buku-buku fiqh yang membahas persoalan tersebut. Sedangkan pendekatan yuridis digunakan untuk mengetahui konsekuensi yuridis antara harta bersama dan pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah dalam KHI dengan melandaskan aturan-aturan yang ada di dalamnya dan dengan merujuk ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan.
4. Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian dalam skripsi ini, maka data yang dibutuhkan dikumpulkan dengan cara menelusuri berbagai tulisan yang memiliki kesesuaian dengan pokok masalah.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Artinya penulis mempertajam analisis dari data yang diperoleh dan membahas secara mendalam tentang problem-problem yang muncul dari ketentuan normatif maupun yuridis.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, yaitu:
Bab pertama, berisi pendahuluan untuk mengantarkan pembahasan skripsi secara menyeluruh dan sistematis. Bab ini terdiri dari enam sub bab: latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan , telaah pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, berisi tinjauan umum seputar harta bersama dan nafkah. Bab ini terdiri dua sub bab. Sub bab pertama berbicara tentang harta bersama yang meliputi: pengertian, dasar hukum, ruang lingkup dan wujud, tanggung jawab suami isteri dan hak suami isteri. Sub bab kedua berbicara tentang nafkah yang meliputi: pengertian, sebab-sebab yang mewajibkan, dasar hukum, syarat-syarat berhak menerima, macam-macam, kadar serta nafkah menurut pandangan fuqaha’ dan nafkah menurut perundang-undangan.
Bab ketiga, berbicara tentang pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah dikaitkan dengan harta bersama dalam KHI. Bab ini mencakup: hak dan kewajiban suami isteri, latar belakang pengaturan harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah, suami memberi nafkah dari harta bersama dan suami memberi nafkah dari harta pribadinya.
Bab keempat, yaitu analisis tentang konsekuensi yuridis harta bersama terhadap kewajiban suami memberi nafkah dalam KHI. Bab ini mencakup: kewajiban nafkah atas suami dan konsekuensi yuridisnya.
Bab kelima, merupakan penutup. Terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
[1] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet. ke-9 (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 1.
[2] Penggunaan kata “keluarga” disamakan dengan “rumah tangga”, dimaksudkan untuk memudahkan penulis karena banyak referensi yang menggunakan kedua kata tersebut dengan maksud sama. Keluarga di sini dimaknai secara sempit yaitu orang seisi rumah, anak-isteri, batih. Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, cet. ke-2 (Bandung: Alumni, 1992), hlm.82.
[3] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. ke-5 (Yogyakata: UII Press, 1986), hlm. 47.
[4] Pasal 1
[6] Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 180.
[7] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet. ke-2 (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 96.
[8] Muhammad Thalib, 20 Rahasia Ikatan Kejiwaan Suami Isteri, cet. ke-1 (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2001), hlm. 46.
[9] Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus, cet. ke-12 (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 122.
[10] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 187-188.
[12] T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, cet. ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 105.
[13] Kata “hukum Islam” diartikan sebagai hasil ijtihad yang kemudian disebut fiqh. Sedangkan kata syari’ah semula mencakup segala aspek kehidupan (berupa akidah, hukum, dan akhlak), kemudian mengalami reduksi dan hanya yang berkaitan dengan perilaku manusia; namun masih tetap apa yang datang dari Allah. Dalam perkembangannya juga mengalami reduksi arti sehingga pada akhirnya syari’ah juga sering dipahami identik dengan fiqh. A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, cet. ke-1 (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 48-54.
[14] Cik Hasan Basri, (ed. dan pen.), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional. cet. ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 27.
[15] Pasal 80 ayat (4).
[16] Pasal 86.
[17] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-4 (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), hlm. 211.
[18] Pasal 1 huruf f.
[19] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan, hlm. 66.
[20] Basas, “Dinamika Hukum Islam (Studi Posisi Harta Bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974),” skripsi sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1997), hlm. 6.
[21] Ibid., hlm. 94-95.
[22] Nuruddin, “Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 di Pengadilan Agama Bangil,” skripsi sarjana Universitas Sunan Giri Surabaya (2001), hlm. 9.
[23] Ibid., hlm. 49.
[24] Dwi Ambar Suryaningsih, “Hak Kebendaan Istri dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam (Studi Komparatif),” skripsi sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1994), hlm. 4.
[25] Ibid., hlm. 88-89.
[26] Agus Himawan, “Studi tentang Pembebasan Kewajiban Nafkah terhadap Kedudukan Suami Isteri dalam KHI,” skripsi sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2000), hlm. 4.
[27] Ibid., hlm. 79-80.
[28] Abdul Syukur, “Peranan Wanita Pekerja dalam Meningkatkan Ekonomi Rumah Tangga Ditinjau dari Hukum Islam,” skripsi sarjana IAIN Sunan Kalijaga (1996), hlm. 11.
[29] Ibid., hlm. 109.
[30] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, cet. ke-1 (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2004), hlm. 118.
[31] Ibid., hlm. 138.
[35] Al-Imam al-Hafiz Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Abd Allah al-Hakim al-Naisabury, al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1990), II: 204-205, hadis nomor 2764, “Kitab al-Nikah.” Hadis dari Hakim bin Mu’awiyah al-Qusyairy dari ayahnya. Hadis ini sanadnya sahih.
[36] Khoiruddin Nasution, Islam tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan 1), (Academia dan Tazzafa, 2004), hlm. 188.
[37] Ibid., hlm. 189.
[38] Pasal 36 ayat (1).
[39] Pasal 87 ayat (1).
[40] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 29-33.
[41] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-8 (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 40-41.