BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan esensi yang disaring dari peradaban suatu bangsa dan sekaligus mencerminkan jiwa suatu bangsa secara lebih jelas dari lembaga lain yang ada.[1]( Kedudukan hukum dalam Islam adalah sebagai inti dan saripati ajaran Islam itu sendiri. Sehingga sangatlah tidak mungkin untuk dapat memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.[2])
Hukum Islam[3]) dalam catatan sejarah telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Hal tersebut menunjukkan suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri dan menggambarkan benturan-benturan agama dengan perkembangan sosial budaya dimana hukum itu tumbuh.[4]) Karena pada dasarnya ijtihad dalam hukum Islam merupakan hasil interaksi antara pemikir hukum dengan faktor sosial-budaya dan faktor sosial-politik yang mengitarinya.[5])
Sejarah Islam pada masa modern ini diwarnai oleh peristiwa – peristiwa yang sangat mendasar dan besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran hukum Islam pada masa-masa mendatang. Pertama, peristiwa merembesnya ide-ide modern yang berasal dari Barat seperti ide nasionalisme, rasionalisme, demokrasi, emansipasi, sekularisasi, dan lain-lain yang pada akhirnya ide-ide tersebut mengubah struktur kebudayaan Islam klasik pada tingkat sosial kemasyarakatan maupun pada tingkat politik kenegaraan. Kedua, peristiwa runtuhnya tradisi sistem khilafah berganti dengan sistem kekuasaan negara nasional. Ummat Islam yang sebelumnya bersatu dalam kekuasaan imperium Islam dan akhirnya jatuh dalam dominasi kekuasaan kolonialis Barat, setelah merdeka mereka mempunyai kesempatan membangun corak kehidupan masyarakat yang mereka kehendaki. Konsekuensi logis dari berdirinya negara-negara muslim tersebut melahirkan upaya perancangan sistem hukum nasional sesuai aspirasi sosial politik masing-masing.[6])
Pada dewasa ini pembaharuan hukum Islam telah menjadi suatu kebutuhan di negara-negara muslim.[7]) Meskipun pada kenyataannya pembaharuan hukum Islam di negara-negara muslim masih terbatas pada wilayah hukum keluarga, setidaknya fenomena tersebut mencerminkan bahwa aktifitas ijtihad masih tetap hidup pada era globalisasi ini. Karena tanpa adanya ijtihad pasti hukum Islam akan kehilangan sifat elastis dan akomodatifnya dalam merespon permasalahan baru yang muncul seiring dengan perubahan zaman.
Di Indonesia upaya pembaharuan hukum Islam telah menghasilkan wujud yang konkret. Salah satunya adalah Kompilasi Hukum Islam yang patut dinilai sebagai ijma’ ulama Indonesia.[8]) Namun mencermati gagasan-gagasan yang ada dalam KHI, kesimpulan yang dapat diperoleh adalah pemanfaatan lembaga talfiq dan takhayyur dalam fomulasi hukumnya. Nilai lebih dari proses penyusunan KHI adalah referensi dari 38 buah kitab dari berbagai mazhab fiqh yang ada, studi banding ke negara-negara muslim Timur Tengah, telaah yurisprudensi dan serangkaian wawancara dengan para ulama Indonesia.[9])
Dasar hukum KHI adalah Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 yang dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991. Kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama No.154 tahun 1991 mengenai penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.[10]) Meskipun KHI oleh pakar hukum di Indonesia tidak dinyatakan sebagai hukum perundang – undangan yang berlaku di Indonesia namun seluruh jajaran peradilan agama di Indonesia sudah mengakuinya sebagai hukum dan pedoman yang harus dijalankan dan dipatuhi oleh umat Islam sehingga KHI dapat disebut sebagai undang – undang Islam.[11])
Adapun pendekatan yang digunakan di dalam penyusunan KHI mencakup beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan normatif. Yaitu bahwa perumusan KHI mengambil bahan sumber utama dari nas{s} al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, mengutamakan pemecahan problema masa kini. Ketiga, unity dan variety. Dan keempat, pendekatan kompromi dengan hukum adat.[12]) Keempat pendekatan tersebut digunakan di dalam merumuskan KHI yang terdiri dari tiga kitab hukum. Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan.
Dalam pendekatan yang lebih mengutamakan pemecahan problema masa kini dimaksudkan bahwa di dalam perumusan KHI sejauh mungkin dihindari perdebatan di dalam mempersoalkan perbedaan pendapat ulama. Akan tetapi langsung diarahkan kepada masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat, kemudian baru dicari dan dipilih pendapat yang paling potensial untuk memecahkan problema ketidaktertiban yang dihadapi selama ini.[13]) Dalam hal ini tampak sekali pemanfaatan lembaga talfi>q dan takhayyur dalam formulasi hukum KHI.
Akhir-akhir ini perubahan peradaban manusia semakin akseleratif. Sejalan dengan tuntutan perkembangan jaman, manusia semakin banyak kehilangan nilai-nilai yang diyakini sebelumnya. Manusia semakin dihadapkan pada perbenturan dan erosi nilai-nilai moral dan keluhuran. Budaya permisif dan serba terbuka memerangkap manusia hingga berkubang di dunia kemaksiatan.
Pergaulan bebas hingga free sex melanda kalangan muda-mudi hingga resiko kehamilan di luar nikah. Sementara pihak yang mengalami selalu berusaha untuk menutupi kehamilan di luar nikah tersebut dengan terpaksa mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki yang menghamili maupun yang bukan menghamili.
Sebenarnya masalah ‘iddah secara umum adalah sesuatu yang sudah disepakati oleh para ulama selain juga telah dijelaskan secara eksplisit oleh nass al-Qur’an maupun Sunnah. Akan tetapi ketika ‘iddah tersebut dihadapkan pada suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang perempuan yang hamil karena zina maka ‘iddah tersebut menjadi sebuah masalah yang membutuhkan pengkajian secara cermat.
Bagaimanapun ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina tersebut akan membawa implikasi pada kebolehan akad nikah, dalam arti syah atau tidaknya perkawinan tersebut. Selain itu ‘iddah perempuan hamil karena zina tidak dijelaskan secara eksplisit baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah sehingga mengundang perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Menurut Sya>fi’iyyah dan H}anafiyyah perempuan hamil karena zina tidak diwajibkan untuk menjalankan ‘iddah, karena ‘iddah bertujuan untuk menjaga nasab sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki – laki yang menyebabkan hamil.[14])
Sebagian ulama H>>}anafiyyah menambahkan bahwa terdapat larangan bagi suami untuk menggauli isterinya itu selama masih dalam keadaan hamil sampai isterinya melahirkan.[15]) Adapun menurut Sya>fi’iyyah tidak ada larangan untuk menggauli isterinya tersebut meskipun masih dalam keadaan hamil.[16])
Ulama Ma>likiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan ‘iddah kecuali jika dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid.[17])
Ulama H}ana>bilah menyatakan bahwa ‘iddah perempuan hamil karena zina seperti halnya ‘iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai dengan melahirkan.[18]) Konsekuensi dari pendapat ini adalah larangan untuk menikahi perempuan tersebut pada waktu hamil. Pendapat ini didasarkan pada hadis\ Nabi :
لايحل لإمرئ يؤمن بالله واليوم الآخر ان يسقى ماءه زرع غيره ([19]
لاتوطأ حامل حتى تضع , ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة ([20]
Sementara itu jika meninjau hukum positif di Indonesia ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina secara implisit diatur dalam pasal 53 KHI sebagai berikut :
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dari pasal 53 ayat 2 di atas dapat dipahami bahwa tidak ada kewajiban ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina jika ia dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Persoalan yang kemudian muncul adalah jika perempuan hamil karena zina tersebut menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya. Dalam hal ini KHI belum memberikan penjelasan.
Berangkat dari persoalan di atas penyusun ingin melakukan analisis terhadap ketentuan pasal 53 ayat 2 KHI tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina.
Pokok Masalah
Bagaimana ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam ?
Bagaimana analisis hukum ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam ?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan analisis hukum ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam.
Kegunaan
Terapan
Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya wacana intelektual bagi para peminat dan pengkaji hukum Islam khususnya dalam bidang perkawinan.
Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan di dalam perumusan ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina.
D. Telaah Pustaka
Bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, bahan pustaka yang membahas tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina. Kedua,bahan pustaka yang membahas seputar KHI.
Diantara bahan pustaka yang termasuk dalam kategori pertama adalah buku Hukum Perkawinan Islam.[21]) Dalam buku tersebut dijelaskan prbedaan pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina. Menurut pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Syafi’i perkawinan wanita hamil karena zina dengan laki-laki kawan berzinanya itu dapat dilakukan seketika tanpa harus menunggu sampai melahirkan kandungan sebab wanita tersebut tidak disebutkan dalam al-Qur’an termasuk wanita yang haram dinikah sebagaimana dijelaskan dalam Surat an-Nisa>’: 24. Dalam ayat itu dinyatakan bahwa selain yang telah disebutkan sebelumnya halal dikawin. Sedangkan Abu Yusuf, Zufar, Malik, dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa perempuan yang hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah yaitu sampai melahirkan.
Kemudian buku Hubungan Seks Menurut Islam[22]). Dalam bab kelima tentang zina terdapat uraian perbedaan pendapat tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina di kalangan fuqaha. Imam Ahmad dan Malik mewajibkan ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina sementara Abu Hanifah dan Syafi’i tidak mewajibkan ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina. Akan tetapi seorang ulama Hanafiyah yaitu Abu Yusuf, berpendapat bahwa perempuan hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah.
Selanjutnya buku Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil.[23]) Dalam buku ini juga dijelaskan perbedaan pendapat fuqaha berkaitan dengan ‘iddah perempuan hamil karena zina. Selain menjelaskan pendapat fuqaha sebagaimana telah dijelaskan dalam buku-buku sebelumnya, dalam buku ini dijelaskan pendapat An-Nawawi bahwa seorang wanita yang berzina tidak wajib ber’iddah baik sedang dalam keadaan hamil atau tidak. Sedangkan Ibn Hazm seorang ulama mazhab Z|a>hiri berpendapat bahwa wanita hamil karena zina boleh dikawinkan walaupun belum melahirkan anaknya.
Buku Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia.[24]) Dalam buku ini juga terdapat uraian seputar perbedaan pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina sebagaimana dijelaskan dalam buku-buku sebelumnya.
Selain buku-buku di atas juga terdapat beberapa kitab fiqh yang menjelaskan masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina, antara lain adalah Kita>>>>b al-Fiqh ‘ala> Maz\a>hib al-Arba’ah.[25]) Dalam juz IV Kita>b at-T}ala>q dijelaskan perbedaan pendapat tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina dari keempat imam maz}hab Sunni sebagaimana yang telah dijelaskan dalam buku-buku sebelumnya.
Dalam kitab Bida>>>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id,[26])dijelaskan bahwa terjadinya perbedaan pendapat antara yuris Ma>likiyah dengan yuris-yuris pada umumnya (jumhur) dalam masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina disebabkan karena perbedaan mereka dalam memahami larangan mengawini wanita yang berzina (Q.S.An-Nu>r (24) : 3), apakah hanya bersifat mencela atau mengharamkan. Sebagian besar mereka menangkap pesan ayat tersebut sebagai celaan saja dengan bukti bahwa penah terjadi kasus penyelewengan seorang isteri yang disarankan oleh Nabi agar diceraikan tetapi suaminya merasa keberatan hingga akhirnya Nabi merestui meneruskan rumah tangganya tanpa istibra>’ lagi.
Selanjutnya dalam kitab al-Mughni>,[27])dijelaskan pendapat ulama H}ana>bilah bahwa ‘iddah perempuan hamil karena zina seperti ‘iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai melahirkan. Kemudian Fiqh as-Sunnah,[28])dalam kitab ini dijelaskan bahwa menurut ulama H}anafiyyah dan Sya>fi’iyyah perempuan hamil karena zina tidak diwajibkan ‘iddah karena ‘iddah bertujuan untuk menjaga nasab sedangkan persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan hamil. Sedangkan menurut Malik dan Ahmad perempuan hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah, baik dengan tiga kali haid atau cukup sekali haid untuk mengetahui kebersihan rahim.
Adapun bahan pustaka yang termasuk dalam kategori kedua misalnya buku Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia.[29]) Dalam tulisan Harahap tentang “Materi KHI” dijelaskan pendekatan yang ditempuh dalam merumuskan kebolehan kawin hamil, yaitu berdasarkan pendekatan kompromistis dengan hukum adat. Selain itu tujuan utama kebolehan kawin hamil adalah untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti kepada anak yang dalam kandungan. Selanjutnya buku Hukum Islam di Indonesia.[30]) Dalam buku ini terdapat penjelasan tentang proses perumusan dan sumber rujukan KHI yang terdiri dari 38 buah kitab fiqh dari berbagai mazhab fiqh yang ada. Adapun proses perumusan KHI mencakup studi terhadap berbagai kitab fiqh, studi banding ke negara-negara muslim Timur Tengah, telaah yurisprudensi, dan serangkaian wawancara dengan para ulama Indonesia.
Sejauh pengetahuan penyusun, sedikitnya ada tiga skripsi yang pernah membahas masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina. Pertama , skripsi yang berjudul “ ‘Iddah Perempuan yang Berzina Antara Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad bin Hanbal”. [31]) Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i perempuan hamil karena zina tidak wajib menjalankan ‘iddah dan boleh dicampuri meskipun dalam keadaan hamil. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal bependapat bahwa perempuan hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah sampai melahirkan. Kedua, skripsi yang berjudul “Analisis terhadap pendapat Imam Ahmad bin Hanbal tentang ‘Iddah Bagi Wanita Zina dan Implikasinya di Indonesia”.[32]). Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, perempuan hamil karena zina wajib melaksanakan ‘iddah sampai melahirkan dan penyusun skripsi ini berkesimpulan bahwa jika pendapat Imam Ahmad bin Hanbal ini diterapkan dalam konteks masyarakat Indonesia akan menyebabkan kesenjangan sosial. Dan yang terakhir, skripsi yang berjudul “ Pandangan Mazhab Maliki Terhadap ‘Iddah Perempuan Yang Berzina Dan Aplikasinya di Indonesia”.[33]) Dalam skripsi tersebut didiskripsikan metode istinbat hukum yang digunakan oleh mazhab Maliki dalam menetapkan ‘iddah yaitu berdasarkan qiyas disertai dengan bagaimana aplikasi pendapat Maliki tersebut di Indonesia. Menurut penyusun skripsi tersebut pendapat Maliki tidak relevan jika diterapkan di Indonesia karena akan menimbulkan kesenjangan sosial.
Adapun kajian yang membahas pasal 53 ayat 2 KHI tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina dengan memberikan analisis hukum, sejauh pengetahuan penyusun masih jarang, untuk tidak mengatakan belum pernah ada.
E. Kerangka Teoretik
Sebagaimana diketahui bahwa ‘iddah bagi perempuan hamil dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, apabila isteri dicerai suaminya dalam keadaan hamil maka ‘iddahnya sampai melahirkan berdasarkan firman Allah:
والئي يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلثة اشهر والئي لم يحضنج واولا ت الاحمال اجلهن ان يضعن حملهنج ومن يتق الله يجعل له من امره يسرا ([34]
Kedua, apabila isteri ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Mayoritas ulama menurut Ibn Rusyd[35]) berpendapat bahwa masa ‘iddah perempuan tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu kematian suami hingga ia melahirkan hanya setengah bulan atau kurang dari empat bulan sepuluh hari.[36]) Sementara menurut Ma>lik dan Ibn ‘Abba>s masa ‘iddah perempuan tersebut diambil waktu yang terlama dari dua jenis ‘iddah tersebut apakah empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan.
Sepanjang kedua jenis ‘iddah bagi perempuan diatas mungkin tidak begitu banyak mengundang kontroversi karena masing-masing telah dijelaskan oleh nass secara eksplisit. Akan tetapi dalam hal ’iddah bagi perempuan hamil karena zina maka tidak ada penjelasan secara eksplisit oleh nas. Sebagai konsekuensinya maka muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ada tidaknya kewajiban ‘iddah bagi perempuan tersebut ataupun tenggang waktu masa ‘iddah tersebut.
Mengenai ada atau tidaknya kewajiban ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina, maka ulama telah bersepakat bahwa jika perempuan hamil karena zina tersebut menikah dengan laki-laki yang menghamilinya tidak diwajibkan ‘iddah.[37]) Sedangkan apabila menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Menurut ulama Sya>fi’iyyah dan sebagian ulama H}anafiyyah berpendapat bahwa perempuan tersebut tidak wajib menjalankan ‘iddah. Dalam arti bahwa perempuan tersebut dapat langsung dikawini pada waktu hamil, akan tetapi menurut H}anafiyyah selama isteri tersebut masih dalam keadaan hamil terdapat larangan bagi suami untuk menggaulinya berdasarkan pada hadis\ Nabi :
لايحل لإمرئ يؤمن بالله واليوم الآخر ان يسقى ماءه زرع غيره ([38]
Sedangkan Imam Sya>fi’i menyatakan bahwa tidak ada larangan bagi suami untuk menggauli isterinya itu pada pada waktu masih dalam keadaan hamil, tetapi status anak itu tidak dapat dinasabkan kepada suaminya.[39]) Adapun ulama Ma>likiyah dan H}ana>bilah mewajibkan perempuan yang hamil karena zina untuk menjalankan ‘iddah, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang tenggang waktu ‘iddah tersebut. Menurut ulama H}ana>bilah tidak ada perbedaan antara perempuan hamil karena zina atau bukan dalam hal ber’iddah yaitu sampai melahirkan anak yang dikandungnya.[40]) Sedangkan ulama Ma>likiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan ‘iddah kecuali jika dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid.[41])
Sedangkan di dalam KHI pasal 53 tidak terdapat penjelasan jika perempuan yang hamil karena zina tersebut menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya.
Sejauh pemahaman penyusun jika perempuan yang berzina tersebut sudah terlanjur hamil, sementara laki-laki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab maka lebih baik dinikahkan meskipun dengan laki-laki yang tidak menghamilinya tanpa harus menunggu kelahiran anak yang ada dalam kandungan. Karena selain dapat menutup aib baik bagi perempuan tersebut maupun keluarganya juga dapat meringankan beban psikologis yang nantinya akan ditanggung oleh anak yang ada dalam kandungan pada masa-masa pertumbuhannya. Dalam hal ini berlaku kaidah fiqh :
درء المفاسد اولى من جلب المصالح[42] )
Kondisi perempuan yang sudah terlanjur hamil sangat membutuhkan dukungan psikologis maupun ekonomi demi anak yang ada di dalam kandungan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yaitu suatu jenis penelitian yang didalam memperoleh bahan dilakukan dengan cara menelusuri bahan-bahan pustaka. Dalam penelitian ini cukup ditempuh dengan penelitian pustaka karena sebagian besar data yang diperlukan berasal dari bahan pustaka baik berupa buku maupun hasil penelitian. Misalnya untuk mendiskripsikan ‘iddah perempuan hamil karena zina dapat diperoleh dari kitab-kitab fiqih konvensional, kemudian untuk mengetahui ketentuan ‘iddah tersebut menurut KHI dapat dilihat pada KHI.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Setelah data terkumpul akan dideskripsikan terlebih dahulu seputar masalah ‘iddah secara umum. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pada pokok masalah tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina dan terakhir akan dianalisis ketentuan yang terdapat dalam KHI berkaitan dengan ‘iddah tersebut.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang ditempuh dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif-sosiologis. Pendekatan yuridis digunakan untuk mengetahui ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina di dalam KHI. Sementara untuk mengetahui dalil-dalil dari nass baik al-Qur’an maupun Sunnah tentang ‘iddah serta pendapat ulama dalam kitab-kitab fiqh konvensional digunakan pendekatan normatif. Adapun untuk mengkaji dampak yang muncul dalam interaksi sosial ditempuh pendekatan sosiologis.
4. Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian ini maka data-data yang dibutuhkan dikumpulkan dengan cara menelusuri buku-buku maupun hasil penelitian yang memiliki kesesuaian dengan pokok masalah.
5. Analisa Data
Data-data yang telah diperoleh akan dianalisa secara kualitatif dengan mengunakan metode induktif. Metode induktif adalah suatu metode penalaran yang bertitik tolak dari premis-premis khusus kemudian digeneralisasikan sehingga menghasilkan kesimpulan umum. Dengan memperhatikan faktor psikologis maupun sosiologis dihubungkan dengan kondisi perempuan hamil karena zina serta pendapat yang berkembang di kalangan ulama akan ditarik suatu kesimpulan.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima bab. Setiap bab terdiri dari sub-sub bab.
Bab satu berisi pendahuluan untuk mengantarkan pembahasan skripsi secara keseluruhan. Bab ini terdiri dari enam sub bab : latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian.
Selanjutnya pada bab dua akan dideskripsikan tinjauan umum tentang ‘iddah. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab, antara lain : pengertian dan dasar hukum ‘iddah, macam-macam ‘iddah, dan hikmah ‘iddah dan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam pandangan ulama. Urgensi dari bab kedua ini adalah untuk memperoleh pemahaman tentang ‘iddah dan hikmah ditetapkannya semantara pemaparan pandangan ulama terhadap ‘iddah perempuan hamil karena zina akan digunakan sebagi suatu penilaian dalam menganalisis ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam KHI sebagaimana akan dijelaskan dalam bab ketiga.
Bab tiga menjelaskan ketentuan ‘iddah yang terdapat di dalam KHI, baik ‘iddah yang telah dijelaskan secara eksplisit oleh nas}s} maupun ‘iddah yang masih mengundang kontroversi pendapat, yaitu ‘iddah perempuan hamil karena zina. Dalam menjelaskan ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam KHI ini akan dibagi menjadi dua pasal. Pertama, ‘iddah perempuan hamil karena zina jika dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Kedua, ‘iddah perempuan hamil karena zina jika dikawinkan dengan laki-laki yang tidak menghamilinya. Bab tiga ini akan menjadi bahan yang akan dianalisis pada bab selanjutnya.
Pada bab empat akan diberikan analisis terhadap ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina baik yang menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan. Akan tetapi sebelumnya akan diuraikan latar belakang perumusan pasal 53 KHI untuk mengetahui pendekatan yang digunakan maupun tujuan perumusan pasal tersebut.
Kemudian pada bab lima sebagai penutup akan diberikan kesimpulan akhir disertai dengan saran-saran.
[1]) J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York:New York University Press, 1959), hlm.17
[2]) Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford:Oxford University Press, 1964), hlm.1
3) Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law”dari literatur Barat. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.11. Adapun kata syari’ah mencakup arti luas dan sempit. Syari>’ah dalam pengertian luas adalah agama itu sendiri sedangkan syari’ah dalam arti sempit berarti fiqh. Mahmu>d Syaltu>t, al-Isla>m ‘Aqi>dah wa Syari>’ah, (t.t p: Dar al-Qalam, 1966), hlm.77. Kata hukum Islam dalam tulisan ini adalah dalam pengertian fiqh.
[4]) Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam : Suatu Pengantar, cet.II, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996), hlm.1
[5]) ‘Atho’ Mudzhar, Social History Approach to Islamic Law, Al-Jami’ah, No.61 (1998), hlm.79
[6]) Ghufron Ajib Mas’adi,Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, cet.II,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.4
[7]) Menurut Anderson tipologi pembaharuan hukum Islam di negara-negara muslim dapat dibedakan menjadi tiga : 1) negara-negara yang masih menerapkan syari’ah secara utuh, 2) negara-negara yang berusaha mengganti syari’ah dengan hukum Barat, dan 3) negara-negara yang mengkombinasikan hukum Barat dengan syari’ah. J.N.D Anderson, Islamic, hlm.82-83
[8]) Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang:Angkasa Raya, 1990), hlm.138-139
[9]) Epistemologi Syara’ : Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Noer Ahmad dkk,cet.I (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 110. Tentang proses perumusan dan sumber rujukan dapat dilihat Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia,cet.IV (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 35-54
[10]) Kekuatan hukum yang berupa Inpres dengan isinya yang menyatakan perintah penyebarluasan bukan perintah pelaksanaan telah menyebabkan implementasi KHI bersifat fakultatif. Dalam arti tidak secara a priori mengikat dan memaksa warga negara Indonesia, khususnya umat Islam. Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara : Kritik Atas Politik Hukum di Indonesia, editor : Nurul Huda, cet.1,(Yogyakarta:LKIS Yogyakarta, 2001),hlm.202-207.
[11]) Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu – isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, cet.I, (Jakarta:Ciputat Press, 2002), hlm.45 – 46
[12]) M.Yahya Harahap, “Materi KHI”, dalam Dadan Muttaqien dkk (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, edisi II (Yogyakarta:UII Press,2000), hlm.82 – 92
[13]) Ibid, hlm.87
[14]) As-Sayyid Sa>>>>>biq, Fiqh as-Sunnah, cet.IV (Beirut : Da>r al-Fikr, 1983), II : 282-283
[15]) Abd ar-Rah}}}ma>n al-Ja>ziri>, Kita>b al-Fiqh ‘ala> Maz\a>hib al-Arba’ah, (Mesir : Maktabah at-Tija>>>riyyah al-Kubra>,1969), IV : 521.
[16]) Ibid, hlm.523
[17]) Abd ar-Rah}}ma>n al-Ja>ziri>,Kita>b al-Fiqh,IV : 516.
[18]) Ibn Quda>>>mah, al-Mughni>, (t.tp : Maktabah al-Jumhu>riyyah al-‘Arabiyah,t.t), VI : 601-602
[19]) Abi>>>>> Da>wud Sulaima>n, Sunan Abi> Da>wud, “Kita>b an-Nika>h”, ba>b fi> wat’i as-S}aba>ya, (t.tp:Da>>>r al-Fikr, t.t.), II: 248. Hadis nomor 2158. Hadis diriwayatkan oleh Ruwaifi’ bin S\|a>bit al-Ans}a>ri>.
[20]) Abi>>>> Da>wud Sulaima>n, Sunan Abi> Da>wud, “Kita>b an-Nika>h”, ba>b fi> wat’i as-S}aba>ya, (t.tp:Da>>r al-Fikr, t.t.), II: 248. Hadis nomor 2157. Hadis riwayat Abi Sa’I>d al-Khuz}ri.
[21]) Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet. IX (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm.35-36.
[22]) M. Bukhori, Hubungan Seks Menurut Islam, cet. I(Jakarta:Bumi Aksara, 1994), hlm.97-98.
[23]) Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Pekawinan Wanita Hamil, cet. I(Yogyakarta:Pustaka Dinamika, 2002), hlm. 105-107.
[24]) Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, hlm. 195-197
[25]) Abd ar-Rah}}ma>n al-Ja>ziri>, Kita>b al-Fiqh, IV : 519-532.
[26]) Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id,(Beirut : Da>>>r al-Fikr, 1995), II : 32-33.
[27]) Ibn Quda>>>>mah, al-Mughni>, VI : 601-602.
[28]) As-Sayyid Sa>>biq,Fiqh as-Sunnah, II : 282-283.
[29]) M.Yahya Harahap, “Materi KHI”, dalam Dadan Muttaqien dkk (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, hlm.82 – 92
[30]) Ahmad Rofiq, Hukum, hlm. 35-54. Tentang latar belakang historis dan proses penyusunan KHI dapat dilihat Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, cet.I (Yogyakarta:Gama Media,2001),hlm.79-96.
[31]) Husnul Arifin, “ ‘Iddah Perempuan yang Berzina Antara Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad bin Hanbal,” skripsi IAIN Sunan Kalijaga (2001).
[32]) Saiful Anwar, “Analisis terhadap pendapat Imam Ahmad bin Hanbal tentang ‘Iddah Bagi Wanita Zina dan Implikasinya di Indonesia,” skripsi IAIN Sunan Kalijaga (2001)
[33]) Siti Zahrotun, “ Pandangan Mazhab Maliki Terhadap ‘Iddah Perempuan Yang Berzina Dan Aplikasinya di Indonesia,” skripsi IAIN Sunan Kalijaga (2003)
[34]) At-T>>}}}ala>q (65): 4.
[35]) Ibn Rusyd, Bida>yah., II: 77.
[36]) Ketentuan empat bulan sepuluh hari adalah ‘iddah bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya berdasarkan Q.S. Al-Baqarah (2):234
[37]) Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, cet. IV (Damaskus : Da>r al-Fikr, 1997 M/1418 H), IX : 6648.
[38]) Abi>>>> Da>wud Sulaima>n, Sunan Abi> Da>wud, “Kita>b an-Nika>h”, Ba>b fi> Wat’i as-S}aba>ya, (t.tp.: Da>r al-Fikr, t.t.), II: 248. Hadis nomor 2158. Hadis diriwayatkan oleh Ruwaifi’ bin S||a>bit al-Ans}}}a>ri.
[39]) Ibn Quda>>>>>>>>mah, al-Mughni>, VI : 602.
[40]) Ibid.
[41]) Abd ar-Rah}}>ma>>n al-Ja>ziri>, Kita>b al-Fiqh, IV : 516.
[42]) Zain al-‘A>bidi>n Ibn Ibra>hi>m Ibn Naji>m, al-Asybah wa an-Naz}a>’ir, cet. I (Beirut:Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1413H / 1993 M), hlm.90