BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sejak awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern : neorevivalis dan modernis. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslim untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al – Quran dan As – Sunnah.
Upaya awal penerapan system profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an , yaitu adanya upaya mengelola dana jemaah haji secara nonkonvensional. Rintisan intitusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo Mesir.
Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana ini, bank Islam tumbuh dengan sangat pesat yang beroperasi diseluruh dunia, baik dinegara-negara yang berpenduduk muslim maupun di Eropa, Australia maupun Amerika.
Satu hal yang juga patut dicatat adalah saat ini banyak nama besar dalam dunia keuangan internasional seperti Citibank, Jardine Flemming, ANZ, Chase Chemical Bank, Goldman Sech, dan lain-lain telah membuka cabang dan subsidiaries yang berdasarkan syariah. Dalam dunia pasar modal pun, Islamic fund kini ramai diperdagangkan, suatu hal yang mendorong singa pasar modal dunia Dow Jones untuk menerbitkan Islamic Dow Jones Index .
Oleh karena itu tak heran jika Scharf, mantan direktur utama bank Islam Denmark yang non muslim itu, menyatakan bahwa bank Islam itu adalah partner baru pembangunan.
Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah
1. Karnael A. Purwataatmaja,
2. M. Dewam Rahardjo, A,
3. M. Saefuddin ,
4. M. Amien Azis, dan lain-lain.
Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Diantaranya adalah Baitut Tamwil-Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa yang berbentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua Bogor Jawa Barat. Hasil Lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan Amanat Munas IV MUI , dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. (M. Syafi’i Antonio, 2001)
Kelompok kerja yang disebut Tim perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang No 10 Tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonvensi diri secara total menjadi bank syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonvensi diri secara total menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan “Pelatihan Perbankan Syariah” bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama terutama aparat yang terkait langsung seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan), kredit, pengawasan, akuntansi, riset, dan moneter.
Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah. Secara structural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan dilingkup Bank Mandiri (ex BDN), yang kemudian dikonversikan menjadi bank syariah secara penuh.
Satu perkembangan lain perbankan syariah di Indonesia pasca reformasi adalah diperkenankannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi bank syariah.
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama pada sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi computer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan mendasar diantara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, stuktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja. (Adiwarman Karim , 2002)
Dalam bank syariah , akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.
Setiap akad dalam perbankan syariah , baik dalam hal barang, perilaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut,
1. Rukun
Seperti :
- penjual,
- pembeli,
- barang,
- bunga,
- akad/ ijab-qabul
2. Syarat
Seperti syarat berikut :
- Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
- Harga barang dan jasa harus jelas.
- Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
- Barang boleh ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.
Bank syariah dapat memiliki stuktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang membedakan adalah harus adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dan setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penempatan Badan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat. Umumnya Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan.
Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut,
1. Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
2. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat ?
3. Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila ?
4. Apakah proyek berkaitan dengan penjudian ?
5. Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang illegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh masal ?
6. Apakah proyek dapat merugikan syiar islam, baik secara langsung maupun tidak langsung ?
Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel 1.1 berikut ini,
Tabel 1.1
Perbandingan antara bank syariah dengan bank konvensional
BANK ISLAM | BANK KONVENSIONAL |
|
|
Sumber : Bank Indonesia, Biro Perbankan Syariah
Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan pada bank dapat dibagi menjadi dua hal berikut,
1. Pinjaman produktif
Yaitu pinjaman yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
2. Pinjaman konsumtif
Yaitu pinjaman yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pinjaman produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut.
1. Pinjaman modal kerja
Yaitu pinjaman untuk memenuhi kebutuhan
a. peningkatan produksi
b. untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
2. Pinjaman investasi
Yaitu pinjaman untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
Bank konvensional memberikan kredit kerja dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun perdagangan dalam waktu tertentu,dengan imbalan berupa bunga.
Bank syariah dapat membantu seluruh kebutuhan modal kerja tersebut bukan dengan meminjamkan uang, tetapi dengan menjalin hubungan partner ship dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai pengusaha penyandang dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah (trust financing). Fasilitas ini dapat diberikan dalam jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil (yang belum dibagikan) yang menjadi bagian bank.
Bank syariah dapat menyediakan pinjaman komersil untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi dengan menggunakan skema berikut ini,
1. Al-bai’bi tsaman ajil atau jual beli dengan angsuran
2. Al-ijarah al-muntahia atau sewa beli
3. Al-musyarakah mustanaqhishah atau decresing participation, dimana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.
4. Ar-Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.
Pembiayaan konsumsi tersebut diatas lazim digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sekunder. Adapun kebutuhan primer pada umumnya tidak dapat dipenuhi dengan pinjaman komersil. Seseorang yang belum mampu memenuhi kebutuhan pokoknya tergolong fakir atau miskin. Oleh karena itu, ia wajib diberi zakat atau sedekah, atau maksimal diberikan pinjaman kebajikan (al-qardh al-hasan), yaitu pinjaman dengan kewajiban pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apapun.
Dalam perbankan syariah, sebenarnya penggunaan kata pinjam-meminjam kurang tepat digunakan disebabkan dua hal. Pertama, pinjaman merupakan salah satu metode hubungan financial dalam islam. Kedua, dalam islam pinjam-meminjam adalah akad sosial, bukan akad komersial. Artinya, bila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak boleh disyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok pinjaman. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi SAW. Yang mengatakan bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat atau riba, sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu pada perbankan syariah, pinjaman tidak disebut kredit, tetapi pembiayaan (financing).
Seperti dalam perbankan konvensional, perbankan syariah memetapkan syarat-syarat umum untuk sebuah pinjaman, seperti hal-hal berikut,
1. Surat permohonan tertulis, dengan dilampiri proposal yang memuat gambaran umum usaha, rencana atau prospek usaha, rincian dan rencana penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu penggunaan dana.
2. Legalitas usaha, seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat izin umum perusahaan, dan tanda daftar perusahaan.
3. Laporan keuangan, seperti neraca dan laporan rugi laba, data persediaan terakhir, data penjualan, dan fotokopi rekening bank.
Contoh-contoh perhitungan praktis :
1. Al-Murabahah
Misalkan seorang nasabah ingin memiliki sebuah motor. Ia dapat memohon kepada bank syariah agar bank membelikannya. Setelah diteliti dan dinyatakan dapat diberikan, bank membelikan motor tersebut dan memberikannya kepada nasabah. Jika harga motor tersebut Rp 4.000.000,00 dan bank ingin mendapatkan keuntungan
Rp 800.000,00 selama dua tahun, maka harga yang ditetapkan kepada nasabah sebesar Rp 4.800.000,00. Nasabah dapat mencicil pembayaran tersebut Rp 200.000,00 perbulan.
2. Bai’as-Salam
Seorang petani memerlukan dana sebesar Rp 2.000.000,00 untuk mengolah sawahnya seluas 1 hektar. Ia datang ke bank dan memohon permohonan dana untuk keperluan itu. Setelah diteliti dan dinyatakan dapat diberikan , bank memerlukan akad bai’as-Salam dengan petani, dimana bank akan membeli gabah, misalnya, jenis IR dari petani untuk jangka waktu 4 bulan sebanyak 2 ton dengan harga
Rp 2.000.000,00. Pada saat jatuh tempo, petani harus menyetor gabah yang dimaksud kepada bank. Jika bank tidak memerlukan gabah untuk keperluannya sendiri, bank dapat menjualnya kepada pihak lain, atau meminta petani mencarikan pembelinya dengan harga yang lebih tinggi, misalnya Rp 1.200,00 perkilogram. Dengan demikian, keuntungan bank dalam hal ini adalah Rp 400.000,00 atau
(Rp 200,00 x 2000 kg).
3. Bai’al-Istishna
Seorang yang ingin membangun atau merenovasi rumah dapat mengajukan permohonan dana untuk keperluan itu dengan cara bai’al-Istishna, bank berlaku sebagai penjual yang menawarkan pembangunan/renovasi rumah. Bank lalu membeli/memberikan dana, misalnya Rp 30.000.000 secara bertahap. Stelah rumah itu jadi, secara hukum Islam rumah/ hasil renovasi rumah itu masih menjadi milik bank dan sampai tahap ini akad istisna sebenarnya telah selesai. Karena bank tidak ingin memiliki rumah tersebut, bank menjualnya kepada nasabah dengan harga yang disepakati, misalnya Rp 39.000.000,00 dengan jangka waktu pembayaran 3 tahun. Dengan demikian, bank memperoleh keuntungan Rp 9.000.000,00.
4. Al-Mudharabah
Seorang pedagang yang memerlukan modal untuk berdagang dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti mudharabah, dimana bank bertindak sebagai shahibul maal dan nasabah selaku mudharabah. Caranya adalah dengan mengitung dulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya, dari modal Rp 30.000.000,00 diperoleh pendapatan Rp 5.000.000,00 per bulan. Dari pendapatan itu harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian modal misalnya Rp 2.000.000,00 selebihnya dibagikan antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan dimuka, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank.
5. Musyarakah
Pak Budi adalah seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek. Usaha tersebut memerlukan modal Rp 100.000.000,00. Ternyata setelah dihitung, Pak Budi hanya memiliki Rp 50.000.000,00 atau 50% dari modal yang diperlukan. Pak Budi kemudian datang ke sebuah bank syariah untuk mengajukan pembiayaan dengan skema musyarakah. Dalam hal ini, kebutuhan terhadap modal Rp 100.000.000 dipenuhi oleh nasabah 50% dan 50% dari bank. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. Seandainya keuntungan dari proyek itu Rp 20.000.000 dan nisbah atau porsi bagi hasil yang disepakati adalah 50:50, pada akhirnya Pak Budi harus mengembalikan dana sebesar Rp 50.000.000,00 (dana pinjaman dari bank) ditambah Rp 10.000.000,00 (50% keuntungan untuk bank).
6. Musyarakah Mutanaqishah
Nasabah dan bank berkongsi dalam pengadaan suatu barang (biasanya rumah atau kendaraan), misalkan 30% dari nasabah dan 70% dari bank. Untuk memiliki barang tersebut, nasabah harus membayar kepada bank sebesar porsi yang dimiliki bank. Karena pembayarannya dilakukan secara angsuran, penurunan porsi kepemilikan bank pun berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran. Barang yang telah dibeli secara kongsi tadi baru akan menjadi milik nasabah setelah porsi nasabah menjadi 100% dan porsi bank 0%.
7. Al-Ijarah
Bank syariah yang mengoperasikan ijarah dapat melakukan leasing, baik operational lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya bank-bank syariah lebih banyak melakukan financial lease with purchase option atau ijarah muntahia bit-tamlik. Hal ini karena skema lebih sederhana dari sisi pembukuan dan bank tidak direpotkan oleh beban pemeliharan asset. Ditinjau dari hal tersebut, ijarah lebih sering dipakai untuk pembiayaan investasi dan customer loan.
Syarat kehidupan sehari-hari kian lama kian rumit. Karena itu pentingnya pinjaman konsumtif untuk kebutuhan pokok bagi tiap orang tidak berlebihan. Pinjaman konsumtif sedikit banyak bersifat tidak produktif, walaupun ada pengaruhnya pada produktifitas masyarakat secara tidak langsung, yaitu mendorong produksi dan supply. Tentu saja pinjaman harus ada tanggungan berupa deposito atau bukti harta tetap yang dimiliki si peminjam.
Maka dalam tataan sosial Islami pemerintah terpaksa menarik pajak semua deposito dan saldo kredit untuk memperoleh biayanya. Rakyat tidak akan merasa berat memikul beban perpajakan ini karena adanya pelayanan cuma-cuma, dengan demikian, perdagangan, perniagaan, dan industri pun akan tumbuh dengan pesat. Akibatnya, sumberdaya ekonomi akan dimanfaatkan dengan baik, masalah pengangguran akan terpecahkan, dan pendapatan nasional pun akan meningkat dalam suatu negara Islam. Pada semua negara Islam terdapat sejenis pinjaman yang khas yang disebut Qard i-Hasanah yang artinya suatu pinjaman tanpa bunga. Seseorang yang berhutang harus menyelesaikan semua utangnya sebelum ia meninggal dunia, kalau tidak maka ia berdosa, dalam beberapa hal si pemberi pinjaman akan memberi Qard i-Hasanah, pinjaman tanpa bunga yang harus dibayar kembali.( M.A.Mannan,1992)
Dengan berpatokan kepada pinjaman tanpa bunga ,maka fenomena ini menjadi latar belakang penulis untuk memilih judul :
“ Analisis Pinjaman Konsumtif Riil Pada Bank Syariah
di Indonesia Periode 1998.2 - 2003.1”
1.2Identifikasi Masalah
Dengan demikian identifikasi permasalahan dalam penelitian ini akan menganalisis tentang :
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan pinjaman konsumtif pada Bank Syariah di Indonesia?
2. Diantara faktor-faktor tersebut, faktor mana yang lebih berpengaruh terhadap permintaan pinjaman konsumtif pada Bank Syariah di Indonesia?
1.3Tujuan penelitian
Berdasarkan hal-hal diatas maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pinjaman konsumtif pada Bank Syariah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui tentang faktor mana yang lebih berpengaruh terhadap permintaan pinjaman konsumtif pada Bank Syariah di Indonesia.
1.4Kerangka Pemikiran
1.4.1 Definisi bank syariah
Bank syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berlandaskan etika dan mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
1.4.2 Bank syariah yang terdapat di Indonesia,
- Bank IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999),
- Bank Niaga (akan membuka cabang syariah),
- Bank BNI’46 (telah membuka 5 cabang syariah),
4. Bank BTN (akan membuka cabang syariah),
5. Bank Mega (akan mengkonversikan satu bank konvensional anak perusahaannya menjadi bank syariah),
- Bank BRI (akan membuka cabang syariah),
- Bank Bukopin (tengah melakukan konversi untuk cabang Aceh),
- BPD JABAR (telah membuka cabang syariah di Bandung),
- BPD Aceh (tengan menyiapkan SDM untuk konvensi cabang).
Catatan : Data per November 2000
1.4.3 Pinjaman Konsumtif
Pinjaman konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Kebutuhan konsumsi dibedakan atas kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok atau dasar baik berupa barang, seperti makanan , minuman, pakaian dan tempat tinggal maupun berupa jasa seperti pendidikan dasar dan pengobatan. Adapun kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif dan kualitatif lebih tinggi ataupun lebih mewah dari kebutuhan primer, baik berupa barang seperti makan dan minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah dan kendaraan dan sebagainya, maupun berupa jasa seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan, pariwisata dan hiburan.(M, Syafi’i Antonio, 2001,hal 168)
Sedangkan untuk Syariah yang dikatakan dengan konsumsi adalah permintaan dan produksi adalah penyediaan kebutuhan konsumen yang kini dan yang sebelumnya, merupakan insentif pokok bagi kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya tetapi juga memberi insentif untuk meningkatkannya. Hal ini mengandung arti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah primer. (M. A Mannan,1992 hal 44)
Perbedaan antara ilmu ekonomi modern dan ilmu ekonomi Islam adalah dalam hal konsumsi yaitu terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern.
Aturan pertama mengenai konsumsi terdapat dalam ayat suci Al-Quran :
“ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi ............” (Q.S, Al-Baqarah,2:169)
Pada tabel 1.2 dibawah ini memperlihatkan pembiayaan tanpa bunga yang diberikan oleh bank syariah di Indonesia yang memperlihatkan peningkatan, apalagi dengan pengalamannya dengan sangat minim untuk ukuran bank di Indonesia,
Tabel 1.2
Pinjaman yang diberikan Perbankan Syariah
( Juta Rupiah)
Bulan – tahun | Jumlah |
September 2001 | 1.939.087 |
Desember 2001 | 2.049.793 |
Maret 2002 | 2.153.084 |
Sumber:Bank Indonesia, Biro Perbankan Syariah
1.4.4 Teori Permintaan Uang Keynes
Menurut Keynes teori permintaan uang didorong oleh 3 (tiga) hal yaitu :
1. Motif transaksi (Transaction Motive)
Keynes berpendapat bahwa orang-orang yang memegang uang guna memenuhi dan melancarkan transaksi-transaksi yang dilakukan, dan permintaan akan uang dari masyarakat untuk tujuan ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional dan tingkat bunga. Semakin tinggi pendapatan nasional semakin besar volume transaksi dan semakin besar pula kebutuhan akan uang untuk memenuhi kebutuhan transaksi. Selain itu, Keynes berpendapat bahwa permintaan akan uang untuk tujuan transaksi ini pun tidak merupakan suatu proporsi yang konstan, tetapi dipengaruhi pula oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Tapi, Keynes tidak terlalu menekankan faktor bunga untuk motif ini.
2. Motif berjaga-jaga (Precautionary motive)
Selain untuk keperluan transaksi, permintaan akan uang bertujuan untuk memenuhi kemungkinan yang tidak terduga atau untuk melakukan pembayaran-pembayaran yang diluar transaksi normal. Menurut keynes, permintaan akan uang untuk tujuan berjaga-jaga ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan akan uang untuk transaksi, yaitu terutama dipengaruhi oleh tingkat penghasilan orang tersebut dan mungkin dipengaruhi pula oleh tingkat suku bunga.
3. Motif spekulasi (Speculative motive)
Motif dari pemegang yang ini bertujuan untuk memperoleh “keuntungan” yang bisa diperoleh seandainya si pemegang uang mampu meramal apa yang akan terjadi dengan benar. Keynes tidak membicarakan faktor “uncertainty” dan “expectation” secara umum, tetapi ia membatasi “uncertainty” dan “expectation” pada suatu variabel, yaitu tingkat suku bunga sebagai opportunity cost ditekankan oleh keynes, dimana semakin tinggi tingkat bunga maka semakin rendah permintaan uang untuk spekulasi, begitu juga sebaliknya.
Hal yang berbeda dinyatakan oleh Keynes sehubungan dengan kesimpulan dari Irving fisher di atas. Keynes berpendapat bahwa perubahan tingkat bunga dapat mempengaruhi tingkat harga, meskipun kuantitas uang M masih tetap sebagai variabel kunci. Dengan kata lain, Keynes menyatakan bahwa selain kuantitas M, tingkat bunga bisa mempengaruhi tingkat harga.
Persamaan permintaan akan uang versi Keynes merupakan permintaan akan saldo riil, dimana permintaan seseorang untuk saldo riil tidak berubah apabila harga berubah. Permintaan uang untuk saldo riil/real balances (Md/P) ditentukan dari besarnya pendapatan riil (Y) serta opportunity cost (i). Secara matematis formula Keynes untuk permintaan uang dapat dituliskan sebagai berikut:
Selanjutnya, dengan menarik fungsi preferensi likuiditas untuk velocity PY/M, kita dapat melihat bahwa teori permintaan uang Keynes berdampak bahwa velocity of money tidaklah konstan tetapi sebaliknya berfluktuasi dengan pergerakan tingkat bunga. Persamaan preferensi likuiditas dapat ditulis kembali sebagai berikut:
Dengan mengalikan kedua sisi persamaan di atas dengan Y dan menganggap bahwa Md dapat diganti dengan M karena pada saat pasar uang dalam kondisi ekulibrium jumlah uang M yang dipegang oleh masyarakat sama dengan jumlah permintaan uang Md, maka persamaan untuk velocity of money menjadi
Dari persamaan di atas diketahui bahwa permintaan uang berhubungan secara negatif dengan tingkat bunga; ketika i naik, f(i, Y) turun, oleh karena itu velocity of money juga naik. Dalam perkataan yang lain, kenaikan tingkat bunga mendorong masyarakat untuk memegang real money balances lebih sedikit pada tingkat pendapatan yang tetap. Sehingga tingkat perputaran uang menjadi lebih tinggi. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa tingkat bunga memainkan peranan yang penting untuk mempengaruhi tingkat perputaran uang.
Lebih lanjut, model permintaan uang untuk spekulasi Keynes juga dapat menjelaskan kenapa perputaran uang berfluktuasi. Apa yang akan terjadi terhadap permintaan uang apabila tingkat bunga normal berubah? Misalnya, apa yang akan terjadi jika di masa yang akan datang masyarakat mengharapkan tingkat bunga normal lebih tinggi daripada tingkat bunga normal sekarang? Karena tingkat bunga diharapkan lebih tinggi di masa yang akan datang, maka masyarakat mengharapkan di masa mendatang harga obligasi turun sehingga para pemegang obligasi akan mengalami capital loss. Dengan demikian, memegang uang akan menjadi lebih menarik daripada memegang obligasi. Akibatnya, jumlah permintaan uang naik. Hal ini berarti bahwa f (i, Y) akan naik dan akibatnya velocity of money turun. Jadi, velocity of money akan berubah apabila ekspektasi tentang tingkat bunga normal di masa yang akan datang berubah, dan ketidakstabilan ekspektasi tentang pergerakan tingkat bunga normal di masa yang akan datang akan menyebabkan velocity of money menjadi tidak stabil pula. (Gujarati, 2003)
1.5Metode Penelitian
1.5.1 Metode yang digunakan
Dalam penulisan skripsi ini metode penelitian yang dilakukan adalah melalui pendekatan deskriptif kuantitatif dengan menggunakan data sekunder, yaitu dengan menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara variabel yang diteliti.
Untuk analisa kuantitatif, penulis menggunakan alat bantu ekonometrika. Teknik ekonometrika yang bersifat time series digunakan dalam menguji masing-masing variabel independent terhadap variabel dependent dan bersifat korelasional dengan menggunakan metode regresi sederhana yaitu OLS (Oldinary Least Square).
1.5.2 Sumber data
Dalam hal ini perlu pula dijelaskan bahwa data pendukung untuk analisis dalam skripsi ini adalah data triwulan (tiga bulanan) dari periode1998.2 – Juni 2003.1
Semua data yang digunakan adalah data sekunder yang diterbitkan oleh :
1. Bank Indonesia
2. Biro Pusat Statistik
3. Referensi studi kepustakaan melalui jurnal, artikel, makalah, litelatur dan bahan-bahan lain, perpustakaan UNPAD, koleksi buku kajian ekonomi Islam, Perpustakaan Bank Indonesia, Internet, serta sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
1.5.3 Model ekonometrik
Pada penelitian ini model yang digunakan adalah model dari penelitian Ahmad Kaleem dan Khan ,1990 yaitu tentang penelitian stabilisasi keuangan dan kredit bank syariah (studi kasus di Malaysia).
ln(Credit(isl)/P)t = a+ b1lnYRt + b2lnPt + b3ln(credit (isl)/P)t-1 + b4Dummy+mt
Keterangan :
· Kredit (Isl ) = Kredit Islam (kredit syariah)
· Kredit/P = Kredit riil
· Y = Pendapatan riil
· R = Tingkat suku bunga
· P = Tingkat inflasi
· a, b1, b2, b3, b4 = Parameter
· t = waktu
· m = Unsur gangguan
· Dummy = Akibat krisis yang dtimbulkan
Sedangkan untuk penelitian ini model adopsi dari penelitian Ahmad Kaleem dan Khan dengan menghilangkan variabel Dummy dan formulasinya menjadi :
ln(Credit(isl)/P)t= a+ b1lnYt + b2lnPt + b3ln(credit (isl)/P)t-1+ µ
Keterangan :
· Credit (Isl ) = Pinjaman Konsumtif
· Credit (isl)/P = Pinjaman Konsumtif Riil
· Y = GDP Riil
· P = Indeks Harga Konsumen
· a, b1, b2, b3, b4 = Parameter
· t = waktu
· µ = Unsur gangguan
1.6Metode Analisis (Gujarati,2003)
Sebelum dilakukan analisis ekonomi terhadap pengolahan data berdasarkan model yang telah di bentuk, terlebih dahulu akan dilakukan pengujian dengan menggunakan metode pengujian statistik, antara lain :
1.6.1 Uji Determinasi (R2)
Uji ini menunjukkan besarnya kemampuan variabel bebas (independent variable) untuk menerangkan variabel tidak bebas (dependent variable) secara bersamaan dengan tujuan untuk mengukur kebaikan dan kebenaran hubungan antara variabel dalam model yang digunakan. Nilai R2 berkisar antara 0-1, dimana semakin besar nilainya (mendekati 1) maka semakin dekat hubungan antara variabel tidak bebas dengan variabel bebasnya.
1.6.2 Uji t
Uji t dilakukan untuk menguji tingkat signifikan variabel bebas terhadap variabel tidak bebas melalui koefisien regresi suatu model. Kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengujian dua arah (two tailed significance level). Dengan demikian berlaku pengujian sebagai berikut :
· Jika t stst > t tabel atau t stat < t tabel maka pengaruhnya signifikan
· Jika –t tabel < t stat < +t tabel maka pengaruhnya tidak signifikan
1.6.3 Uji F
Uji f digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap pergerakan variabel dependen dengan nilai koefisien determinan R :
F = ESS / ( k – 1 )
RSS / ( n – k )
Keterangan :
· F Statistik F yang menyebar mengikuti distribusi F dengan derajat bebas k-1 dan n-k
· ESS : jumlah kuadrat yang dijelaskan
· RSS : jumlah kuarat residual
· k – 1 : derajat bebas regresi, dengan k adalah banyaknya parameter dalam model regresi
· n – k : derajat bebas error dimana n adalah banyaknya pengamatan (ukuran sampel)
Seandainya seluruh nilai sebenarnya dari seluruh variabel regresi ini sama dengan nol, maka dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan linear antara variabel bebas dengan variabel tidak bebas dalam model. Sebaiknya jika angka F statistik lebih besar dari nilai kritis pada tingkat signifikansi tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel bebas dalam model tersebut secara bersama-sama akan mempengaruhi variabel tidak bebas pada tingkat signifikan tertentu.
1.6.4 Uji Durbin Watson
Uji statistik Durbin–Watson digunakan untuk mendeteksi masalah autokorelasi (serial korelasi) dalam suatu model regresi linier. Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data time series) atau ruang (seperti dalam data cross sectional). Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : tidak ada autokorelasi dalam model regresi
H1 : terdapat autokorelasi dalam model regresi
Pengujian yang dilakukan untuk menyatakan adanya autokorelasi pada error-terms adalah dengan melihat nilai Durbin-Watson yang diperoleh dengan memperhatikan kriteria-kriteria yang didasarkan pada tabel 1.3 berikut ini.
Tabel 1.3
Batas Kritis Hipotesis untuk DW Statistik
Nilai DW berdasarkan Estimasi Model Regresi | Kesimpulan |
0 < DW < DL DL < DW < DU DU < DW < (4 - DU) (4 - DU) < DW < (4 - DL) (4 - DL) < DW < 4 | H0 ditolak, terdapat autokorelasi positif Daerah Ragu-raguH0 diterima, tidak terdapat autokorelasi Daerah Ragu-ragu H0 ditolak, terdapat autokorelasi negative |
Sumber: Damodar N. Gujarati. 1993. Ekonometrika Dasar. Jakarta : Erlangga.
1.6.5 Run Test
Uji ini dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya masalah autokorelasi dalam model, dengan melakukan perhitungan terhadap pergerakan (positif dan negatif) residual yang diperoleh dari selisih antara nilai aktual dari variabel dependen terhadap estimasinya. Setelah diperoleh data residual, maka ditentukan jumlah nilai residual yang positif (N1), nilai negatif (N2), jumlah/banyaknya run atau perubahan nilai positif dan negatif residual (n) dan jumlah observasinya (N).