BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Peningkatan kesejahteraan dan tingkat harapan hidup akan membuat seseorang berpikir mengenai masa depan dan akan membawa dampak terhadap perlunya penempatan dana yang umumnya disisihkan dari pendapatan, tetapi dalam sesuatu yang diharapkan akan meningkat nilainya di masa datang. Kegiatan menempatkan dana (asset) pada sesuatu (aktiva/aset keuangan) yang diharapkan akan meningkat nilainya di masa mendatang disebut sebagai kegiatan investasi[1]. Ada tiga hal utama yang mendasari perlunya melakukan investasi, yaitu adanya kebutuhan masa depan atau kebutuhan saat ini, adanya keinginan untuk menambah nilai aset dan adanya kebutuhan untuk melindungi nilai aset yang sudah dimiliki, dan karena adanya inflasi.[2] Oleh karena itu, orang berusaha untuk menyisihkan sebagian pendapatannya di masa produktif dan menyimpannya untuk masa depan yang umumnya sudah kurang produktif.
Investasi memiliki arti yang sangat luas dan umum karena berhubungan dengan nilai dari aset baik berupa uang maupun benda. Sekolah sejak TK hingga lulus sarjana adalah sebuah investasi bagi diri pribadi. Jika kita saat ini bisa membaca, menulis, berpikir, mempunyai keahlian, dan memiliki pekerjaan, ini semua merupakan hasil investasi yang kita lakukan tersebut. Selanjutnya, pengertian investasi dalam tulisan ini akan membahas dalam cakupan investasi keuangan (financial investment). Investasi keuangan ini dilakukan di pasar keuangan (financial market) yang pada umumnya dibagi menjadi dua, yaitu pasar uang dan pasar modal.[3] Pasar uang (money market) merupakan pasar untuk surat berharga jangka pendek seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) dan commercial paper sedangkan dalam pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk surat berharga jangka panjang dimana instrumen yang diperjualbelikan seperti saham dan obligasi.
Secara perlahan namun pasti, pasar modal Indonesia bagi dunia usaha, memberikan alternatif pembiayaan yang menarik melalui kemungkinan-kemungkinan menggalang dana dimana perusahaan-perusahaan menjadi institutionalized, atau melembaga secara ekonomi dan sosial (sosial karena perusahaan yang go public disebut public company) dalam sistem ekonomi sementara dari sudut perusahaan, pasar modal membuat perusahaan itu mempunyai public accountability yang menjadikan ia lebih “transparan” (lebih jelas terbaca kegiatan maupun hasil-hasilnya secara finansial) dan terbuka bagi kritik masyarakat secara meluas.[4] Di sisi lain, bagi para pemilik dana, pasar modal memberikan berbagai pilihan investasi. Jumlah dan bentuk pilihan ini semakin banyak mulai dari yang relatif tinggi resikonya sampai pada pilihan-pilihan beresiko rendah. Alternatif yang semula terbatas pada saham dan obligasi, kini menjadi semakin beragam dengan adanya portofolio, yang merupakan cikal bakal terbentuknya reksa dana.
Gambar 1.1
Proses Pembentukan Portofolio Melalui Reksa Dana
Sumber: Eduardus Tandelilin, Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio;
Edisi Pertama, Cetakan Pertama, BPFE, Yogyakarta, 2001, Hal. 21
Lahirnya reksa dana merupakan suatu pemecahan baru terhadap wahana investasi dimana seorang pemodal dapat mengimplementasikan prinsip diversifikasi, “don’t put all your eggs into one basket”, tanpa harus mempunyai modal yang relatif besar, pengetahuan yang cukup dan tidak perlu mengorbankan waktu untuk memilih dan mengawasinya terus-menerus untuk memperhatikan kondisi dan perkembangan pasar. Per definisi, Reksa Dana (mutual fund) adalah institusi jasa keuangan yang menerima uang dari para pemodal yang kemudian menginvestasikan dana tersebut dalam portofolio yang terdiversifikasi pada efek/sekuritas.[5]
Reksa Dana sendiri sebagai produk adalah cukup sederhana dan menarik. Sederhana karena produk merupakan dalam bentuk sertifikat yang terdiri dari berbagai instrumen pasar modal dan pasar uang. Pengetahuan yang baik mengenai kondisi perusahaan-perusahaan akan menjadikan sertifikat reksa dana sangat menguntungkan bagi calon investor yang tidak harus memilih hanya saham-saham tertentu. Begitupun, dalam situasi bursa efek yang berkepanjangan mengalami depresi, banyak sekali kalangan yang melihat reksa dana sebagai “resep” untuk membuat bursa menjadi bullish kembali.[6]
Tabel 1.1
Perkembangan Industri Reksa Dana Periode 1996-2004
Tahun | Jumlah Reksa Dana | Nilai Aktiva Bersih (dalam triliun rupiah) | Jumlah Pemegang Unit Penyertaan |
1996 | 25 | 2.78 | 2.441 |
1997 | 77 | 20.23 | 20.234 |
1998 | 81 | 2.99 | 15.482 |
1999 | 81 | 4.97 | 24.127 |
2000 | 94 | 39.49 | 39.487 |
2001 | 108 | 51.73 | 51.723 |
2002 | 131 | 46.60 | 125.820 |
2003 | 186 | 72.83 | 174.892 |
2004 | 240 | 103.50 | 275.357 |
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Fenomena maraknya produk reksa dana ini tidak bisa ditutup-tutupi dan yang paling menonjol dari perkembangan industri reksa dana adalah semakin banyaknya jumlah produk reksa dana. Jadi, bukan tidak mungkin krisis perbankan justru bukan bencana bagi industri reksa dana malah sebaliknya merupakan blessing in disguise.[7] Data memperlihatkan sejak 1996 sampai 2004 produk reksa dana tumbuh pesat dan terus mengalami pertumbuhan yang signifikan. Setiap tahun rata-rata muncul lebih dari 10 reksa dana baru yang akan semakin memberikan banyak pilihan investasi bagi masyarakat pemodal.
Jenis reksa dana itu sendiri cukup banyak, seperti reksa dana pendapatan tetap yang 80 persen portofolio investasinya pada efek yang berbentuk surat utang seperti obligasi, reksa dana pasar uang yang portofolio investasinya pada jenis instrumen pasar uang seperti SBI, reksa dana saham yang portofolio investasinya terdiri dari saham dan reksa dana campuran yang instrumen investasinya bisa berbentuk saham dan obligasi atau dikombinasikan dengan instrumen lainnya.
Tabel 1.2
Posisi Jenis Reksa Dana Per 22 Maret 2005
No | Posisi Jenis Reksa Dana | Nilai Aktiva Bersih | % |
1 | Reksa Dana Pendapatan Tetap | 85,672,094,098,708.00 | 79.88% |
2 | Reksa Dana Pasar Uang | 9,644,655,481,991.00 | 8.99% |
3 | Reksa Dana Campuran | 7,582,451,326,817.00 | 7.07% |
4 | Reksa Dana Saham | 4,356,112,128,084.00 | 4.06% |
Total | 107,255,313,035,600.00 |
|
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Per 22 Maret 2005 posisi Nilai Aktiva Bersih reksa dana semakin memperlihatkan peningkatan, meski pada awal tahun 2005 industri reksa dana di Indonesia di tandai dua peristiwa penting. Pertama terjadinya kasus manipulasi Reksa Dana Prudence oleh Bank Global yang sedikit banyak berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat terutama menyangkut fungsi perbankan sebagai channel of distribution produk reksa dana di Indonesia, yang lainnya menyangkut pemberlakuan metode penilaian portofolio dengan menggunakan metode marked to market.[8]
Semangat investasi pada reksa dana adalah market-based return yang berarti mekanisme pasarlah yang akan menentukan besar kecilnya rate of return yang akan diperoleh oleh seorang investor.[9] Hal tersebut menjadikan masyarakat mulai menyadari bahwa tingkat pengembalian (yield) investasi di reksa dana ternyata lebih tinggi dari investasi deposito atau produk perbankan lainnya dimana tingkat pengembalian industri reksa dana ini didukung oleh faktor makroekonomi seperti pertumbuhan GDP, kondisi moneter, suku bunga SBI, nilai tukar rupiah dan laju inflasi. Akan tetapi, faktor makroekonomi jugalah yang membuat kinerja reksa dana terpuruk.
Tabel 1.3
Tingkat Pengembalian (Yield) Berbagai Instrumen Investasi
dan Inflasi Periode 1996-2004 (dalam persen )
Tahun |
Inflasi |
Investasi Saham |
Dollar AS | Suku Bunga | Reksa Dana | |||
Deposito | Pasar Uang | Pendapatan Tetap | Campuran | Saham | ||||
1996 | 6.47 | 24.05 | 3.25 | 17.03 | 15.62 | 2.09 | 8.38 | 5.43 |
1997 | 11.05 | -36.98 | 95.13 | 23.92 | 30.52 | -1.87 | -16.74 | -36.92 |
1998 | 77.63 | -0.91 | 72.58 | 49.23 | 64.08 | -0.04 | 27.64 | 39.42 |
1999 | 2.01 | 70.06 | -11.53 | 25.74 | 23.61 | 31.38 | 48.08 | 85.28 |
2000 | 9.35 | -38.50 | 35.14 | 12.46 | 10.73 | 9.99 | -25.25 | -40.16 |
2001 | 12.55 | -5.83 | 8.39 | 13.51 | 17.74 | 6.37 | 4.40 | -0.80 |
2002 | 10.03 | 8.39 | -13.94 | 12.37 | 13.73 | 12.71 | 15.14 | 10.57 |
2003 | 4.95 | 62.82 | -5.31 | 10.59 | 9.81 | 11.85 | 33.13 | 54.14 |
2004 | 6.40 | 41.98 | 3.50 | 6.50 | 7.80 | 11.00 | 37.50 | 54.14 |
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Sepanjang 1996 sampai 2004 tingkat pengembalian rata-rata reksa dana hanya kalah oleh produk investasi saham (indeks pasar). Memang perlu disadari bahwa investasi pada saham jauh lebih rumit dan ada banyak faktor yang perlu dimiliki dan dilakukan oleh investor saham diantaranya membutuhkan dana yang relatif besar, informasi, analisis, monitoring, serta pengambilan keputusan. Dana yang relatif besar untuk membeli saham di bursa saham dibutuhkan, karena investor harus terlebih dahulu menjadi nasabah salah satu perusahaan broker saham yang umumnya meminta investor menyetor dana minimum Rp. 25.000.000,- dari transaksi investasi yang akan dilakukan. Di samping itu, dana yang relatif besar juga dibutuhkan untuk melakukan diversifikasi dengan membeli beberapa jenis saham untuk menghindari resiko kerugian total, misalnya “kalau memilih saham dalam sebuah industri, ambillah dua saham tetapi bukan sembarang dua, ambillah yang terbaik dan terburuk”[10]. Adanya kendala dari faktor-faktor tersebut, reksa dana saham muncul menjadi pilihan tepat karena umumnya pemodal mengalami kesulitan untuk melakukan investasi sendiri pada instrumen saham tersebut. Di lain pihak, catatan historis menunjukkan, dalam jangka panjang, investasi pada reksa dana saham dapat memberikan hasil yang lebih baik.[11]
Sebelum terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, perusahaan lebih banyak mengandalkan hutang bank untuk membiayai investasi mereka. Hal ini terlihat dari porsi hutang terhadap ekuitas (debt to equity ratio) dalam struktur keuangannya banyak yang lebih besar dari satu, sementara saat ini banyak bank-bank yang melakukan reposisi strategi ekspansi kredit mereka dari corporate lending menjadi retail lending yang menyebabkan pasokan corporate loan menjadi terbatas.[12] Namun, dengan adanya sumber dana dari masyarakat investor melalui reksa dana saham, emiten perusahaan akan lebih mudah menjual sahamnya, atau menerbitkan saham baru (right issue) untuk membiayai kegiatan investasinya tanpa mengandalkan pihak perbankan. Di lain sisi, investor pun mendapatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatan perusahaan tersebut. Di sini terlihat bahwa melalui reksa dana saham terjadi simbiose mutualisme antara investor dengan perusahaan.
Reksa Dana saham tidak hanya memberikan manfaat secara langsung kepada emiten maupun investor tetapi juga secara tidak langsung akan memberikan manfaat bagi industri pasar modal dan bagi pertumbuhan ekonomi karena turut menjadi salah satu penopang berputarnya roda perekonomian, yakni sebagai intermediary (perantara) yang menyediakan sumber dana bagi kegiatan investasi. Keberhasilan penggalangan dana masyarakat untuk tujuan investasi ini pada akhirnya akan berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional yang berorientasi pada penggunaan sumber dana dalam negeri. Hal ini akan dapat memperbaiki struktur pembiayaan nasional yang selama ini sangat tergantung pada pinjaman luar negeri.
Berdasarkan ilustrasi di atas dan dengan memperhatikan keadaan ekonomi yang terus berkembang, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai:
“ANALISIS PENGARUH SBI, JUMLAH UANG BEREDAR, INFLASI DAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP KINERJA REKSA DANA
SAHAM DI INDONESIA PERIODE 1999.07-2004.11”
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan deskripsi yang dituangkan di atas, penulis sangat tertarik untuk mengamati dan mengembangkan lebih lanjut mengenai variabel-variabel makroekonomi Indonesia dalam kaitannya dengan kinerja reksa dana saham. Adapun hal-hal yang ingin diketahui adalah:
1. Seberapa besar pengaruh variabel SBI, jumlah uang beredar, inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap kinerja reksa dana saham di Indonesia selama periode Juli 1999-November 2004?
2. Variabel apa yang paling besar mempengaruhi kinerja reksa dana saham di Indonesia selama periode Juli 1999-November 2004?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis dari penelitian ini, dengan berdasarkan masalah-masalah yang tercantum dalam identifikasi masalah adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis seberapa besar pengaruh variabel SBI, jumlah uang beredar, inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap kinerja reksa dana saham di Indonesia selama periode Juli 1999-November 2004.
2. Untuk mengetahui variabel apa yang paling besar mempengaruhi kinerja reksa dana saham di Indonesia selama periode Juli 1999-November 2004.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai persyaratan menempuh gelar S-1, dan sebagai tambahan pengetahuan serta referensi bagi pihak akademis maupun umum yang hendak melakukan penelitian yang lebih mendalam, selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi investor yang ingin menanamkan dananya pada pasar modal Indonesia sebagai alternatif investasi.
1.4 Kerangka Pemikiran
1.4.1 Asset Determination
Aset merupakan sesuatu yang menyediakan aliran nilai moneter terhadap pemiliknya[13]. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk membeli suatu aset keuangan yakni :[14]
1. Kekayaan (Wealth), yaitu total keseluruhan sumber dana yang dimiliki seorang individu.
2. Harapan hasil (Expected Return), yaitu pengembalian yang diharapkan dengan memegang aset tersebut.
3. Resiko (Risk), yaitu derajat ketidakpastian yang dihubungkan dengan tingkat pengembalian dari suatu aset secara relatif terhadap aset-aset lainnya.
4. Likuiditas (Liquidity), yaitu seberapa cepat dan mudah suatu aset diubah dalam bentuk uang tunai (cash).
Berdasarkan pertimbangan dari faktor-faktor tersebut, para investor tertarik untuk menanamkan uangnya di pasar modal melalui reksa dana.
Aktivitas beragam yang mewarnai hirup pikuk pasar modal dapat dikelompokkan atas dua aktivitas utama yang dikenal dengan istilah pasar perdana dan pasar sekunder. Istilah pasar perdana mengacu kepada serangkaian kegiatan yang dilakukan perusahaan dalam rangka menjual sebagian sahamnya kepada publik atau yang sering disebut dengan istilah go public atau bahasa resminya adalah penawaran umum atau Initial Public Offering (IPO). Dalam proses penawaran umum, emiten atau perusahaan yang akan go public baru dapat menawarkan saham-sahamnya kepada publik setelah mendapat pernyataan efektif dari BAPEPAM. Puncak dari kegiatan penawaran umum adalah ketika saham-sahamnya dicatatkan di bursa efek. Sebagai kelanjutan dari pasar perdana, dimana saham-saham telah ditawarkan kepada publik dan dicatatkan di bursa efek, pasar sekunder mengacu kepada kegiatan jual beli saham setelah saham tersebut dicatatkan di bursa efek.
Pasar modal memiliki peran besar bagi perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi sekaligus, fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi ekonomi karena pasar modal menyediakan fasilitas atau wahana yang mempertemukan dua kepentingan yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (issuer). Pasar modal dikatakan memiliki fungsi keuangan karena pasar modal memberikan kemungkinan dan kesempatan memperoleh imbalan (return) bagi pemilik dana, sesuai dengan karakteristik investasi yang dipilih.
Dewasa ini perkembangan pasar modal di Indonesia sangat pesat. Setiap hari senantiasa terdengar pemberitaan situasi bursa efek yang saling berkaitan dengan kondisi perekonomian, sosial, dan politik negara. Hal ini menunjukkan bahwa pasar modal dengan bursa efek yang dinamis tidak akan pernah ketinggalan zaman. Bahwa keadaan pasar modal ini senantiasa diliputi silih berganti oleh keadaan bullish dan bearish.[15] Keadaan-keadaan itu yang turut membuat pasar modal berkembang. Adalah sulit atau tidak mungkin membayangkan pasar modal berkembang pesat jika dalam suatu negara berlangsung perkembangan makroekonomi sebagai berikut:[16]
- Pertumbuhan ekonomi yang negatif atau stagnan.
- Tingkat inflasi yang double digit atau sampai dengan hyper inflation.
- Cadangan devisa yang amat tipis yang disertai defisit neraca transaksi berjalan yang amat tinggi.
- Perolehan ekspor yang rendah dan kebutuhan impor yang tidak bisa dipenuhi lagi karena terbatasnya devisa yang tersedia.
Dengan demikian kondisi pertumbuhan ekonomi tinggi merupakan kekuatan yang mendukung prospek reksa dana saham di Indonesia, selain itu faktor eksternal berupa stabilnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar AS. Oleh karena itu, penulis memfokuskan dalam penelitian ini terhadap variabel-variabel makroekonomi yang mempengaruhi kinerja reksa dana saham yaitu tingkat suku bunga SBI, jumlah uang beredar, inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
1.4.2 Pengertian Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Hubungannya dengan Kinerja (Nilai Aktiva Bersih) Reksa Dana Saham
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) merupakan salah satu instrumen hutang (debt instrument) karena aset ini mengharuskan penerbitnya melakukan pembayaran kembali dalam jumlah tertentu yang terdiri dari nilai pokok ditambah bunga. Tingkat suku bunga SBI ditentukan pada pelelangan di kantor pusat Bank Indonesia pada hari Rabu setiap minggunya.
Sertifikat Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap kinerja reksa dana saham (NAB) antara lain:[17]
- Jika tingkat suku bunga SBI mengalami kenaikan, tingkat suku bunga deposito berjangka juga akan naik sehingga penanaman modal dalam bentuk deposito berjangka menjadi lebih menarik, di sisi lain tingkat bunga pinjaman perbankan juga akan naik yang akan menyebabkan turunnya pendapatan perusahaan karena peningkatan jumlah pembayaran bunga hutang sehingga penanaman modal pada instrumen saham justru akan berkurang, akibatnya NAB reksa dana saham juga akan mengalami penurunan.
- Jika tingkat suku bunga SBI mengalami penurunan, SBI akan menjadi pilihan investasi yang kurang menarik dibandingkan instrumen investasi lain seperti saham atau obligasi sehingga permintaan instrumen investasi saham mengalami kenaikan akibatnya harga saham di bursa naik yang akhirnya akan meningkatkan NAB reksa dana saham.
1.4.3 Pengertian Jumlah Uang Beredar dan Hubungannya dengan Kinerja (Nilai Aktiva Bersih) Reksa Dana Saham
Konsep uang beredar dapat ditinjau dari dua sisi, penawaran dan permintaan. Interaksi antara keduanya menentukan jumlah uang beredar di masyarakat. Uang beredar ini tidak hanya dikendalikan oleh bank sentral semata, namun dalam kenyataannya juga ditentukan oleh pelaku ekonomi yaitu bank-bank umum (sektor perbankan) dan masyarakat umum. Perilaku dan reaksi kedua pelaku ini ikut menentukan berapa jumlah uang beredar pada suatu saat, walaupun secara umum memang benar otoritas moneter yang merupakan penentu utamanya.
Definisi uang beredar terdiri dari dua bagian. Pertama, uang beredar dalam arti sempit (narrow money) yang disimbolkan dengan M1[18], yaitu penjumlahan uang kartal dan uang giral (currency plus demand deposits). Uang kartal adalah uang tunai yang terdiri dari uang kertas dan logam (yang dikeluarkan oleh pemerintah atau bank sentral) yang langsung dapat digunakan oleh masyarakat umum. Uang giral adalah seluruh nilai saldo rekening koran (giro) yang dimiliki masyarakat pada bank-bank umum. Saldo ini merupakan bagian dari uang yang beredar karena sewaktu-waktu bisa digunakan oleh pemiliknya untuk memenuhi kebutuhannya, seperti halnya uang kartal. Jadi, stok uang beredar (M1) adalah jumlah dari uang kartal (currency) dan uang giral (demand deposit). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:
M1 = C + D ........(1.1)
Keterangan:
C = Currency (uang kartal)
D = Demand Deposits (uang giral)
Kedua, uang beredar dalam arti luas (broad money) yang disimbolkan dengan M2, yaitu penjumlahan antara uang beredar dalam arti sempit (M1) dengan deposito berjangka (time deposits) dan tabungan (savings) – baik dalam bentuk Rupiah maupun valuta asing – yang disimpan di bank-bank. Kedua bentuk simpanan ini dapat diubah fungsinya menjadi uang tunai untuk melakukan transaksi.
M2 = M1 + TD + SD ........(1.2)
Keterangan:
TD = Time Deposits (deposito berjangka)
SD = Saving Deposits (saldo tabungan)
Pada penelitian ini definisi mengenai jumlah uang beredar menggunakan pengertian uang beredar dalam arti luas (M2). Di negara-negara berkembang, peningkatan jumlah uang beredar diantaranya diakibatkan oleh defisit anggaran pemerintah. Defisit ini jika dibiayai dengan mencetak uang dapat mengakibatkan ekspansi jumlah uang beredar. Jumlah uang beredar dapat mempengaruhi Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana. Pada saat terjadi kenaikan jumlah uang beredar, masyarakat dianggap memiliki proporsi lebih untuk berinvestasi sehingga permintaan instrumen investasi saham mengalami kenaikan yang berarti akan meningkatkan NAB reksa dana saham, dan sebaliknya.
1.4.4 Pengertian Inflasi dan Hubungannya dengan Kinerja (Nilai Aktiva Bersih) Reksa Dana Saham
Secara umum tingkat harga yang cenderung stabil akan memberikan kepastian ekonomi dalam negeri dan dapat mendorong sektor produksi untuk menggerakkan perekonomian. Inflasi adalah kenaikan tingkat harga-harga umum secara terus-menerus yang mempengaruhi individu, perusahaan dan pemerintah.[19] Kenaikan harga yang terjadi tidak hanya pada satu atau dua jenis barang saja dan bukan disebabkan oleh suatu periode waktu tertentu. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dikatakan sebagai inflasi, kecuali jika kenaikan tersebut meluas dan mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. Kenaikan harga karena musiman atau yang terjadi sekali dan tidak memiliki pengaruh lanjutan juga tidak disebut dengan inflasi.
Tekanan inflasi ada yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Tekanan dari dalam negeri dapat diakibatkan oleh adanya gangguan dari sisi permintaan dan penawaran. Gangguan dari sisi permintaan dapat terjadi jika otoritas moneter menerapkan kebijakan uang longgar sehingga terjadi peningkatan jumlah uang beredar. Inflasi dari sisi permintaan adalah terjadinya kenaikan tingkat harga karena adanya permintaan agregat dalam kondisi full employment yang menyebabkan terjadinya kesenjangan permintaan. Gangguan dari sisi penawaran dapat timbul apabila terjadi bencana alam, musim kering yang mengakibatkan gagal panen, adanya kerusuhan, kenaikan harga BBM, gangguan distribusi dan sebagainya. Inflasi ini dapat juga terjadi karena tingkat upah dalam perekonomian meningkat lebih cepat dari output per kapita.
Indikator inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia. IHK merupakan pengukur perkembangan daya beli Rupiah yang dibelanjakan untuk membeli barang dan jasa dari bulan ke bulan. Rumus perhitungan inflasi sebagai berikut:
Kenaikan inflasi akan menyebabkan harga-harga meningkat (dalam hal ini instrumen investasi saham). Karena sebagian besar dari pemilik unit penyertaan di reksa dana saham adalah investor institusi dan investor dari masyarakat golongan menengah ke atas, maka kenaikan inflasi ini akan meningkatkan NAB reksa dana saham, dan sebaliknya.
1.4.5 Pengertian Nilai Tukar Rupiah dan Hubungannya dengan Kinerja (Nilai Aktiva Bersih) Reksa Dana Saham
Nilai tukar/kurs (exchange rate) adalah nilai suatu mata uang dimana negara-negara melakukan pertukaran di pasar dunia. Nilai tukar rupiah terutama terhadap dollar AS merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi perkembangan dunia usaha. Fluktuasi nilai tukar yang berlebihan (over fluctuation) merupakan kendala operasional yang paling ditakuti oleh para pengusaha, karena di dalam dunia usaha sangat diperlukan kestabilan dan kepastian dalam perencanaan usaha dan investasi.
Nilai tukar mata uang suatu negara dikatakan mengalami apresiasi jika nilai mata uangnya meningkat relatif terhadap mata uang negara lain dan dikatakan depresiasi jika nilai mata uangnya menurun relatif terhadap mata uang negara lain.
Apresiasi rupiah terhadap mata uang dollar AS maka masyarakat bisa melihat bahwa mata uang rupiah sebagai salah satu indikator makroekonomi negara mengalami perbaikan. Hal ini akan meningkatkan ekspektasi dalam berinvestasi sehingga meningkatkan permintaan terhadap reksa dana saham, akibatnya NAB reksa dana saham juga akan meningkat, dan sebaliknya.
1.5 Metode Penelitian
Sumber data berasal dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Bank Indonesia. Data-data tersebut diolah kembali oleh penulis sesuai dengan kebutuhan model yang digunakan. Pengolahan data, estimasi dan pengujian model dilakukan dengan menggunakan program Eviews 3.1 dan Microsoft Excel.
1.5.1 Ruang Lingkup Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data pada rentang waktu antara bulan Juli 1999 sampai bulan November 2004 dengan pertimbangan bahwa mulai tahun 1999 industri reksa dana mulai tumbuh kembali setelah sempat hampir mengalami stagnansi ketika terjadinya krisis ekonomi.
1.5.2 Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan teknik pengolahan data dengan menggunakan Panel Data Regression Model dengan metode Generalized Least Squares (GLS) dan menggunakan white heteroscedasticity-consistent standard errors and covariance untuk mengatasi masalah-masalah yang mungkin muncul dalam pengolahan data. Regresi dengan metode panel data merupakan data gabungan antara data time series dan cross section.
Masalah heteroskedastisitas dalam data panel bisa menyangkut groupwise heteroscedasticity, yaitu varians dari setiap unit bisa berbeda dalam satu observasi, atau dapat pula varians dari semua unit cross section berubah pada setiap observasi, sedangkan masalah autokorelasi yang dapat muncul dalam data panel menyangkut masalah serial korelasi, yaitu adanya korelasi dalam gangguan (disturbance) antar unit-unit cross section, atau juga adanya korelasi dalam gangguan antar periode observasi (antar waktu). Akan tetapi, karena regresi panel data ini menggunakan metode GLS dengan menggunakan white heteroscedasticity-consistent standard errors and covariance maka masalah heteroskedastisitas diasumsikan sudah tidak ada, sedangkan masalah autokorelasi dalam hal ini bisa dikurangi, walaupun tidak dapat dihilangkan sepenuhnya.
Dari data yang diperoleh dan dikumpulkan, panel yang terjadi pada penelitian ini adalah balanced panel (panel seimbang) dimana setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama. Untuk mengestimasi model dan proses penghitungan, pada penelitian ini akan digunakan dua pendekatan dari model regresi panel data yaitu pendekatan Fixed Effect atau Least-Squares Dummy Variable Regression (LSDVR) Model dan pendekatan Random Effect.
Pilihan untuk menggunakan Fixed Effect atau Random Effect dapat ditinjau dari beberapa kemungkinan, antara lain:[20]
1. Jika T (jumlah dari time series data) besar dan N (jumlah cross sectional unit) kecil, kemungkinan terdapat perbedaan kecil pada nilai dari parameter yang diestimasi dengan FEM dan REM. Dalam kasus ini FEM menjadi pilihan yang lebih baik.
2. Ketika N besar dan T kecil, estimasi yang dihasilkan oleh kedua metode ini dapat berbeda secara signifikan. Jika kita yakin bahwa secara individu atau secara cross section, satuan pada sampel penelitian tidak memberikan gambaran random dari sampel yang lebih besar, maka metode FEM lebih sesuai dalam kasus ini. Jika satuan cross section pada sampel dianggap memberikan gambaran random, maka metode REM akan lebih sesuai, pada kasus ini asumsi secara statistik menjadi tidak bersyarat.
3. Jika komponen kesalahan individu ei dan satu atau lebih dari regressor terhubung maka estimator REM menjadi bias, dimana yang diperoleh dari FEM tidak akan bias.
4. Jika N besar dan T kecil dan jika asumsi berdasarkan REM (dimana data ditelaah secara random) maka estimator REM lebih efisien dari estimator FEM.
Berdasarkan asumsi diatas, penelitian ini memenuhi syarat pertama yaitu jumlah T (65 observasi) lebih besar daripada jumlah N (5 unit), maka penelitian ini menggunakan metode/estimator fixed effect.
1.5.3 Model Ekonometrik
Model yang digunakan merupakan modifikasi dari penelitian Sudjono (2002). Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana saham dipengaruhi oleh kondisi perekonomian suatu negara yang digambarkan dalam variabel-variabel makroekonomi, yang diformulasikan dalam bentuk persamaan linier berganda sebagai berikut:
LNNABit = β0 + β1SBIit + β2LNM2it + β3INFit + β4LNERit + et ........(1.4)
Keterangan:
LNNABit = Nilai Logaritma dari Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana saham pada periode t
SBIit = Tingkat suku bunga 1 bulan Sertifikat Bank Indonesia pada periode t (%)
LNM2it = Nilai Logaritma dari jumlah uang beredar (M2) pada periode t
INFit = Tingkat inflasi bulanan pada periode t (%)
LNERit = Nilai Logaritma dari nilai tukar nominal rupiah terhadap dollar AS pada periode t
et = Error term pada periode t
i = Reksa Dana Saham (Bahana Dana Prima, BNI Berkembang, Danareksa Mawar, Panin Dana Maksima, Phinisi Dana Saham)
t = Periode (bulan)
1.5.4 Operasionalisasi Variabel
Secara spesifik, data dari masing-masing variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
· Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Saham
Data Nilai Aktiva Bersih pada akhir periode bulanan dari lima produk reksa dana saham yang digunakan di dapat dari Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), dihitung dalam satuan milyar rupiah.
§ Tingkat Suku Bunga 1 bulan Sertifikat Bank Indonesia
Data tingkat suku bunga 1 bulan SBI yang digunakan di dapat dari Statistik Ekonomi Moneter Indonesia pada Bank Indonesia, dihitung dalam persen.
§ Jumlah Uang Beredar/M2
Data jumlah uang beredar/M2 pada akhir periode bulanan yang digunakan di dapat dari Statistik Ekonomi Moneter Indonesia pada Bank Indonesia, dihitung dalam satuan milyar rupiah.
§ Tingkat Inflasi
Data tingkat inflasi bulanan yang digunakan di dapat dari Statistik Ekonomi Moneter Indonesia pada Bank Indonesia, dihitung dalam persen.
§ Nilai Tukar Nominal Rupiah Terhadap Dollar AS
Data nilai tukar nominal rupiah terhadap dollar AS pada akhir periode bulanan yang digunakan di dapat dari Statistik Ekonomi Moneter Indonesia pada Bank Indonesia.
1.5.5 Pengujian Statistik
1.5.5.1 Uji Koefisien Determinasi R2
Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan antara variabel independen yang digunakan dengan variabel dependen. R2 adalah angka yang menunjukkan besarnya proporsi atau persentase variasi variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel dependen secara bersama-sama. Besarnya R2 berada di antara 0 dan 1 (0 < R2 < 1). Hal ini menunjukkan bahwa semakin mendekati 1 nilai R2 berarti dapat dikatakan bahwa model tersebut baik, karena semakin dekat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependennya, demikian pula sebaliknya. Dengan kata lain, bila nilai R2 semakin mendekati satu berarti variasi variabel dependen hampir sepenuhnya dipengaruhi dan dijelaskan oleh variabel independen yang ada dalam model, dan sebaliknya.
1.5.5.2 Uji Keseluruhan (F-Stat)
Pengujian F-statistik digunakan untuk menguji signifikansi dari semua variabel bebas sebagai suatu kesatuan, atau mengukur pengaruh variabel bebas secara bersama-sama. Dengan kata lain uji F-statistik digunakan untuk mengetahui apakah secara keseluruhan koefisien regresi signifikan dalam menentukan nilai variabel tak bebasnya.
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : bi = 0, i = 1, 2, 3, …, n ; semua variabel bebas secara bersama-sama tidak memberikan pengaruh terhadap variabel tidak bebasnya secara tidak signifikan.
H1 : bi ¹ 0, i = 1, 2, 3, …, n ; setidak-tidaknya ada satu variabel bebas yang memberikan pengaruh terhadap variabel tidak bebasnya secara siginifikan.
Pengujian ini akan menghasilkan 2 kesimpulan yaitu:
1. H0 diterima jika F-stat < F-tabel, yang berarti semua variabel bebas secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel tidak bebasnya secara tidak signifikan.
2. H0 ditolak jika F-stat ³ F-tabel, yang artinya setidak-tidaknya ada satu variabel bebas yang mempengaruhi variabel tidak bebasnya secara signifikan.
1.5.5.3 Uji Parsial (T-Stat)
Uji t digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas (independent variable) mempunyai pengaruh terhadap variabel tak bebas (dependent variable) secara parsial, maka dilakukan uji t dengan tingkat signifikansi 90%, 95% dan 99%. Caranya adalah dengan membandingkan nilai t-Statistik dengan nilai t-tabel. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesis:
H0 : b = 0 ; masing-masing variabel bebas tidak mempengaruhi variabel tidak bebasnya secara tidak signifikan
H1 : b ¹ 0 ; masing-masing variabel bebas mempengaruhi variabel tidak bebasnya secara signifikan
Dengan menguji dua arah dalam tingkat signifikansi = a, dan derajat kebebasan (degree of freedom, df) = n – k, dimana n = jumlah observasi dan k = jumlah parameter termasuk konstanta, maka pengujian ini akan menghasilkan 2 kesimpulan yaitu:
1. H0 : diterima bila -(t-tabel) £ (t-stat) £ (t-tabel) yang berarti pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel tidak bebas adalah tidak signifikan
2. H0 : ditolak bila (t-stat) < -(t-tabel) atau (t-stat) > (t-tabel) yang berarti pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel tidak bebas adalah signifikan.
1.5.6 Pengujian Masalah yang terjadi dalam Regresi Linier
1.5.6.1 Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah adanya hubungan linier yang sempurna atau pasti diantara variabel-variabel bebas yang terdapat dalam suatu model. Multikolinearitas di sini menunjukkan adanya derajat kolinearitas yang tinggi di antara variabel-variabel bebas. Adanya multikolinearitas mengakibatkan penaksir-penaksir kuadrat terkecil, menjadi tidak efisien. Oleh karena itu, masalah multikolinearitas di anggap sebagai suatu kelemahan (black mark) yang mengurangi keyakinan dalam uji signifikansi konvensional terhadap penaksir-penaksir kuadrat terkecil. Gejala ini menunjukkan R2 hasil regresi model yang tinggi, tetapi sedikit atau bahkan tidak ada variabel bebas yang signifikan pada uji t-stat. Ciri yang paling mendukung penjelasan adanya gejala multikolinearitas dalam model adalah nilai koefisien korelasi yang besarnya lebih dari 0,8 dimana hal tersebut menunjukkan adanya multikolinearitas yang serius.
1.5.6.2 Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah adanya korelasi diantara data observasi yang menggunakan data time series, dimana terdapat hubungan antara variabel residu atau disturbance yang menunjukkan adanya siklus, sehingga variabel tidak bersifat acak lagi tetapi memiliki pola tertentu. Adanya autokorelasi akan menimbulkan masalah serius yang menyebabkan penaksiran yang diperoleh bias. Pengujian autokorelasi dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.5.6.2.1 Uji Statistik Durbin-Watson
Uji statistik Durbin-Watson digunakan untuk mendeteksi masalah autokorelasi (serial korelasi) dalam suatu model regresi linier. Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deretan waktu) atau ruang (seperti dalam data cross sectional)[21].
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya autokorelasi antara lain :
1. Data observasi dimulai pada suatu kondisi kelesuan sehingga ada data observasi selanjutnya yang menaik jelas dipengaruhi oleh data sebelumnya, sehingga ada kemungkinan terjadi sifat interdependensi antara data observasi tersebut.
2. Tidak dimasukkannya variabel bebas tertentu yang sebetulnya turut mempengaruhi variabel tak bebas.
3. Bentuk model yang tidak tepat.
4. Fenomena Cobweb, terutama untuk penawaran produk pertanian dimana penawaran bereaksi terhadap harga dengan keterlambatan satu periode waktu.
5. Keterlambatan (lag).
6. Manipulasi data.
Akibat dari adanya autokorelasi :
1. Varians residual akan diperoleh lebih rendah daripada semestinya sehingga mengakibatkan R2 lebih tinggi dari seharusnya.
2. Pengujian hipotesis dengan menggunakan t–statistik dan F–statistik akan menyesatkan.
Cara mendeteksi masalah ini adalah :
1. Metode grafik, dengan memetakan residual terhadap waktu. Jika membentuk pola tertentu, maka dapat dikatakan terdapat autokorelasi dalam model, sebaliknya jika pola yang dihasilkan acak, tidak terdapat autokorelasi.
2. Uji statistik Durbin-Watson, dengan membandingkan DW statistik yang diperoleh dari hasil regresi degan DW tabel, yang terdiri dari DW maksimum (DWU) dan DW minimum (DWL).
Hipotesis :
H0 : tidak ada autokorelasi dalam model regresi
H1 : terdapat autokorelasi dalam model regresi
Tabel 1.4
Batas Kritis Hipotesis untuk DW Statistik
Nilai DW berdasarkan Estimasi Model Regresi | Kesimpulan |
0 < DW < DWL DWL < DW < DWU DWU < DW < (4 - DWU) (4 - DWU) < DW < (4 - DWL) (4 - DWL) < DW < 4 | H0 ditolak, terdapat autokorelasi positif Daerah Ragu-raguH0 diterima, tidak terdapat autokorelasi Daerah Ragu-ragu H0 ditolak, terdapat autokorelasi negative |
Sumber: Damodar Gujarati, Ekonometrika Dasar, Terjemahan: Sumarno Zain, Erlangga, 1999,
Jakarta, Hal 217-218
Jika hasil dari uji Durbin-Watson memberikan hasil yang tidak jelas, maka dilakukan run test terhadap persamaan tersebut.
1.5.6.2.2 Run Test
Uji run ini dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya masalah serial korelasi atau autokorelasi dalam model, dengan melakukan perhitungan terhadap pergerakan (positif atau negarif) residual yang diperoleh dari selisih antara nilai aktual dari variabel dependent terhadap nilai estimasinya. Setelah diperoleh data residual, maka ditentukan jumlah nilai residual yang positif (N1), nilai residual negatif (N2), jumlah/banyaknya run atau perubahan nilai positif dan negatif residual (n) dan jumlah observasinya (N).
Dari hasil regresi diperoleh:
N : jumlah observasi (N1 + N2)
N1 : jumlah nilai residual positif
N2 : jumlah nilai residual negatif
r : jumlah run
Lalu ditentukan pula nilai rata-rata run - E(n) dan variansnya - var(n) melalui rumus:
Penentuan ada tidaknya masalah korelasi dalam model, ditentukan dalam rentang:
E(n) - 1,96 (var (n)) £ n £ E(n) + 1,96 (var (n))
Pada tingkat kepercayaan tertentu, akan dilihat apakah (n) berada dalam rentang batas interval tersebut di atas, yang menunjukkan bahwa model mengandung masalah serial korelasi.
H0 : tidak ada autokorelasi (residual random)
H1 : ada autokorelasi (residual tidak random)
H0 diterima apabila r berada diantara nilai kritis.
Dengan membandingkan nilai kritis berdasarkan tabel Swed, Fieda S. dan Eisenhart dengan banyaknya run, maka dapat ditentukan bahwa persamaan itu mengandung serial korelasi atau tidak. Jika H0 diterima maka persamaan tersebut signifikan dalam menjelaskan tentang urutan residual dengan acak. Jika H0 ditolak, maka yang berlaku adalah hal sebaliknya.
1.5.6.2.3 Uji Durbin-h
Pengujian Durbin-h dilakukan karena dalam model persamaan yang akan dibentuk terdapat model regresif yang menggunakan lagged variable sebagai salah satu variabel bebas dalam model autoregresif. Penambahan lagged variabel (AR1) ini dilakukan untuk meminimalkan autokorelasi. Nilai statistik Durbin-Watson (D-W) mungkin tidak dapat digunakan untuk mendeteksi autokorelasi yang ada dalam model karena nilai D-W yang terjadi dalam model autoregresif biasanya cenderung mendekati dua, yaitu nilai D-W yang diharapkan didalam suatu urutan yang benar-benar acak. Besarnya Durbin-h dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
N = Ukuran sampel
d = Statistik D-W
Var () = Koefisien varians dari lagged variable
Distribusi uji stat Durbin-h mengikuti pola distribusi normal, maka dengan tingkat signifikan 5% dari tabel standar distribusi normal diperoleh :
Jika h > 1,96 : terdapat autokorelasi positif
Jika h <1,96 : terdapat autokorelasi negatif
Jika –1,96 < h <1,96 : tidak terdapat autokorelasi
[1] Eko Priyo Pratomo & Ubaidillah Nugraha, Reksa Dana Solusi Perencanaan Investasi di Era Modern, Cetakan Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, Hal. 3
[2] Id, Hal. 6
[3] Elton, Edwin J. & Gruber, Martin J., Modern Portfolio Theory & Investment Analysis, 5th edition, New York: John Wiley & Sons Inc., 1995, Hal. 12
[4] Sjahrir, Analisis Bursa Efek, Cetakan Pertama, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, Hal. 60
[5] Undang-undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995, Pasal 1 ayat (27)
[6] Vonny Dwiyanti, Wawasan Bursa Saham 1, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, Hal. 43
[7] Eko Priyo Pratomo & Ubaidillah Nugraha, Op. Cit., Hal. 241
[8] Koran Tempo, Senin, 4 April 2005, Hal. 1
[9] Agus Sugiarto, Prinsip Kehati-hatian Bank dalam Kegiatan Reksa Dana, Jurnal Reksa Dana, Peneliti Bank Senior, Bank Indonesia, 2003, Hal. 4
[10] Slater, Robert, Soros Investor Terbesar di Dunia: Kehidupan, Masa Hidup dan Rahasia Dagang Dunia, Terjemahan: Anton Adiwiyoto, Professional Books, Jakarta, 1998, Hal. 128
[11] Asep Saepudin, Reksa Dana Sebagai Alternatif Investasi di Pasar Modal; makalah dipresentasikan dalam Seminar Pasar Modal mengenai Economic and Capital Market Outlook of Indonesia yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Manajemen UNPAR, Bandung, 2 April 2005, Hal. 3
[12] Agus Sugiarto, Stabilitas Reksa Dana, Deposito dan Pembiayaan Jangka Panjang, Jurnal Reksa Dana, Peneliti Bank Senior, Bank Indonesia, 2003, Hal. 5
[13] Pindyck, Robert S. & Rubinfeld, Daniel L., Mikroekonomi Jilid 2, Terjemahan: Aldi Jenie, PT. Prenhallindo, Jakarta, 1999, Hal. 156
[14] Mishkin, Frederic S., The Economics of Money, Banking and Financial Markets, 5th ed., Singapore: Addison-Wesley Longman Inc., 1998, Hal. 94
[15] Vonny Dwiyanti, Op. Cit., Hal. 46
[16] Sjahrir, Op. Cit., Hal. 31
[17] I Putu Gede Ary Suta, Pengaruh Ekonomi Makro Terhadap Pasar Modal, Jakarta, 1999
[18] Boediono, Ekonomi Moneter, Edisi Ketiga, BPFE, Yogyakarta, 1998, Hal. 3
[19] Mishkin, Frederic S., Op. Cit., Hal. 663
[20] Gujarati, Damodar N., Basic Econometrics; 4th ed., McGraw-Hill, 2003, Hal. 650
[21] Gujarati, Damodar, Ekonometrika Dasar, Terjemahan: Sumarno Zain, Erlangga, Jakarta, 1999, Hal. 201